Kekerasan
dalam Anggaran Pendidikan
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Desember 2014
KEKERASAN itu seperti penyakit
menular. Semakin banyak yang terjangkit, akan semakin sulit untuk
mengobatinya, bahkan mustahil untuk menghilangkannya. Salah satu cara untuk
menekan kekerasan ialah proses pendidikan yang baik dan benar. Akan tetapi,
itu saja belumlah cukup. Jika kita mencari akar kekerasan di dalam proses
pendidikan, saya berani memastikan sumber awalnya ada para rencana anggaran
sekolah yang tak berpihak pada kebutuhan siswa. Seperti yang selama ini
terlihat, anggaran sekolah banyak yang tidak sehat karena seluruhnya dan
kebanyakan disusun berdasarkan keinginan guru dan kepala sekolah, serta minus
kebutuhan siswa.
Dalam terminologi Johan Galtung,
“Kekerasan terjadi ketika manusia
dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi fisik dan mentalnya berada di
bawah realisasi potensialnya.“ Contohnya, dalam struktur biaya pendidikan
kita tak pernah dijelaskan dari mana sumbernya (realisasi pontensial)
sehingga dalam implementasinya bisa menimbulkan konflik kepentingan
(realisasi jasmani dan mental). Contoh lain dari praktik kekerasan dalam pembiayaan
pendidikan kita ialah tentang unit cost
yang digunakan untuk menghitung kebutuhan dana BOS, yaitu siswa (realisasi
potensial), tetapi tidak merujuk pada kondisi dan letak geografis sekolah
yang memiliki perbedaan sarana dan prasarana. Contoh-contoh itu jelas
menyiratkan bahwa satuan biaya pendidikan kita rentan dengan budaya
kekerasan.
Isu pembiayaan sekolah menjadi
penting jika dikaitkan dengan kebijakan 20% anggaran pendidikan kita,
meskipun sudah berlangsung 10 tahun, tetap saja tak memberi pengaruh yang
signifikan dalam kualitas layanan pendidikan kita. Kajian tentang pembiayaan
sekolah menjadi relevan, mengingat sistem pendidikan kita belum menganut asas
pembiayaan sekolah secara integral yang berorientasi pada pengembangan aspek
kualitas sebagai target pembiayaan sekolah. Isu pembiayaan sekolah bermutu
masih dihitung secara minimal, yaitu menyangkut besaran subsidi dari
pemerintah untuk tiap siswa pada setiap tingkat satuan pendidikan.
Perdebatan yang ramai
dibicarakan para praktisi, birokrat, dan politisi. Di sekitar pembiayaan
pendidikan pun baru menyentuh aspek kebutuhan siswa sebagai unit analisnya,
tetapi belum menghitung kebutuhan institusi sekolah sebagai sebuah pendekatan
penjaminan mutu. Agar anggaran pendidikan 20% yang diamanatkan Undang-undang
dapat diserap secara efisien dan transparan, perlu dipikirkan skema-skema
pembiayaan pendidikan dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisis, bukan
lagi kebutuhan siswa.
Dalam analisis satuan biaya
pendidikan dasar dan menengah, Abbas Ghozali (2004) memperkenalkan ragam
nomenklatur biaya satuan pendidikan yang dimaksudkan untuk mengetahui rekam
jejak kebutuhan pembiayaan siswa setiap anak per tahun, dalam rangka
menghitung besaran uang yang harus ditanggung orangtua dan subsidi yang harus
disediakan pemerintah.
Hasil penelitian tersebut cukup
membantu dalam menjelaskan kemampuan orangtua dan pemerintah sebagai kerangka
konseptual untuk mengetahui informasi dasar tentang biaya satuan pendidikan
(BSP), tetapi sayang tak mampu menjelaskan pembiayaan pendidikan yang
berorientasi pada mutu dengan menggunakan sekolah sebagai unit analasisnya.
Dalam konteks itu, pengalaman Sekolah Sukma Bangsa mungkin dapat menjadi
salah satu alternatif untuk mendeteksi pembiayaan sekolah berbasis kualitas,
terutama dalam upaya meningkatkan kualitas proses belajar mengajar.
Beberapa studi tentang dampak
kualitas sekolah terhadap capaian akademis siswa mengindikasikan pentingnya
menciptakan sebuah budaya sekolah yang sehat secara manajemen. Dalam skema
pembiayaan pendidikan, keberhasilan siswa dalam paradigma lama selalu
bergantung pada kemampuan finansial orangtua dan karakter psikologis siswa,
serta menafikan kemampuan manajerial dan budaya sekolah (J S Coleman, Equality of Education Opportunity, 1966).
Dalam banyak hal, Kementerian
Pendidikan Nasional sejauh ini belum mampu membangun sebuah budaya sekolah
yang komprehensif dan visioner pada tingkat sekolah sehingga kebutuhan untuk
membangun suasana belajar yang positif dan kondusif tidak jarang belum termasuk
dalam komponen dan indikator pembiayaan pendidikan.Padahal, jika kita merujuk
pada hasil studi lainnya yang dilakukan Rob Greenwald, et.al., dalam “The Effect of School Resources on Student
Achievement,“ Review of Educational Research, (1996), jelas terlihat
bahwa strategi pembiayaan pendidikan di tingkat sekolah sangat berpengaruh
terhadap capaian siswa.
Beberapa peneliti mencoba untuk
memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan pembangunan budaya
sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan berkaitan langsung
dengan keberhasilan siswa, terutama dengan melihat tren pembiayaan pendidikan
secara statistika. Dengan menggunakan regresi statistika, terlihat bahwa
hubungan capaian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki ikatan
yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki latar belakang budaya dan
etnik yang berbeda.
Jika hanya mengacu pada indikator
kebutuhan siswa setiap orang per tahun, rumusan yang muncul biasanya sangat
bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut sebagai “production-function studies,“ yakni
dalam beberapa hal terlihat hubungan yang tidak selamanya positif antara
semakin besar dana yang digunakan dalam proses pendidikan dan capaian
akademis siswa.
Kesimpulannya cukup mengagetkan, “there is no strong or systematic relationship between school
expenditures and student performance.“ (Eric Hanushek, “The Impact of Differential Expenditures on School
Performance“, Educational Researcher: 1989)
Selama budaya sekolah belum
dihitung sebagai komponen biaya pendidikan dan selama sekolah belum dijadikan
dasar dalam menghitung biaya pendidikan, maka selamanya anggaran pendidikan
kita akan tergelincir pada kepentingan sesaat dan rentan dengan kekerasan
dalam operasionalnya. Kekerasan dalam postur anggaran pendidikan kita,
biasanya akan sangat mudah terdeteksi dari minimnya proses belajar mengajar
yang kreatif dan menyenangkan siswa serta guru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar