Tantangan
Pemberantasan Kemiskinan
Ivan Hadar ; Direktur
Eksekutif IDE (Institute for Democracy Education); Koordinator Target MDGs
2007-2010
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Oktober 2014
SEKITAR 27 tahun lalu, tepatnya
pada Oktober 1987, dilapangan Trocadero, Paris, sekitar 100.000 pembela HAM
berkumpul menghormati para korban kelaparan dan kekerasan. Sebuah prasasti
ditorehkan melalui tekad mereka menolak kekerasan dan kemiskinan. Semboyannya,
Bangkit dan Suarakan! Kemudian PBB
berinisiatif membakukan sem boyan tersebut dalam melawan kemiskinan dan
berbagai bentuk pemiskinan.
Menurut Bank Dunia (22/9),
tingkat penurunan kemiskinan di Indonesia sebesar 0,7% pada kurun waktu
2012-2013 ialah yang terkecil dalam satu dekade terakhir. Pada saat
bersamaan, ketimpangan juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir yang
berpotensi mencip takan konflik sosial. Sementara sekitar 68 juta penduduk
Indonesia tetap rentan untuk jatuh miskin. Pendapatan mereka hanya sedikit
lebih tinggi jika dibandingkan de ngan keluarga miskin. Ada fakta lain yang
memprihatinkan.
Pada 2011, misalnya, ketika
kete rangan pemerintah yang menyebut kemiskinan di negeri ini turun satu juta
jiwa, ditambah embel-embel mereka yang hampir miskin naik 5 juta jiwa,
laporan ADB menyebut: “...ketika
kemiskinan di Asia dalam 5 tahun terakhir mengalami penu runan, terdapat tiga
negara yaitu Indonesia, Pakistan, dan Nepal yang mengalami pertambahan
penduduk miskin. Hal tersebut tidak seimbang jika dibandingkan kenaikan GDP,
sehingga menyebabkan semakin me ningkatnya kesenjangan sosial“ (ADB,
2011).
Ternyata, perbedaan data
kemiskinan pemerintah dan lembaga internasional tersebut disebabkan oleh
kriteria batas kemiskinan yang berbeda. ADB menggunakan angka US$1,25 (saat
ini, sekitar Rp15.000), lebih tinggi dari kriteria pemerintah (Kemenkeu) yang
menggunakan angka Rp7.000 per hari sebagai batas kemiskinan.Angka Rp 7.000
per hari atau sekitar Rp 230 ribu/ bulan. Menggunakan kriteria ADB, apalagi
Bank Dunia yang menetapkan angka US$2 per hari, persentase kemiskinan
Indonesia mencapai angka fantastis 45%-60% total penduduk.
Paradigma
Terlepas dari kriteria
tersebut, terdapat dua paradigma yang berseberangan tentang cara
pemberantasan kemiskinan. Paradigma pertama berasumsi bahwa pertumbuhan
ekonomi ialah resep terbaik karena akan menyerap tenaga kerja. Meski
kenyataan empiris sering kali memunculkan bukti berbeda akibat maraknya cara
berproduksi industrial yang padat modal dan hemat tenaga kerja.
Paradigma yang berseberanganya
ialah keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu memperoleh penghasilan.
Usaha mikro dan kecil diyakini sebagai pendukung utama perekonomian rakyat,
sehingga lebih mampu menyejahterakan.
Meski tidak ada resep instan
dan dipastikan manjur, beberapa hal berikut ini diharapkan menjadi
pertimbangan bagi pemerintahan baru dalam kebijakan pemberantasan kemiskinan.
Pertama, manusia, kesejahteraan dan pengamanan masa depannya harus selalu
menjadi fokus utama kebijakan pembangunan. Kebijakan tersebut bukan hanya
fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita baik kemampuan
bersaing ataupun integrasi ke dalam pasar dunia.
Kedua, lewat kebijakan dan
regulasi, kesempatan yang sama harus diberikan dalam persaingan baik antara usaha
mikro-kecil dengan usaha menengah-besar padat modal maupun antar usaha kecil
itu sendiri. Ketiga, pemberantasan kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja
harus memperhatikan tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara
dalam pasar dunia.
Keempat, negara berkembang
dengan potensi pasar luas seperti halnya Indonesia sering kali akan ditekan
oleh lembaga multilateral serta negara adidaya untuk membuka pasarnya dan
menghilangkan subsidi. Bila hal ini dituruti, secara jangka pendek berdampak pada
anjloknya tingkat upah dan meningkatnya PHK yang berarti meningkatnya jumlah
orang miskin.
Reforma agraria
Mayoritas penduduk miskin di
negeri ini bertempat tinggal di daerah pedesaan.Oleh karena itu, tercapainya
target pemberantasan kemiskinan amat tergantung pada keberhasilan pembangunan
pedesaan. Sebagai pembelajaran penting dari pengalaman mancanegara,
aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan mutlak bagi pembangunan
pertanian (Brandt/Otzen, 2002).
Penggunaan istilah
aksesibilitas mengingatkan kita pada Amartya Sen dan asumsinya tentang
entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar, karena di dunia ini tersedia
makanan berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses
(untuk memproduksi) makanan (Sen, 1981).
Usai Perang Dunia II, tiga
negara Asia yang melakukan land reform
dengan cukup berhasil adalah Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Petani
penyewa berubah status menjadi pemilik, sementara para tuan tanah dianjurkan
untuk menginvestasikan hasil ganti rugi atas tanahnya ke dalam sektor
industri. Perubahan status dari penyewa menjadi pemilik, secara
politik-ekonomi berdampak positif.
Reformasi agraria ialah kewajiban penegakkan HAM oleh negara,
yaitu hak atas makanan.Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak asasi
paling mendasar itu dengan memberikan akses lahan, bibit, air, dan
sumbersumber produktif lainnya agar mereka bisa menyediakan sendiri
makanannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar