Badan
Otoritas Pajak
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah
Mada
|
KOMPAS,
27 Desember 2014
HARI-hari
ini Kementerian Keuangan sedang melakukan seleksi terbuka untuk satu posisi
yang superpenting: direktur jenderal
pajak. Pengalaman saya saat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
ketika memilih dirjen pemasyarakatan, dirjen peraturan perundangan-undangan,
dan dirjen imigrasi, proses lelang yang baik menjadi titik awal terpilihnya
pejabat yang tepat dan amanah. Pada tempatnyalah kita kasih perhatian lebih
serius atas proses lelang dirjen pajak karena pajak adalah urat nadi
perekonomian kita. Hampir 70 persen penerimaan negara dalam APBN dari pajak.
Pada 2014, target penerimaan pajak Rp 1.072 triliun dari total target
penerimaan negara sebesar Rp 1.635 triliun.
Kelembagaan perpajakan
Dengan
beban tugas sepenting itu, harus dipikirkan kelembagaan yang tepat bagi
institusi perpajakan, misalnya dengan menjadikannya executive agency, langsung berada di bawah presiden, dan bukan
lagi pada level direktorat jenderal, yang berarti hanya eselon I semata.
Tentu tak semua lembaga diletakkan langsung di bawah presiden. Untuk
perpajakan, hal demikian sangat patut dipertimbangkan.
Pertama,
karena alasan konstitusi. Tak semua urusan bernegara secara tegas diletakkan
pada tataran UUD. Di antara yang sedikit itu, salah satunya soal perpajakan.
Pasal 23A UUD 1945 dengan jelas mengatur, ”Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Tentu
dipahami, konstitusi hanya mengatur hal-hal yang sifatnya fundamental dalam
kehidupan bernegara. Maka, penghormatan konstitusi atas urusan perpajakan
sudah sepatutnya dikompensasi dengan struktur kelembagaan yang lebih kuat dan
mandiri.
Apalagi,
fungsi perpajakan tidak hanya bertanggung jawab pada sektor penerimaan APBN,
tetapi juga fungsi strategis lainnya, seperti fungsi redistribusi pendapatan.
Misalnya, sistem pajak progresif mendorong agar jurang antara orang kaya dan
miskin semakin kecil sehingga pemerataan kesejahteraan dapat dioptimalkan.
Maka, dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak 2015-2019 ditetapkan
target rasio pajak sebesar 19 persen pada 2019. Target yang cukup tinggi
apabila dibandingkan dengan rasio pajak saat ini yang berada pada kisaran 12
persen.
Penelitian
IMF pada 2011 menyebutkan bahwa dengan regulasi perpajakan yang ada saat ini,
Indonesia seharusnya memiliki rasio pajak sebesar 21,5 persen. Artinya,
apabila dibandingkan dengan rasio pajak Indonesia pada 2012 sebesar 11,9
persen, Indonesia memiliki tax gap mencapai hampir 100 persen.
Beban
meningkatkan rasio pajak sebesar itu tentu akan adil jika diberikan kepada
lembaga dengan kewenangan yang lebih kuat dan mandat yang lebih besar.
Sebagai perbandingan, ketika Afrika Selatan mampu mencapai angka rasio pajak
sebesar 26 persen pada 2011, salah satu faktor utamanya adalah kelembagaan
pajak di Afsel yang mandatnya lebih kukuh.
Sejak
1997, Afsel menerapkan bentuk organisasi unified
semiautonomous body with board (USBB). Melalui bentuk USBB, otoritas
pajak Afsel memiliki komisioner dan dewan penasihat. Komisioner ditunjuk
presiden dengan pertimbangan menteri keuangan dan anggota kabinet. Dengan
pemberian otonomi, otoritas pajak Afsel berwewenang lebih mengelola
organisasi.
Masih
terkait kelembagaan yang kuat, penting pula dikaitkan dengan fungsi pajak
dalam penegakan hukum. Saat ini saja Ditjen Pajak memiliki wewenang penegakan
hukum administrasi (pemeriksaan pajak, penerbitan SKP/STP, penagihan paksa,
memutus keberatan WP, hingga bersengketa di pengadilan pajak dan MA) serta
penegakan hukum pidana (intelijen pajak, penyelidikan dan penyidikan yang disertai
upaya paksa penangkapan, penahanan, dan penggeledahan).
Fungsi
penegakan hukum demikian seharusnya ditopang kelembagaan yang berwibawa dan,
karena itu, penting mempunyai derajat setingkat kementerian sehingga memiliki
gengsi dan independensi dalam melaksanakan tugas. Sebagai perbandingan, di
Amerika Serikat, fungsi penegakan hukum demikian diserahkan kepada model
Internal Revenue Service (IRS) dengan penyidik yang kuat dan independen.
Pengalaman internasional
Di
samping fungsi strategis di atas, bidang perpajakan memiliki kekhususan dalam
lingkup kerja sama internasional, baik dalam bentuk konvensi, perjanjian
bilateral penghindaran pajak berganda (P3B), perjanjian pertukaran data dan
informasi, serta forum kerja sama internasional bidang perpajakan.
Saat
ini, Indonesia telah memiliki P3B dengan 65 negara. Indonesia telah
menandatangani Convention on Mutual
Administrative Assistance in Tax Matters yang diikuti 65 negara dan 18
yurisdiksi. Sedemikian strategis dan penting aspek internasional itu,
selayaknya perpajakan dikelola lembaga lebih independen meski tetap di bawah
presiden.
Sebagai
best practices, sebagian besar negara maju, seperti AS, Inggris, Australia,
Perancis Singapura, Kanada, Swiss, dan Spanyol, lembaga perpajakannya
memiliki otonomi dalam pengelolaan anggaran, sumber daya manusia, regulasi,
dan struktur organisasi layaknya sebagai lembaga atau badan tersendiri.
Di sisi
lain, dari sembilan kriteria otonomi yang idealnya dimiliki unit penghimpun
pajak, Ditjen Pajak Indonesia dianggap tak punya wewenang dan otonomi cukup
menjadi suatu unit penghimpun penerimaan negara. Padahal, dalam penelitian
Taliercio (2000), pemberian otonomi dimaksudkan menjadikan otoritas
perpajakan lebih kompeten, efisien, dan adil. Kebijakan ini dapat menjadikan
organisasi lebih independen sehingga dapat mengurangi tekanan politik
terhadap otoritas pajak itu sendiri.
Jadi, proses pemilihan dirjen pajak yang sekarang berlangsung tentu
penting. Namun, setelahnya, dirjen pajak yang baru harus mampu meyakinkan
Menteri Keuangan dan Presiden Joko Widodo untuk membentuk badan otoritas
perpajakan lebih mandiri, kuat dan berwibawa. Dengan struktur kelembagaan
yang langsung di bawah presiden, tentu dengan tetap membangun koordinasi yang
erat dengan Kementerian Keuangan, kerja-kerja strategis sektor perpajakan
dapat lebih efektif dilaksanakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar