Pengalihan
Subsidi BBM
Marwan Batubara ; Direktur Eksekutif IRESS
|
KORAN
SINDO, 20 November 2014
Akhirnya
sejak Selasa 18 November 2014, pukul 00.00 WIB pemerintah menaikkan harga
BBM, premium dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 (30,77%) dan solar Rp5.500 menjadi
Rp7.500 (36,36%).
Dalam
pengumuman, pemerintah masih coba menghindari menggunakan kata “menaikkan
harga”, dengan ungkapan “mengalihkan subsidi BBM untuk program produktif”. Tulisan ini membahas apakah waktu penaikan harga dengan
janji kampanye sudah tepat dan pengalihan subsidi untuk program produktif
memang akan terlaksana.
Masih
melekat dalam ingatan kita bahwa saat kampanye Pilpres 2014 Jokowi pernah
berjanji akan memberantas mafia dan membenahi tata niaga migas. Saat ini
karena masih berperannya mafia migas dan belum transparannya perhitungan
harga pokok produksi BBM, nilai subsidi BBM yang harus ditanggung APBN akan
lebih besar dari nilai sebenarnya. Apalagi, cukup banyak kalangan yang
meyakini bahwa kerugian negara akibat keterlibatan mafia dalam tata niaga
migas berkisar antara Rp40 triliun hingga Rp50 triliun per tahun.
Pengalaman dari pemerintahan
sebelumnya menunjukkan masalah mafia migas sering mengemuka dalam ranah
publik menjelang dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga BBM. Namun setelah
penaikan harga BBM dieksekusi, pemerintah kembali surut untuk memberantas.
Bahkan DPR periode 2004-2009 pernah membentuk Pansus BBM, yang salah satu
tujuannya adalah untuk memperbaiki tata niaga migas dan memberantas mafia.
Ternyata Pansus BBM DPR ini pun terbukti gagal mencapai tujuan mulia yang
dicanangkan.
Fakta di
atas menunjukkan bahwa peran mafia migas memang sangat kuat sehingga dapat
memengaruhi kebijakan pemerintah hingga pusat-pusat kekuasaan, bahkan hingga
level tertinggi. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita menagih janji
kampanye Jokowi untuk bersikap sangat serius memberantas mafia migas.
Kebijakan
BBM dan sektor energi sangat vital bagi negara dan dapat berpengaruh pada
hampir seluruh sektor kehidupan rakyat. Karena itu, Jokowi seharusnya memulai
pemberantasan mafia migas terlebih dahulu sebelum menetapkan kebijakan
penaikan harga BBM. Apalagi, dengan terjadinya penurunan harga BBM dunia
akhir-akhir ini dan bahkan untuk beberapa bulan ke depan, tersedia cukup
waktu bagi Jokowi dan anggota kabinetnya untuk bekerja terlebih dahulu
memberantas mafia migas dibanding menaikkan harga BBM.
Ternyata
Jokowi lebih memilih membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat dibanding
membasmi parasit yang menggerogoti uang rakyat puluhan triliun rupiah setiap
tahun. Alih-alih mengintensifkan upaya pemberantasan mafia migas, ternyata
Jokowi memulai bulan pertama pemerintahannya dengan rencana impor minyak dari
Angola yang ditengarai “berbau mafia” pula.
Kita
sangat khawatir, jangan-jangan sikap pemerintahan Jokowi terhadap mafia migas
sama pula dengan sikap pemerintahan sebelumnya, sehingga mafia migas tetap
eksis menjalankan agendanya dan rakyat terus menjadi korban. Karena harga BBM
telah telanjur dinaikkan, kita hanya tinggal berharap Presiden Joko Widodo
yang mengaku pro “wong cilik“ tetap konsisten berupaya maksimal memenuhi
janji memberantas mafia migas.
Program Produktif
Terkait
dengan rencana pengalihan sebagian besar subsidi BMM ke sektor produktif,
tadinya penulis pun bersikap sama dengan masalah pemberantasan mafia migas.
Penulis meyakini bahwa seharusnya pemerintah menyiapkan dulu berbagai blueprint dan daftar program-program
konkret sektor produktif tersebut berikut target pencapaian dan perkiraan
anggarannya, sebelum kenaikan harga dilakukan.
Dalam
hal ini pun, program-program tersebut harus memprioritaskan solusi masalah
energi, transportasi dan infrastruktur dasar dibandingkan menjalankan
program-program tanpa arah, apalagi jika ditumpangi dengan program
pencitraan. Pada 2006, pemerintah menerbitkan Perpres No 5/2006 tentang
Kebijakan Bauran Energi, yang antara lain mencanangkan porsi penggunaan gas
dan energi baru terbarukan (EBT) yang terus meningkat.
Dalam
kebijakan tersebut, pada 2025, porsi EBT dan gas akan meningkat masing-
masing menjadi 25% dan 30%, dari porsi bauran 6% dan 20% pada saat ini. Agar
target bauran EBT tercapai, antara perlu disiapkan rencana produksi listrik
panas bumi, bahan bakar nabati (BBN), sel surya, listrik tenaga air secara
masif dan berkelanjutan.
Dalam
kurun waktu tersisa yang tinggal 10 tahun, tampaknya mustahil target produksi
porsi EBT yang saat ini masih pada level 78 juta setara barel minyak (SBM)
menjadi 545 juta SBM pada 2025 (peningkatan 700%). Target hanya dapat dicapai
jika pemerintah berkomitmen sangat kuat dan melakukan berbagai program
terobosan, termasuk memprioritaskan penggunaan penghematan subsidi BBM untuk
memproduksi EBT secara masif.
Untuk
energi gas, porsinya dalam energy mix dicanangkan meningkat dari sekitar 300
SBM (2013) menjadi 500 SBM (2025). Agar penggunaan gas untuk industri, PLN
dan transportasi darat meningkat signifikan, misalnya dari sekitar 30.000
kendaraan saat ini menjadi 2-3 juta dalam lima tahun ke depan maka perlu
dibangun ribuan kilometer jaringan pipa transmisi dan distribusi gas,
sejumlah terminal penerima LNG, serta ribuan SPBG.
Dengan
demikian, target bauran energi dapat dicapai dan impor BBM dan minyak mentah
pun berkurang. Namun, seperti halnya untuk memproduksi EBT, target tersebut
hanya dapat dicapai jika pemerintah mempunyai komitmen yang kuat untuk
menetapkan blueprint, program yang berkelanjutan dan anggaran yang besar dari
penghematan subsidi BBM.
Uraian
di atas menunjukkan bahwa jika ingin mengamankan diri dari potensi krisis energi
dan krisis ekonomi akibat defisit perdagangan minyak/BBM, defisit neraca
berjalan dan defisit APBN, langkah solusi masalah energi secara komprehensif
sangat dibutuhkan. Program-program produktif yang dicanangkan Jokowi mestinya
justru lebih diprioritaskan untuk mengatasi masalah energi dibandingkan
hal-hal yang tidak terarah atau bahkan sarat pencitraan politik.
Selama
ini saat penaikan harga BBM pada 2003, 2005, 2008, dan 2013, pada umumnya
pemerintah hanya fokus pada program perlindungan sosial berupa BLT dan BLSM,
serta pencitraan politik. Presiden dan menteri-menteri seolah berlomba
menggunakan dana dari penghematan subsidi BBM tanpa arah, tidak memperhatikan
program prioritas, dan abai pada sektor energi dan transportasi yang
seharusnya menjadi prioritas. Akibatnya telah kita rasakan sekarang, bahwa
impor migas akibat tidak tercapainya bauran energi telah menyebabkan triple deficit dan nilai tukar rupiah
terus merosot.
Pengalaman
di atas menjadi alasan mengapa kita menuntut agar pemerintah menyiapkan
terlebih dahulu berbagai blueprint dan program-program produktif
berkelanjutan berikut kebutuhan anggaran, terutama pada sektor energi,
dibandingkan langsung menaikkan harga BBM.
Jika
tidak, karena “ruang fiskal” membesar dan masing-masing sektor saling
berlomba memanfaatkan, maka pengalihan subsidi BBM yang diakui akan digunakan
untuk sektor produktif tidak akan bermanfaat optimal. Apalagi jika sudah
disusupi kepentingan pencitraan seperti halnya program tiga kartu, KIP, KKP
dan KIS, yang diusung Jokowi.
Bukankah anggaran pendidikan yang mencapai 20% APBN (Rp400 triliun)
dapat mengakomodasi kebutuhan anggaran KIP? Maka akhirnya kita akan kembali
terjebak ke dalam lingkaran permasalahan energi dan ekonomi yang tak
terselesaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar