Pesan
Damai Sura
Husein Ja’far Al Hadar ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 06 November 2014
Muharram dalam kalender Hijriyah memiliki nilai signifikan dalam
perspektif Islam. Bukan hanya karena ini bulan pertama dalam kalender
Hijriyah yang ditandai hijrahnya Nabi Muhammad, sehingga patut menjadi titik
refleksi untuk transformasi diri, keberislaman, dan keberumatan menuju titik
lebih baik. Atau agar kita tak menjadi pribadi atau umat yang merugi, tak
cakap meng-otentik-kan waktu dan tak pandai memastikan bahwa hari esok lebih
baik daripada kemarin. Tapi juga karena ini adalah salah satu dari empat
bulan toleransi dan perdamaian dalam Islam.
Muharam adalah salah satu bulan suci yang diharamkan oleh Allah
untuk berperang. Terminologi "Muharam" bahkan berasal dari akar
kata bahasa Arab: "h-r-m", yang berarti "suci". Karena
itu, bulan ini adalah momentum tepat untuk merefleksikan rapor toleransi umat
Islam guna kembali mengoreksi, berintrospeksi, dan meningkatkan kualitas
toleransi keislaman kita, serta terus merajut perdamaian antar-mazhab dan
umat beragama.
Adapun dalam tradisi Islam Indonesia, Muharam memiliki nilai
signifikan plus lain, yakni dikenalnya bulan ini sebagai bulan Sura.
Terminologi "Sura" berasal dari Asyura: ajaran dan peringatan umat
Islam dalam mengenang terbunuhnya Sayyidina Husain (cucu Nabi) di Karbala
(Irak) dalam pembantaian oleh pasukan di bawah perintah "Khalifah"
Yazid dari Dinasti Umayyah. Dalam tradisi Islam Indonesia, dari Aceh,
Bengkulu, Jawa, hingga Madura, Sura memiliki ragam ekspresi peringatan duka
berbasis budaya: ada upacara Tabot di Bengkulu hingga pembagian bubur Sura di
Jawa.
Asyura sendiri, meski menandai sebuah tragedi pembantaian yang
terjadi pada bulan yang dilarang berperang (apalagi membantai), sarat akan
pesan-pesan toleransi dan perdamaian. Cendekiawan Annemarie Schimmel, dalam
salah satu artikel khusus tentang asyura berjudul Karbala and the Imam Husain
in Persian and Indo-Muslim Literature, bahkan heran bagaimana Sayyidina
Husain justru menekankan pentingnya nilai-nilai tertinggi HAM dan perdamaian
dari pembantaian terhadap dirinya. Sebab, dengan membawa wanita, anak-anak,
bahkan bayi, Sayyidina Husain justru hendak memperlihatkan bahwa darah dan
nyawanya, keluarga serta sahabatnya, akan ia relakan demi sebuah sejarah
paling mengerikan agar tak lagi ada pertumpahan darah atau anarkisme atas
nama Islam, kekhilafahan, dan lain-lain.
Dalam sejarahnya, rombongan keluarga Sayyidina Husain bahkan
justru disambut dan diperlakukan dengan baik oleh salah seorang pendeta di
salah satu gereja di bukit Syam (Suriah), yang kini diabadikan sebagai situs
sejarah Islam bernama Ra'sul Husain (Kepala Husain). Walhasil, lengkaplah
pesan Asyura bahwa perdamaian dan kemanusiaan adalah pesan dan perkara
universal yang lintas agama, apalagi sekadar madzhab. Di sisi lain,
ironisnya, Ibn Taimiyyah, yang menjadi kiblat kubu ekstremis Islam, justru
memutarbalikkan sejarah Asyura untuk mengubur pesan-pesan damainya dan pesan
kritisnya demi doktrin khilafah yang kian kerap digadang-gadang oleh kaum
muslim radikal di dunia, termasuk Indonesia.
Karena itu, Asyura harus terus diperingati sebagai salah satu
aset budaya Islam Indonesia sebagai penghayatan dan ekspresi Islam khas
Indonesia yang damai, toleran, humanis, akulturatif, dan mengandung pesan
lintas mazhab serta lintas agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar