Sektor
Konstruksi sebagai Motor Pembangunan
Arif Budimanta ; Direktur
Eksekutif Megawati Institute
|
KORAN
SINDO, 07 November 2014
Sektor infrastruktur selama ini menjadikan daya saing Indonesia
rendah, biaya logistik yang mahal, serta mengerutkan keinginan investor dalam
negeri maupun asing untuk menanamkan investasinya.
Boleh dikatakan bahwa tanpa pembangunan infrastruktur yang baik
jangan harap pertumbuhan ekonomi nasional akan maksimal. Kita cukup
bergembira karena secara tersirat pasangan Jokowi- JK telah menunjukkan
komitmennya untuk memperhatikan sektor konstruksi.
Berulang kali disebutkan salah satu prioritas pasangan Jokowi-JK
(Nawa Cita) adalah meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar
internasional dengan agenda konkret membangun infrastruktur jalan baru
sekurang- kurangnya 2.000 kilometer. Pemerintahan baru Jokowi-JK memang
memprioritaskan pembangunan sektor infrastruktur untuk mengejar
ketertinggalan pembangunan di bidang infrastruktur.
Sebagai salah satu mesin pertumbuhan, pembangunan infrastruktur
membutuhkan dukungan anggaran yang cukup besar. Merencanakan, membangun, dan
memelihara infrastruktur memakan biaya yang sangat besar, apalagi Indonesia
merupakan negara yang sangat luas, terdiri dari ribuan pulaupulau yang sangat
spesifik dari sisi kebutuhan, tantangan dan kendalanya.
Pembangunan infrastruktur merupakan cost investment yang harus
dikeluarkan pemerintah di mana anggarannya masih lebih banyak mengandalkan
pendanaan lewat APBN dan APBD. Sayangnya, anggaran yang dikucurkan untuk
infrastruktur lewat APBN/APBD masih belum menggembirakan. Ratarata anggaran
infrastruktur yang telah dialokasikan APBN/APBD masih kurang dari 4% dari
PDB. Padahal, standar minimal alokasi yang dibutuhkan untuk mendukung target
pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah berkisar 5% PDB.
Coba saja amati alokasi dana infrastruktur di RAPBN 2015 sebesar
Rp196 triliun, yang lebih kecil dibandingkan pagu 2014 sebesar Rp206 triliun.
Angka tersebut masih jauh dari kebutuhan anggaran infrastruktur untuk
menciptakan pertumbuhan yang berkualitas mencapai Rp320 triliun. Kebutuhan
anggaran bisa bertambah apabila 25 proyek infrastruktur “warisan” Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang ditaksir mencapai Rp300 triliun ikut
dibebankan.
Minimnya anggaran infrastruktur ini menurut Bank Dunia
menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pertumbuhan ekonomi hampir 1% setiap
tahun dalam satu dekade terakhir. Ini akan menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah
untuk mencari sumber pendanaan lain. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menggalakkan kembali proyek-proyek berskema public-private partnerships (PPP)
atau kerja sama pemerintah-swasta (KPS) sehingga swasta ikut terlibat dalam
proses pembangunan.
Tambahan dana bisa juga didapatkan apabila pemerintah mampu
mengurangi subsidi, terutama subsidi energi, sehingga dana yang semula
dialokasikan untuk kebutuhan tersebut dialihkan untuk membiayai proyek-proyek
infrastruktur. Pada 2011, saat masih berkuasa, Presiden SBY meluncurkan
program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI).
Program MP3EI yang tersebar di seluruh pelosok negeri diharapkan
bisa mengundang nilai investasi senilai Rp 4.000 triliun. Program MP3EI yang
tidak hanya menekankan pembangunan infrastruktur yang mengandalkan anggaran
pemerintah semata, namun juga pembangunan infrastruktur yang menekankan kerja
sama lewat skema KPS tentu sudah barang tentu akan mendorong pertumbuhan
pasar konstruksi.
Pertum-buhan pasar konstruksi terus tumbuh tentu membuat banyak
pelaku usaha yang tertarik untuk terjun melakukan bisnis di sektor
konstruksi. Data BPS 2013 menyebutkan, jumlah perusahaan yang bergerak di
sektor konstruksi mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata mencapai 17% per tahun. Jumlah
perusahaan konstruksi pada pertengahan 2014 mencapai 108.583 perusahaan.
Di sini perlu dipahami pula bahwa meskipun ASEAN nanti akan
menjadi pasar tunggal, namun bukan berarti bisa bebas tanpa aturan. Untuk
melakukan usaha jasa konstruksi, Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA)
harus bekerja sama dengan Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional (BUJKN) yang
berkualifikasi Besar dalam bentuk joint
operation (JO) atau joint venture
(JV) dengan penyertaan modal asing saat ini dibatasi maksimal sebesar 55%
untuk kontraktor dan 51% untuk konsultan. Batasan tersebut akan menjadi 70%
setelah terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 31 Desember 2015.
Apakah pelaku usaha nasional akan mampu menguasai pasar
konstruksi setelah MEA berlaku? Ini menjadi pertanyaan serius yang jawabannya
tergantung dari kebijakan pemerintah baru. Pemerintah harus menyadari bahwa
penggarapan dan penguasaan potensi pasar konstruksi belum didukung sepenuhnya
oleh sumber daya manusia (SDM) dengan keahlian yang tersertifikasi,
standardisasi, dan mekanisme tender usaha dan jasa konstruksi, maupun
material konstruksi.
Faktanya, dari 600.000 insinyur Indonesia dengan kompetensi yang
bisa disejajarkan dengan negara lainnya, hanya 170 insinyur yang telah
memenuhi mutual recognition arrangement
(MRA) yang merupakan pengalaman kompetensi tenaga ahli sesama negara anggota
ASEAN. Dari sisi bisnis, pelaku usaha juga masih mengalami kesulitan mencari
pendanaan murah, suku bunga yang tinggi, dan kebijakan pajak yang kurang
menguntungkan.
Kondisi ini sangat pelik karena saat ini kita menghadapi situasi
likuiditas yang sangat ketat. Perbankan nasional tidak memiliki dana yang
cukup untuk mendanai proyek-proyek pembangunan, sementara mereka kesulitan
dalam menambah modal. Dana pihak ketiga yang disimpan di perbankan nasional
masih sedikit jika dibandingkan danadana WNI yang diparkir di Singapura. Jika
saja Jokowi-JK mampu “mengembalikan” dana-dana yang disimpan di luar negeri
tersebut, perbankan nasional akan lebih kuat karena struktur modalnya
meningkat.
Untuk menguasai pasar dalam negeri, pemerintah baru juga wajib
memberikan perlindungan terhadap kontraktor kecil di tengah dominasi
kontraktor besar dalam industri jasa konstruksi nasional. Dari jumlah
kontraktor yang ada saat ini, sekitar 13% kontraktor besar dan menengah
menguasai 80% pasar, sedangkan 87% kontraktor kecil hanya menikmati 20%
pasar.
Dalam persaingan tersebut, good
governance di industri konstruksi nasional masih belum terjadi, sehingga
kontraktor berskala kecil mengalami distorsi karena terjadi dominasi
kontraktor asing dan kontraktor besar (BUMN) baik proyek-proyek APBN maupun
swasta. Untuk itu, sistem kemitraan kontraktor besar-kecil, nasional/internasional-daerah,
mutlak dibangun.
Selain itu, memberi insentif dan disinsentif untuk mendukung
pengelolaan rantai pasok oleh kontraktor besar dan menengah serta melarang
vertical integration oleh kontraktor besar, khususnya dimulai dari kontraktor
BUMN guna menghindari penguasaan rantai pasok dari hulu hingga hilir. Selamat
bekerja untuk pasangan Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar