Nasib
Industri Kreatif Tanpa Menteri
Rama Datau Gobel ; Ketua Umum Hipmi Jaya
|
KORAN
SINDO, 19 November 2014
Pengusaha
muda mengapresiasi penunjukan beberapa menteri baru di Kabinet Kerja
Jokowi-JK. Terutama untuk menterimenteri ekonomi yang bersentuhan langsung
dengan sektor riil seperti menteri per-dagangan, menteri perindustrian, dan
menteri koperasi dan usaha kecil menengah.
Namun,
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) juga ikut memberi catatan yakni
sektor ekonomi kreatif yang dulu satu payung dengan sektor pariwisata kini
tidak jelas di bawah binaan siapa meski industri ini jadi ”jualan” terdepan
pasangan Jokowi-JK pada pemilihan presiden (pipres) lalu.
Sebagaimana
kebiasaan pengusaha yang tidak suka berlama- lama melihat masalah, Hipmi pun
punya pikiran atau solusi yakni bagaimana bila sektor ekonomi kreatif ini
dikelola oleh badan atau lembaga sendiri. Sebelum penyusunan struktur
kabinet, kami bahkan sempat melempar ide agar ekonomi kreatif ini punya
menteri atau badan sendiri biar lebih fokus dan tajam pengelolaannya.
Informasi terakhir, ekonomi kreatif akan ”dilindungi” oleh suatu badan.
Kontribusi
Apa pun
lembaga pelindung industri ini, pada Era Informasi ekonomi kreatif tidak bisa
lagi dipandang sebelah mata kontribusinya atas perekonomian nasional. Data
menunjukkan bahwa ekonomi kreatif tidak kalah dibandingkan sektor ekonomi
lain dalam berkontribusi terhadap perekonomian di republik ini.
Sektorsektor
yang sebelumnya menjadi andalan kini bahkan berangsur- angsur menurun
peranannya bagi perekonomian seperti minyak dan gas (migas) dan pertambangan.
Mari kita lihat seksinya sektor ini. Saking seksinya, pemerintah menargetkan
pertumbuhan di sektor ini mencapai 10% pada 2014.
Terhadap
PDB, industri ini ditargetkan menjadi tiga besar kontributor untuk product
domestic bruto (PDB). Sebelumnya, ekonomi kreatif menempati posisi ketujuh
dari 10 sektor ekonomi nasional dengan menyumbang PDB sebesar 6,9% atau
senilai Rp573,89 triliun dari total kontribusi ekonomi nasional.
Tak
hanya itu, peranannya dalam penciptaan lapangan kerja juga kian strategis.
Ekonomi kreatif menempati posisi keempat dari 10 sektor ekonomi dalam
kategori jumlah tenaga kerja pada 2012. Ekonomi kreatif menyumbang 11.799.568
orang atau 10,65% pada total angkatan kerja nasional yang sebesar 110.808.154
orang.
Perkiraan
kami menunjukkan usaha di industri ini terdiri atas sekitar 10% dari total
jumlah usaha di Indonesia saat ini. Periode 2010-2013 industri kreatif
rata-rata dapat menyerap tenaga kerja sekitar 10,6% dari total angkatan kerja
nasional. Itu didorong oleh pertumbuhan jumlah usaha di sektor industri
kreatif pada periode tersebut sebesar 1%.
Dengan
begitu, jumlah industri kreatif pada 2013 tercatat sebanyak 5,4 juta usaha
yang menyerap angkatan kerja sebanyak 12 juta jiwa serta memberikan
kontribusi terhadap devisa negara sebesar Rp19 triliun atau sebesar 5,72%
dari total ekspor nasional. Di pertengahan tahun ekspor karya kreatif
Indonesia sudah mencapai Rp63,1 triliun atau tumbuh sebesar 7,27%
dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Tantangannya
Terlepas
dari ”hilangnya” payung lembaga industri kreatif ini, sejumlah tantangan
sudah menanti pemerintah dan dunia usaha di antaranya, pertama, minimnya
akses finansial atau pembiayaan terhadap industri ini. Seperti usaha, mikro,
kecil, dan menengah (UMKM) lainnya, industri ini belum menjadi primadona bagi
lembaga-lembaga keuangan formal untuk dibiayai.
Kerap
tidak punya aset dan potensi yang tangible, perbankan takut menyalurkan
kredit bagi industri kreatif, apalagi di bidang seni dan perfilman. Ini
berbeda dengan pemilik usaha kerajinan tangan yang relatif lebih mudah
mendapatkan bantuan pembiayaan dari perbankan ketimbang pelaku usaha kreatif
di bidang seni.
Sebab
itu, kami mendorong agar Otoritas Jasa Keuangan dan (OJK) dan Bank Indonesia
(BI) lekas-lekas berembuk mencari formula atau skema khusus pembiayaan agar
industri kreatif masuk sebagai sektor yang bankable (memenuhi syarat
perbankan). Jangan sampai hanya sebab mandeknya pembiayaan, banyak potensi
ekonomi dari sektor ini yang menguap atau bahkan ditangkap oleh negara
tetangga seperti Singapura.
Kedua,
teknologi yang masih mahal dan susah diakses. Teknologi memang mahal. Namun,
teknologi akan semakin mahal lagi dengan minimnya pasokan pembiayaan di atas.
Ketiga, akses pasar. Akses pasar industri kreatif dikuasai oleh negara-negara
tertentu sehingga produsennya di Indonesia tidak langsung dapat menjual ke
negaranegara end user.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang mempunyai potensi dalam pengembangan
industri kreatif terbaik di kawasan ASEAN maupun pasar dunia. Ini tidak
terlepas dari potensi bahan baku di Indonesia yang melimpah. Kendati
demikian, kemampuan SDM Indonesia dalam alih teknologi dan kreativitas masih
relatif rendah. Ini berdampak pada perkembangan industri kreatif yang
cenderung lamban.
Keempat,
kendala kelembagaan. Kementrian dan lembaga yang berkepentingan dengan
industri kreatif sangat banyak. Akibat itu, birokrasi dan pembinaan industri
makin panjang dan meluas serta tidak fokus. Sebab itu, Hipmi pernah
mengusulkan agar urusan perizinan dan pembinaan industri ini cukup satu pintu
dan ditangani satu badan atau kementrian saja.
Lebih
mutakhir lagi, kami mengusulkan agar perizinan sudah mencakup semua jenis
izin dengan satu lembar perizinan. Penyederhanaan perizinan ini sangat
penting untuk membantu pelaku industri melakukan efisiensi waktu dan biaya.
Bayangkan, sebagian besar pelaku usaha industri kreatif merupakan pelaku UKM
yang modalnya sangat minim.
Mereka
inilah yang harus mengurus seabrek perizinan sebagai berikut: Tanda daftar
perusahaan, surat izin usaha, perdagangan (SIUP), surat domisili, dan
sebagainya. Itu belum termasuk surat izin tempat usaha, Kadin, SIUJK, API,
dan paten merek. Tak hanya izin yang banyak, perizinan ini juga semakin
kompleks dan tumpang tindih seiring menumpuknya bidang yang bergabung dalam
industri ini.
Terakhir, tantangan manajerial. Di industri kreatif, pendiri usaha
biasanya mereka yang memiliki keahlian produksi. Pelaku industri ini biasanya
mampu melakukan produksi dan inovasi. Namun, pendirinya kadang punya sisi
lemah dalam manajerial. Sebab itu, pelaku industri membutuhkan pembinaan dan
pendampingan agar mampu mengintegrasikan sisi produksi dengan manajemen
keuangan, pemasaran, dan pengembangan SDM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar