Plagiarisme
dari Semak-Semak Afrika
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang
dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia
|
JAWA
POS, 19 November 2014
LINDA
Christanty, nama penting dalam sastra Indonesia hari ini dan kawan yang
menyenangkan untuk membahas buku-buku serta berbagai topik lain, termasuk
tentang sinshe di kampung
halamannya yang mempunyai diagnosis-diagnosis mengejutkan dan nama-nama
makanan yang terdengar lebih cocok sebagai nama hewan, menelepon saya suatu
siang. Saya tidak menanggapi panggilan tersebut karena situasi saya tidak
memungkinkan untuk menerima telepon. Dia menelepon satu kali lagi dan saya
tetap tidak mengangkatnya. Pada malam hari, saya periksa telepon seluler
saya. Ada beberapa panggilan masuk, dari nomor-nomor yang saya kenal maupun
tidak saya kenal, dan dua panggilan tak terjawab dari Linda. Dia menelepon
ketika saya sedang berada di jalan tol dan telepon saya tertinggal di rumah.
Besoknya,
saya menelepon Linda dan dia menerima panggilan telepon saya. Kami pun tidak
membicarakan ikan hiu yang hidup abadi atau manusia yang berubah menjadi
pohon kemboja dalam cerita-cerita yang kurang meyakinkan. Linda menyampaikan
bahwa dia sudah mendapatkan tiga novel Patrick Modiano, pengarang Prancis
pemenang Nobel Sastra 2014, yang hendak dibicarakan dalam klub diskusi
bulanan yang kami adakan sekadar untuk bersenang-senang.
’’Kupikir
kau hendak menceritakan mimpi bahwa kita benar-benar berubah menjadi
jenglot,’’ kata saya.
Kami
pernah membicarakan kemungkinan tentang umur panjang seperti manusia di zaman
Nabi Nuh dan kami akan hidup sampai umur 250 tahun. Pada saat itu tubuh kami
tentu mengecil dan kulit kami menjadi keriput sekali sehingga orang-orang
akan menyangka kami sebagai jenglot, makhluk gaib produksi dalam negeri yang
wujudnya menyerupai jahe atau ginseng.
Sebentar
membicarakan Modiano, saya tiba-tiba ingat satu hal yang saya ingin tanyakan
kepadanya, yakni tentang isu plagiarisme di kalangan perancang busana yang
sekarang sedang ramai dibicarakan. Linda bekerja di majalah Dewi dan saya
membaca berita bahwa Priyo Oktaviano, satu di antara lima perancang yang
dipilih majalah tersebut sebagai Ksatria Mode (Fashion Knight) 2014, dituding telah menjiplak rancangan Prabal
Gurung, perancang Amerika Serikat berdarah Nepal.
Dia tak
terlalu bersemangat menanggapi pertanyaan saya dan saya sendiri sebenarnya
tidak tahu apa-apa soal mode. Namun, dia berusaha menjelaskan juga soal mode
dan itu adalah urusan yang sangat sulit untuk saya cerna. Pengetahuan
maksimum yang saya miliki tentang adibusana hanyalah sebatas kain sarung.
Menurut
saya, sarung adalah rancangan busana terbaik yang pernah diciptakan orang.
Dengan sarung, Anda bisa tampak anggun dan khusyuk saat menghadap Tuhan.
Selain itu, ia bisa memiliki fungsi lain yang nyaris tak terbatas. Para
pedagang buku keliling menggunakannya untuk mengangkut barang dagangan
mereka. Saya menggunakannya sebagai mantel pada masa kanak-kanak jika saya
ingin menjadi Zorro, kesatria pembela rakyat miskin dari negeri Latin, dan
sebagai properti untuk bermain hantu-hantuan. Jika Anda mau, Anda bisa
menggunakan kain sarung untuk mengubah diri menjadi Batman, Superman, Godam,
atau Kapten Mar.
Tentang
plagiarisme yang saya tanyakan, Linda mengatakan, ’’Plagiarisme sama buruknya
dengan korupsi. Ia adalah perkara mentalitas. Dalam kasus semacam ini, jika
pelakunya sudah punya nama, kita harus melacak ke belakang.’’
Kami
lalu membicarakan kasus plagiarisme Fareed Zakaria yang sangat menghebohkan
pada 2012. Fareed, warga AS keturunan India, adalah jurnalis, kolumnis, dan
figur yang cemerlang pada era multimedia. Dia cemerlang sejak kuliah di Yale
University dan mengawali karir cemerlangnya dengan menjadi pemimpin redaksi
Yale Political Monthly. Pada 1993, di usia 28 tahun, dia meraih gelar doktor
dari Harvard, memimpin proyek riset tentang politik luar negeri AS di universitas
tersebut, menjadi redaktur pelaksana jurnal Foreign Affairs, serta menjadi
profesor tamu di Columbia University.
Pada
2000, dia menjadi editor di Newsweek International dan menulis kolom tetap
untuk Newsweek, sebelum pindah sepuluh tahun kemudian ke Time dan menjadi
penulis kolom tetap di majalah tersebut dan Washington Post, CNN, serta
menjadi penulis untuk banyak media dan jurnal di AS. Dia juga menulis tiga
buku serta menjadi pembawa acara mingguan Fareed Zakaria GPS (Global Public Square) di stasiun
televisi CNN. Pada 2003, New York
Magazine menurunkan sebuah artikel feature tentang Fareed, berjudul Man of The World, yang antara lain mengutip
komentar Henry Kissinger, mantan menteri luar negeri AS, tentang Fareed
Zakaria sebagai ’’otak kelas satu dan
orang yang gemar menantang suara-suara konvensional.’’
Kasus
plagiarisme pada 2012, yang dia akui sebagai ’’kekeliruan yang mengerikan’’, meredupkan kecemerlangannya.
Setelah meledaknya kasus itu, ada tulisan yang menyebutkan bahwa plagiarisme
juga ditemukan dalam artikelnya pada 2009. Pada tahun itu juga muncul lagi
tuduhan-tuduhan tentang plagiarisme di beberapa artikelnya yang lain.
Kami
menyinggung sedikit tentang kenapa orang melakukan penjiplakan terhadap karya
orang lain. Saya menyampaikan pendapat yang saat itu terpikir bahwa para
pelaku plagiarisme, tampaknya, bersandar pada satu harapan, yakni semoga
tidak ada satu orang pun yang akan tahu bahwa dia menjiplak. Dia berharap
pencipta karya aslinya tidak tahu, redaktur (dalam hal tulisan) tidak tahu,
atau juri (jika karya tersebut diikutkan lomba) tidak tahu. Dalam beberapa
saat, mungkin harapan itu terwujud: pencipta, juri, redaktur, dan orang-orang
yang dianggap otoritatif di bidang tersebut tidak tahu. Seluas apa pun
pengetahuan seorang juri atau redaktur, Anda tahu, mereka tetap bukan orang
yang mahatahu. Pengetahuan yang mereka miliki tidak mungkin mencakup semua
informasi.
Namun,
yang sering dilupakan para penjiplak, publik mahatahu dan selalu bisa
diandalkan untuk mendeteksi terjadinya plagiarisme. Pengetahuan yang dimiliki
publik adalah kumpulan pengetahuan yang dimiliki individu-individu yang
menyusun sebuah himpunan raksasa yang kita sebut ’’publik’’. Kasus-kasus
plagiarisme biasanya terbongkar karena publik mengetahuinya.
Sekarang,
dalam era media sosial, informasi tentang plagiarisme bisa disampaikan lebih
cepat karena setiap orang punya media yang bisa digunakan untuk menyiarkan
temuannya kepada siapa saja dan orang-orang lain segera menyebarluaskannya
serta menjadikannya pembicaraan umum.
Karena
itulah, kita sekarang ini cepat tahu ada penjiplakan dalam musik, dalam
karang-mengarang, dalam dunia mode, dan lain-lain. Dalam musik, jika ada
kesamaan delapan bar saja antara satu komposisi dan komposisi lain yang lebih
dulu diciptakan, pencipta yang belakangan disebut melakukan tindakan
plagiarisme. Itu hal yang saya dengar kali pertama dari obrolan ringan
bertahun-tahun lalu dengan mendiang Franky Sahilatua. Saya pikir musik memang
lebih matematis ketimbang, misalnya, karangan. Dalam karangan, mungkin kita
tidak bisa menetapkan standar eksak semacam itu. Saya kira begitu juga dalam
dunia mode.
Dalam
perbukuan, ada pula kreativitas yang memalukan. Seorang pembeli buku pernah
mengeluhkan bahwa dia membeli dua buku yang sama persis, dari penerbit yang
sama, dengan desain sampul dan nama pengarang yang berbeda.
’’Saya
mengira itu dua buku yang membahas topik yang sama. Jadi, saya beli
dua-duanya,’’ katanya. Jadi, dia membeli buku tersebut karena sedang
mendalami topik yang dibahas buku tersebut. Beberapa bulan kemudian, muncul
buku lain yang membahas topik itu dan dia membeli buku tersebut. Ternyata,
dua buku tersebut sama persis.
Ini
bukan kasus plagiarisme, melainkan kelicikan pengusaha penerbitan.
Pada
malam harinya, karena masih penasaran dengan kasus plagiarisme di dunia mode,
saya mengakses internet dan membuka akun Instragram yang mengungkap kasus
tersebut. Akun bernama Nyinyirfashion
itu, yang tampaknya memang membaktikan diri untuk mencereweti dunia
adibusana, dengan sengaja menyandingkan foto-foto rancangan desainer dalam
negeri dan luar negeri yang dianggap serupa. Sekali lagi, saya tidak paham
tentang mode busana. Beberapa yang dia sandingkan memang tampak sama.
Beberapa yang lain tidak tampak kesamaannya di mata saya dan untuk hal ini
ada pengikut-pengikut akun tersebut yang berkomentar: ’’Beda keleeeeuss!’’ atau ’’Maksaaaa...’’
Mengenai
Priyo Oktaviano, perancang yang kemudian menyatakan mengundurkan diri dari
acara Jakarta Fashion Week yang
digelar pekan lalu oleh majalah Dewi, yang foto-foto rancangannya
disandingkan dengan rancangan Prabal Gurung, saya melihat bahwa keduanya
memang nyaris identik. Memang ada bedanya, yakni pada aksesori di hidung si
peragawati. Dalam rancangan Priyo yang menampilkan koleksi rancangan berjudul
African Blu, saya melihat ada panah
kecil yang menembus hidung peragawatinya, seolah-olah dia baru keluar dari
semak-semak setelah lepas dari kejaran para pemburu Afrika.
Pagi-pagi saya kembali menelepon Linda untuk mengatakan, ’’Apa boleh buat, kedua rancangan itu
nyaris identik.’’ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar