Laporan Akhir Tahun Internasional
Krisis
Politik Thailand Belum Akan Berakhir
Anonim ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
24 Desember 2014
MONARKI
Thailand terancam. Terlebih setelah munculnya pengumuman Puteri Srirasmi,
istri putra mahkota Kerajaan Thailand Maha Vajiralongkorn, telah melepas
status kerajaannya setelah beberapa kerabatnya ditangkap karena skandal
korupsi. Itu berarti Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn telah menceraikan istrinya,
Puteri Srirasmi.
Pengumuman
istana itu makin menambah kecemasan dan ketidakpastian di kalangan publik
terhadap masa depan monarki, tidak hanya bagi generasi sekarang ini, tetapi
juga generasi berikutnya. Kegelisahan warga Thailand tersebut diungkap pakar
Thailand dari Universitas Osaka, Jepang, Pavin Chachavalpongpun.
Sementara
itu, berita soal perceraian dan Puteri Srirasmi melepas status kerajaan itu
sangat mengejutkan kalangan elite Thailand.
Kegelisahan
rakyat Thailand makin menumpuk, terlebih krisis politik Thailand belum
berakhir. Di level elite dan akar rumput, mereka terbelah sangat dalam dan
sempat berada di tepi jurang perang saudara. Untuk ”menyelesaikan” konflik di
antara mereka, junta militer pun akhirnya turun tangan, mengambil alih
kekuasaan di Thailand pada 22 Mei lalu.
Mantan
Kepala Staf Angkatan Darat Thailand Jenderal Prayuth Chan-ocha menduduki
posisi perdana menteri menggantikan Niwatthamrong Boonsongpaisan, yang
sebelumnya juga menggantikan Yingluck Shinawatra yang dilengserkan.
Keberadaan
Prayuth sebagai Perdana Menteri Thailand mendapat restu Raja Thailand
Bhumibol Adulyadej. Junta militer tersebut menepis kemungkinan digelarnya
pemilu sebelum Oktober 2015 dan bertekad membenahi politik Thailand dengan
mereformasi semua bidang pemerintahan.
Prayuth
juga dikenal sebagai sosok penentang mantan Perdana Menteri Thaksin
Shinawatra yang kini berada di pengasingannya di Dubai, Uni Emirat Arab.
Prayuth
mengatakan, junta terpaksa mengambil alih pemerintahan karena tak ingin kondisi
negara semakin terpuruk akibat krisis politik yang terus berkelanjutan. Kedua
kubu, baik kubu pendukung Yingluck (adik Thaksin) maupun kubu anti pemerintah
yang digerakkan Suthep Thaugsubhan, pemimpin Komite Reformasi Demokratik
Rakyat (PDRC), terus bertikai. Massa demonstran anti pemerintah sempat
berdemonstrasi selama lebih dari enam bulan dan menelan korban 23 jiwa.
Belum bisa mengakhiri
Noel
Kasem, warga Thailand, mengatakan, ketika junta militer mengambil alih
kekuasaan setelah kekisruhan politik antara pengikut Yingluck dan PDRC itu,
semuanya berjalan menjadi baik. ”Namun, setelah berjalan sekian lama, saya
masih belum melihat bahwa junta benar-benar bisa mengakhiri perpecahan kedua
kubu. Mereka masih seperti menunggu dan melihat situasi,” kata Noel.
Setelah
militer meninggalkan kekuasaan seperti janji mereka, menurut Noel, kedua
kelompok tersebut pasti akan bertarung kembali. Korupsi juga masih menjadi
masalah besar. ”Orang miskin masih
tetap miskin. Junta militer tidak akan dapat melakukan hal yang baik di masa
yang sangat singkat ini. Rasanya seperti tak ada harapan untuk Thailand.
Kebencian antara kelompok pro pemerintah dan anti pemerintah sudah sangat
dalam. Mereka saling membenci satu sama lain. Saya hanya berharap tak ada
pertumpahan darah lagi,” kata Noel.
Untuk
menyudahi kekisruhan politik di Thailand yang telah berjalan cukup lama, Prof
Thitinan Pongsudhirak, Direktur Institut Keamanan dan Studi
Internasional-Fakultas Ilmu Politik Universitas Chulalongkorn Bangkok,
Thailand, mengatakan bahwa Thailand memerlukan ”jalan ketiga”.
Menurut
Pongsudhirak, Prayuth hingga saat ini tak terlihat ingin berbagi kekuasaan
dengan pendukung kudeta ataupun dengan pengikut Thaksin. Warga Thailand yang
semula terbelah menjadi kubu pro Thaksin dan kubu oposisi anti Thaksin kini
terbagi menjadi kelompok ”Dengan Kita
atau Melawan Kita (Junta)”. Ini merupakan karakteristik politik Thailand
yang selalu mudah terbelah.
Harus
ada jalan ketiga yang mengoperasikan prinsip-prinsip demokrasi, kekuasaan
yang segan melakukan penyalahgunaan dan manipulasi.
Keinginan
kuat untuk mendepak kroni Thaksin, seperti Yingluck dan penggantinya,
Boonsongpaisan, bisa memicu perang sipil. Bagi Thaksin, jalan ketiga artinya
harus berhadapan dengan kudeta dan PDRC yang melawan penyalahgunaan kekuasaan
dan politik uang yang dilakukan Thaksin dan mesin partainya yang mencari
kendaraan elektoral agar dapat memenangi pemilihan umum.
”Rezim di bawah Prayuth dan Dewan Nasional untuk
Perdamaian dan Ketertiban (NCPO) tak terlihat akan membagi kekuasaannya.
Jadi, jalan ketiga sangat diperlukan. Politik Thailand sepertinya tak ke
mana-mana, tetapi siapa pun yang ingin lepas dari perpecahan harus melakukan
kompromi dan ini langkah konkret untuk Thailand,” kata
Pongsudhirak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar