Spirit
Kemandirian Muhammadiyah
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel;
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 07 November 2014
Ada pertanyaan yang terlontar di kalangan aktivis Muhammadiyah
pasca pengumuman Kabinet Kerja pemerintahan baru, Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf
Kalla (JK). Pertanyaannya seputar tiadanya kader Muhammadiyah yang masuk
dalam kabinet Jokowi-JK. Pertanyaan ini wajar karena sebagai salah satu organisasi
kemasyarakatan (ormas) terbesar semestinya Muhammadiyah dapat menitipkan
kadernya untuk menjadi menteri. Apalagi jika melihat pengalaman Muhammadiyah
yang telah teruji mengelola amal usaha, terutama bidang pendidikan,
kesehatan, dan pelayanan sosial. Tetapi harus dipahami, bahwa Muhammadiyah
bukan organisasi politik.
Habitat Muhammadiyah adalah bergerak di bidang sosial keagamaan.
Khitah Muhammadiyah juga menegaskan keinginan menjaga jarak yang sama dengan
semua partai politik. Itu semua menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak memiliki
budaya berpolitik. Penunjukan menteri juga keputusan politik sekaligus hak
prerogatif presiden. Karena itu, semestinya warga Muhammadiyah menyikapi
susunan kabinet Jokowi-JK dengan sewajarnya. Justru dengan tidak masuk di
kabinet, Muhammadiyah dapat memainkan politik adiluhung (high politics).
Muhammadiyah dapat menampilkan diri sebagai kekuatan kontrol di
tengah budaya politik transaksional. Apalagi, tema yang digelorakan
Muhammadiyah saat memasuki abad kedua adalah kemandirian. Bermacam kiat untuk
membangun kemandirian juga telah dicanangkan. Salah satunya bekerja sama
dengan perbankan untuk memobilisasi potensi ekonomi amal usaha Muhammadiyah.
Ikhtiar ini bertujuan membangun hubungan yang saling
menguntungkan antara persyarikatan dan perbankan. Sebagai pilar civil society, Muhammadiyah harus
tetap menunjukkan kiprahnya. Ibarat jarum jam, Muhammadiyah harus terus
bergerak untuk melahirkan amal-amal sosial yang bermanfaat bagi bangsa.
Laksana matahari, Muhammadiyah harus terus bersinar untuk mencerahkan
kehidupan umat.
Semangat memberi yang selama ini menjadi karakter Muhammadiyah
juga harus terus ditumbuhkan melalui amal usahanya. Jika ini berhasil
diwujudkan maka eksistensi Muhammadiyah akan senantiasa dirindukan kehadirannya.
Sejauh ini Muhammadiyah telah menunjukkan jati dirinya sebagai
organisasi yang mementingkan amal sosial. Karena itu, tidak berlebihan jika
Muhammadiyah disebut sebagai organisasi yang menekankan pentingnya
penghayatan ajaran agama dalam bentuk amalan (a faith with action). Karena itulah pendiri Muhammadiyah, Ahmad
Dahlan, selalu mengajak santrinya untuk mengkaji surah al-Maal-Maun (surat
ke-107).
Harapannya adalah agar santri mempraktikkan nilai-nilai surah
al-Maal-Maun dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman agama model Ahmad Dahlan
tampaknya sangat membekas bagi warga Muhammadiyah. Nilai-nilai kedermawanan
yang diteladankan Dahlan turut membentuk ajaran tolong-menolong (al-Maunisme).
Keseriusan Dahlan selanjutnya diwujudkan dengan membentuk Majelis
Penolong Kesejahteraan Umum (PKU). Tugas utama bidang ini adalah memperbaiki
kesejahteraan umat. Perspektif historis ini penting dikemukakan untuk
mengingatkan kembali kiprah Muhammadiyah sebagai pelopor gerakan filantropi.
Sangat disayangkan, posisi sebagai gerakan filantropi ini belum sepenuhnya
diikuti dengan penguatan di bidang ekonomi.
Padahal untuk menjadi kekuatan civil society yang bebas dari
konflik kepentingan, Muhammadiyah harus menjadi organisasi yang kuat dan
mandiri dalam aspek ekonomi. Pada konteks inilah, Muhammadiyah membutuhkan
sebanyak mungkin kelompok saudagar untuk diajak berkiprah. Kelompok saudagar
ini perlu untuk memperkuat sektor ekonomi umat, terutama warga Muhammadiyah.
Dengan menjadi organisasi yang kuat secara ekonomi, Muhammadiyah
tidak lagi bergantung pada bantuan pemerintah. Ini penting ditekankan karena
sejauh ini posisi ormas umumnya kurang mampu menjalankan fungsi checks and balances pada pemerintah
dan partai-partai politik. Jika diselisik penyebabnya, dapat dikatakan bahwa
ternyata ormas keagamaan masih banyak bergantung pada pemerintah dan
partai-partai politik, terutama bantuan pendanaan.
Yang ironis, ada ormas keagamaan yang merasa berkecil hati
tatkala kegiatannya tidak dihadiri wakil pemerintah. Sikap ini jelas tidak
sejalan dengan eksistensi ormas keagamaan yang sejatinya merupakan gerakan civil society. Karena itulah, ormas
keagamaan harus memperkuat posisi sosial-ekonomi agar dapat mandiri dan bebas
dari kepentingan jangka pendek.
Pada konteks inilah, Muhammadiyah harus menunjukkan
kepeloporannya dalam pemberdayaan ekonomi umat. Posisi tersebut harus diambil
Muhammadiyah jika tidak ingin mengalami hambatan dalam menjalankan dakwah
amar makruf nahi munkar. Itu berarti Muhammadiyah harus membangun kembali
kedai-kedai ekonomi untuk memperbaiki kesejahteraan umat.
Untuk mempercepat pertumbuhan kedai-kedai ekonomi Muhammadiyah
diperlukan sebanyak mungkin kelompok saudagar. Aktivis berlatar belakang
saudagar dapat menumbuhkan spirit entrepreneur di kalangan warga
Muhammadiyah. Pelibatan kelompok saudagar diharapkan dapat menghasilkan
pelaku ekonomi kreatif yang mampu membuat terobosan untuk menggerakkan
perekonomian umat.
Yang harus selalu diingat, Ahmad Dahlan dan generasi awal
Muhammadiyah adalah pelaku ekonomi kreatif sekaligus juru dakwah andal. Itu
berarti sejarah Muhammadiyah sejatinya tidak dapat dilepaskan dari kelompok
saudagar. Kehadiran kelompok saudagar dapat memberikan energi yang besar bagi
perkembangan Muhammadiyah di masa mendatang.
Karena itu, aktivis Muhammadiyah tidak perlu galau dengan
susunan kabinet Jokowi-JK. Berikan kesempatan para menteri untuk bekerja
dengan sepenuh hati. Jika kinerja pemerintah ini sesuai harapan rakyat,
Muhammadiyah pasti mendukung sepenuhnya. Sebaliknya, jika tidak bekerja
maksimal, Muhammadiyah bersama kekuatan civil
society lain siap mengingatkan pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar