Hati
untuk Papua
Yaleswari Pramodhawardani ; Peneliti Puslit
Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2K2) dan The Indonesian Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Desember 2014
PAPUA adalah kita. Mungkin buat
sebagian kalangan ia hanya secuil, sesuatu yang ada dalam puing ingatan,
tetapi tetap tidak bisa diingkari, kepapuaan itu bagian dari keindonesiaan
kita. Sayangnya, fakta yang kemudian menjadi jargon itu tetap belum bisa
diwujudkan hingga kini. Berita terakhir, Papua masih dilumuri duka dengan
peristiwa Paniai berdarah. Sebagian dari kita hanya bisa merutuki dan
berkeluh kesah tentang pemerintah yang tidak responsif, tetapi tetap
kehilangan gambaran besarnya. Penyelesaian Papua terlalu sederhana jika hanya
diserahkan kepada pemerintah. Itu harus melibatkan banyak pihak, banyak hati,
untuk masuk kubangan persoalannya.
Sabtu (20/12) pagi itu, di aula
Pascasarjana Universitas Indonesia berkumpul sebagian besar perempuan dari
berbagai kalangan; akademisi, praktisi, pegiat kemanusiaan, dan beberapa di
antara mereka dari Papua. Seminar nasional yang bertajuk Menganyam Noken Kehidupan; Keadilan, Perdamaian, dan Keamanan Papua
makin menegaskan jalan panjang menuju kedamaian Papua memang wajib diperjuangkan.
Noken yang memiliki makna kultural persahabatan, kehormatan, dan perdamaian
itu dipilih sebagai simbol untuk penyelesaian damai Papua.
Forum yang digagas Komnas
Perempuan memperlihatkan hasil kajian mereka di lapangan melalui dialog
dengan 1.500 perempuan asli Papua di 28 Kabupaten. Para perempuan yang
berasal dari 75 lebih kelompok angkat bicara sebagai korban dan warga negara.
Mereka bertutur tentang inisiatif perempuan merespons persoalan, visi, dan
harapan mereka agar Papua menjadi tanah damai yang bebas dari kekerasan,
diskriminasi, eksploitasi, baik sebagai perempuan asli Papua maupun sebagai
masyarakat Papua yang bermartabat.
Para perempuan itu tidak sekadar
bicara tentang nasib perempuan Papua saja, tetapi juga bicara persoalan Papua
pada umumnya. Papua dalam relasinya dengan negara, negara yang telah berjanji
menjamin keselamatan dan kesejahteraannya. Mereka mempertanyakan sekaligus
menggugat, mengapa kekerasan yang mereka terima sebagai perempuan dan warga
negara tidak pernah berkesudahan?
Kekerasan tidak hanya di ruang
publik, tapi juga di ruang privat mereka.Tidak ada wujud negara di sana.
Persoalan perempuan Papua
tersebut baru sebagian dari kumpulan mozaik persoalan besar Papua. Selama
lebih dari empat dekade ini kita sudah lelah bosan dengan genangan darah dan
air mata di sana. Sejak era reformasi pemerintah pusat bukan tidak berusaha
untuk menangani hal itu, mulai Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid,
Presiden Megawati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan di bawah
pimpinan SBY, komitmen tersebut diucapkan melalui sejumlah pernyataan publik.
Seperti pada perayaan Natal Nasional 2005, SBY mengusulkan tiga pendekatan
demokrasi, damai dan kasih untuk penyelesaian Papua, atau saat SBY mengundang
beberapa tokoh gerejawi dari tanah Papua pada Desember 2011 di Puri Cikeas,
seruan untuk tidak melakukan pendekatan kekerasan tetapi dengan hati kembali
diucapkan.
Namun, faktanya, kekerasan masih
terjadi di Papua hingga hari ini.Imbauan, pernyataan, regulasi kebijakan, dan
upaya dialog tidak mampu menghentikan laju kekerasan yang terjadi di Papua.
Apa yang salah?
Apakah perlu peta jalan baru
untuk penyelesaian Papua damai? Bagaimana melakukannya?
Peta jalan baru Papua
Bila berbicara soal Papua, saya
selalu teringat sahabat saya, almarhum Muridan. Sampai akhir hayatnya ia
dikenang sebagai salah satu penggagas yang gigih untuk Papua Road Map bersama
Adriana Elisabeth dan peneliti Puslit Politik LIPI lainnya.Sampai hari ini
gagasannya tentang Papua Road Map masih tetap relevan dan memiliki basis
empiris konkret untuk dilaksanakan.
Tim LIPI melalui penelitian
panjangnya merumuskan empat agenda kerja utama yang bisa dijadikan opsi bagi
lembaga negara ataupun lembaga kemasyarakatan di dalam dan di luar negeri.
Pertama, rekognisi sebagai
agenda payung untuk kebi jakan dan program yang bertujuan mendorong juan
mendorong keterlibatan orang asli Papua, termasuk di dalamnya pemberdayaan di
berbagai bidang kehidupan yang strategis. Hal itu penting dilakukan sebagai
jawaban atas masalah marginalisasi dan efek diskriminatif di hampir semua
lini kehidupan orangorang asli Papua.
Kedua, paradigma baru
pembangunan. Suatu paradigma yang diharapkan dapat mengubah orientasi
pembangunan pada pemaksimalan pelayanan publik yang memprioritaskan pada peningkatan
kualitas pendidikan (terutama pendidikan dasar), peningkatan pelayanan
kesehatan di kampung-kampung/ desa, pengembangan ekonomi masyarakat yang
masih subsisten, dan infrastruktur yang relevan untuk ketiga bidang tersebut
sebelumnya. Paradigma baru itu dimaksudkan untuk mengubah pembangunan yang
selama ini cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
fisik yang telah gagal dalam mem perbaiki sistem dan kualitas pelayanan
kebutuhan dasar masyarakat.
Ketiga, dialog dan mekanisme mempersiapkannya.Dialog
menjadi roh dalam proses menuju Papua dan Indonesia baru yang bermartabat.
Dalam dialog, kedua pihak butuh kerendahan hati, kesetaraan, S kesederajatan,
saing menghargai, dan semangat untuk menyelesaikan konflik. Dialog menjadi
pilihan karena secara teknis suasana lebih eksploratif, di saat para
pesertanya diharapkan dapat mengungkapkan persoalan, ketidakpastian, serta
keyakinan yang dipegang teguh, dan para peserta lainnya mendengarkan,
memahami, dan mendapatkan wawasan dari lainnya.Dengan karakter yang
dimilikinya, jadikan dialog sebagai proses panjang yang harus dilalui kedua
pihak tanpa merasa bosan demi tujuan yang lebih besar, Papua baru dan
Indonesia baru.
Keempat, kemungkinan-kemungkinan
ditempuhnya jalan rekonsiliasi dan pengadilan HAM. Dasar dari kebutuhan itu
ialah mengingat sejarah panjang kekerasan negara di masa lalu yang
berlangsung lebih dari empat dekade yang dilakukan aparat keamanan dan
pejabat negara. Karenanya, penegakan hukum dan keadilan bagi para korban,
keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara umum wajib dilakukan.
Empat agenda utama itu penting
untuk dijadikan pertimbangan kembali dalam melempangkan jalan dialog Papua Jakarta
untuk penyelesaian konflik yang sudah mengakar selama ini.
Presiden Jokowi dan Papua
Dalam kampanye pemilihan
presiden silam, Presiden Jokowi memang menunjukkan niatan untuk memperbaiki
memperbaiki kondisi Papua, baik upaya menjamin perdamaian, antidiskri mina
si, maupun soal peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Menurutnya, penyelesaian
konflik Papua harus didekati dengan hati. Namun, di satu sisi Presiden Jokowi
sadar betul bahwa memperbaiki kondisi Papua tidak bisa begitu saja dilakukan
tanpa menyoroti pelanggaran HAM, reformasi pejabat sipil dan militer di
Papua, serta membuka isolasi wilayah tersebut.
Di sisi lain, ia juga dihadapkan
persoalan rumit lainnya. Kebiasaan presiden sebelumnya untuk memberikan
pernyataan setelah terjadinya sebuah peristiwa tidak dilakukannya. Respons
tersebut mendapatkan reaksi keras di Papua dan luar Papua, dianggap presiden
tidak peduli dengan kondisi dan peristiwa berdarah Paniai. Walaupun dalam
beberapa forum terbatas dikatakannya secara gamblang bahwa perhatian dan
prioritasnya dalam lima tahun ke depan ialah upaya penyelesaian secara permanen
dan tuntas persoalan Papua.
Dalam konteks itu, Presiden
menegaskan sikapnya tidak memberikan pernyataan berlebihan di depan media
untuk kasus Paniai berkaitan dengan janjinya tersebut. Ia bahkan siap untuk
tidak populer dalam pertarungan opini media yang akan menyudutkannya. Lebih
lanjut Presiden mengemukakan bahwa untuk men capai solusi permanen dan tuntas
sungguh tidak mudah, mengingat warisan konflik yang sudah mengakar 40 ta hun
lebih.
Pernyataan yang sekadar
berfungsi sebagai pemadam kebakaran sesaat, tanpa memberikan solusi konkret dalam
penuntasan persoalannya, justru akan menjadikan bumerang bagi keinginannya
tersebut. Sedikit yang tahu bahwa diam-diam Presiden Jokowi telah memerintahkan
Kepala BIN, Kapolri, menteri pertahanan, dan Panglima TNI untuk mengusut
persoalan itu dan melakukan tindakan serta memberi sanksi tegas bagi
pelanggarnya. Selain itu, Komnas HAM, masyarakat sipil, dan pihak gereja di
Papua juga dimintai laporan dari hasil pencarian fakta di lapangan.
Penyelidikan berlapis atas peristiwa Paniai dilakukan tanpa kegaduhan sorotan
media.
Dari peristiwa ini, mungkin kita
juga perlu belajar memahami situasinya. Sebuah kerutinan negara dalam ritual
komunikasi politik ke publik berpuluh tahun tidak bisa dijadikan satu-satunya
ukuran untuk membenarkan cara dan strategi yang dipilih untuk presiden. Bisa
jadi Presiden Jokowi belajar dari pendahulunya bahwa janji presiden memiliki
implikasi terhadap tingkat kepercayaan rakyat kepadanya. Untuk memelihara
kepercayaan, janji itu bukan untuk sering-sering dikatakan, melainkan untuk
ditepati.
Pada akhirnya, sebuah krisis
memang memerlukan kekuatan bersama untuk mengatasinya kendatipun kekerasan di
Papua selama ini telah menghancurkan apa saja yang `bersama' itu. Kita masih
ditagih untuk bersabar dalam waktu yang lebih lama lagi. Jalan panjang untuk
mendapatkan Papua baru dan Indonesia yang juga terus-menerus baru karena
dalam takdir kebinekaannya ia wajib merevitalisasi konsep-konsep
kewarganegaraannya berdasarkan kebutuhan rakyatnya, perkembangan regional,
ataupun global. Sebuah kesabaran revolusioner karena dilakukan melalui
gerakan kultural yang mengedepankan dialog terus-menerus. Namun, seperti kata
sahabat saya, almarhum Muridan, “Dialog
tidak akan pernah membunuh.“ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar