Kemaruk
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
27 Desember 2014
Corruption is a disease, a cancer that eats into
the cultural, political, and economic fabric of society, and destroys the
functioning of vital organs.
(Inge Amundsen, 1999)
Singgasana
permaisuri Kerajaan Thailand sudah di depan mata Putri Srirasmi. Sang suami,
Pangeran Maha Vajiralongkorn, adalah putra mahkota ahli waris takhta Dinasti
Chakri. Dan, kondisi Raja Bhumibol Adulyadej sudah sepuh (87 tahun) dan
sakit-sakitan. Raja yang dikenal dekat dengan rakyatnya itu sudah jarang
tampil di depan publik. Namun, kursi sang ratu tampaknya harus dilepaskan
sang putri setelah status kebangsawanan dan gelar kerajaan, juga keluarganya,
dicabut pada awal Desember 2014, seperti dilaporkan sejumlah media mengutip
Royal Gazette. Pasalnya, tujuh anggota keluarga sang putri korupsi dan
mengumpulkan harta secara ilegal. Pamannya yang jenderal polisi ditahan
gara-gara perjudian dan penyelundupan. Empat saudara kandungnya dan dua
kerabat lain ikut dijebloskan ke penjara.
Tak ada
yang kebal hukum di ”Negeri Gajah Putih”, tak peduli setinggi apa kasta dalam
struktur sosial-politik. Keluarga kerajaan yang calon ratu pun tak imun juga.
Padahal, yang korupsi juga keluarganya. Inilah pemberantasan korupsi yang
tidak pandang bulu. Thailand benar-benar menjaga nilai-nilai moral. Jarak
Thailand dekat saja dengan negeri tercinta Indonesia, tetapi soal
pemberantasan korupsi, jauh sekali bedanya. Di negeri kita yang selalu
disebut sangat religius ini, keluarga justru berandil terhadap suburnya
korupsi. Kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
hampir selalu melibatkan anggota keluarga: istri, anak, saudara, bahkan lingkaran
hubungan lain, seperti pacar gelap, sopir, atau teman.
Kasus
terpidana Atut Chosiyah (Gubernur Banten), Tb Chaeri Wardhana alias Wawan
(adik Atut), Akil Mochtar (Ketua MK), Luthfi Hasan Ishaaq (Presiden PKS),
Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat), Djoko Susilo (Kepala
Korlantas), dan Zulkarnaen Djabar (politisi Partai Golkar, anggota DPR),
misalnya, memperlihatkan, jaringan korupsi terjadi di antara keluarga. Tidak
bertuah lagi pesan-pesan agama ”jangan hidupi keluarga dengan harta haram atau
ilegal” yang diajarkan sejak kecil.
Padahal,
bagi seorang pemimpin, seperti Umar bin Abdul Aziz (682-720), Khalifah
Dinasti Umayyah, menggunakan fasilitas negara saja merupakan tindakan yang
tidak patut. Suatu malam, ketika merampungkan pekerjaan, putranya datang.
Umar bertanya, ”Anakku, untuk urusan keluarga atau negara?” Sang anak
menjawab, ”Urusan keluarga, Ayahanda.” Segeralah Umar mematikan lampu
sehingga ruangan pun gelap. ”Kenapa Ayahanda matikan lampu?” Umar menjawab,
”Karena engkau datang untuk urusan keluarga. Lampu ini milik negara.” Umar
lalu menggantinya dengan lampu milik pribadi. Sungguh luar biasa!
Khalifah
Umar hanya memerintah 2 tahun 5 bulan (717-720), tetapi legacy-nya itu justru
melegenda hingga berabad-abad lamanya. Sayangnya, banyak pemimpin atau
politisi sekarang yang berkuasa puluhan tahun, tetapi hanya meninggalkan
warisan buruk. Mungkin pesan-pesan agama dan moralitas sudah terlalu usang
dan ditinggalkan di gudang kosong di rumah-rumah.
Maka,
korupsi dalam politik seakan-akan satu paket. Korupsi marak karena tidak
hanya tamak, tetapi juga ”rasional”. Banyak yang berpikiran, kalau
tertangkap, namanya apes saja. Setelah dihukum, koruptor merasa masih bisa
menikmati hasil jarahannya karena rata-rata hukuman tidak berat. Hukuman tertinggi
barangkali dijatuhkan kepada terpidana Jaksa Urip Tri Gunawan yang divonis 20
tahun atau Akil Mochtar yang divonis seumur hidup. Apalagi, selalu ada
keringanan hukuman, seperti remisi atau grasi pada hari-hari besar tertentu.
Katanya extraordinary crime, tetapi
perlakuannya sama dengan kejahatan lain.
Boleh
jadi hukuman tak membuat koruptor jera. Kampanye anti korupsi disetel
kencang, tetapi hukuman koruptor tidak ada yang maksimal. Bahkan, proses
pemasyarakatan juga kerap membuat kita gagal paham. Masih ingat sel Artalyta
Suryani (penyuap Jaksa Urip) yang disulap menjadi kamar mewah dengan
fasilitas lengkap? Belum lama ini terungkap bahwa di Lembaga Pemasyarakatan
Sukamiskin, Bandung, dibuka kuliah pascasarjana (S-2) bidang hukum dengan
peserta terpidana koruptor.
Tahanan
yang kebebasannya seharusnya dibatasi (sebagai proses pembelajaran akibat
melakukan kejahatan dan pelanggaran sosial) malah begitu bebas mendapatkan
hak belajar. Padahal, banyak warga kesulitan bukan main mendapatkan hak
pendidikan karena terkendala masalah ekonomi. Rakyat sulit mengakses
pendidikan karena dana rakyat diembat koruptor. Untunglah setelah
terpublikasi luas dan dikritik, program S-2 itu dihentikan. Kita berharap
pemerintah baru tidak mengulangi lagi ambiguitas pemerintah sebelumnya.
Tentu
saja pemberantasan korupsi tak boleh kendur selangkah pun. KPK sepertinya tak
akan berkedip sedetik pun untuk terus mengawasi pejabat atau politisi.
Apalagi, beberapa waktu lalu beredar laporan PPATK mengenai rekening gendut
sejumlah pejabat. Kekuasaan politik dan korupsi tampaknya makin mendekat.
Kekuasaan, kata politisi dan sejarawan Lord Acton (1834-1902), cenderung
korup dan kekuasaan absolut lebih korup lagi. Namun, John Steinbeck
(1902-1968), penerima Nobel Sastra (1962), mengingatkan bahwa kekuasaan tidak
selalu korup, tetapi takut kehilangan kekuasaan itulah yang membuat korupsi
marak.
Di
Amerika Serikat, korupsi juga makin memasuki ruang politik, seperti politik
uang dalam pemilu. Penulis Thomas Edsall dalam New York Times (5/8) menulis
e-mail yang dikirim Charles Lewis, pendiri Center for Public Integrity,
”Proses politik kami telah semakin menerima korupsi sebagai sistem yang
legal”. Tak mengherankan, kepercayaan publik terhadap politik terus merosot
sejak kasus perang Vietnam dan Watergate. Menurut American National Election Studies, pada periode 1964-2012,
publik tak percaya politik pemerintahan dijalankan untuk kepentingan publik.
Dulu yang percaya 64 persen, sekarang tinggal 19 persen.
Di semua negara, pikiran sehat selalu menolak kejahatan, terlebih
korupsi. Sebab, seperti kata ilmuwan politik Inge Amundsen, korupsi ibarat
penyakit kanker yang menggerogoti organ-organ vital kita. Korupsi membuat
politisi hidup seperti zombi, kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Kerakusan,
ketamakan, kemunafikan, ketakpedulian, dan kezaliman telah membuat ruang
politik kita terlalu pengap. Jika pada tahun 2015 masih ada politisi atau
pejabat yang kemaruk korupsi, saatnya mereka ditenggelamkan di laut, seperti
kapal-kapal asing yang mencuri ikan di perairan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar