Pendidikan
Kembali ke Khitah
Z Arifin Junaidi ; Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arfi
NU
|
KORAN
SINDO, 20 November 2014
Kurikulum
2013 akan dievaluasi, begitulah pernyataan Menteri Kebudayaan,
Pendidikan Dasar dan Menengah (Menbuddikdasmen) Anies Baswedan, tak
lama setelah menjabat menbuddikdasmen sebagaimana dilansir berbagai media.
Sebenarnya
tak ada yang aneh dalam pernyataan itu, karena evaluasi untuk suatu kegiatan
atau program adalah sesuatu yang sah bahkan suatu keharusan. Namun karena
masyarakat kita sudah terbiasa dengan eufemisme, pernyataan itu dipahami
sebagai “Kurikulum 2013 akan diganti”.
Maka
anggapan bahwa “ganti pejabat ganti kebijakan” pun semakin kental. Kalangan
yang selama ini “menentang” diberlakukannya Kurikulum 2013 menyambut gembira
pernyataan “Kurikulum 2013 akan diganti”. Namun menurut hemat penulis,
seperti halnya kalangan yang beranggapan “ganti pejabat ganti kebijakan”,
evaluasi terhadap Kurikulum 2013 hendaknya tidak berujung pada
diberlakukannya kurikulum baru.
Hal ini
mengingat fakta bahwa Kurikulum 2013 baru saja diberlakukan. Itu pun belum di
semua sekolah/ madrasah. Awal Oktober lalu, Kemendikbud menyatakan baru pada
tahun ajaran 2015/2016 semua sekolah/madrasah ditargetkan menerapkan
Kurikulum 2013.
Kurikulum
merupakan suatu yang niscaya dalam pendidikan yang bagi bangsa dan negara
kita merupakan amanat konstitusi yang tertuang pada amendemen UUD 1945 Pasal
31. Amanat konstitusi tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Kurikulum suatu Keniscayaan
Untuk
mencapai tujuan pendidikan sebagaimana amanat konstitusi yang dijabarkan
dalam UU Sisdiknas, adanya kurikulum adalah keniscayaan. Karena kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan, sebagaimana batasan UU
Sisdiknas.
Dengan
demikian, kurikulum memiliki peranan yang sangat strategis dalam pencapaian
tujuan pendidikan. Kurikulum merupakan sarana untuk mentransmisikan nilai-
nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini
bagi generasi muda.
Mengingat
perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi
setiap saat dan tuntutan masyarakat dan zaman terus berubah, kurikulum harus
mampu mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan. Selain itu,
adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat
senantiasa mengalami perubahan, maka pewarisan dan nilai-nilai dan budaya
kepada siswa perlu senantiasa disesuaikan.
Dalam
konteks inilah perubahan kurikulum dapat dipahami. Pendidikan mempunyai akar
yang sangat panjang dan jauh dalam sejarah bangsa kita, seiring dengan
perkembangan bangsa kita. Pada masa Hindu-Buddha, pendidikan dikenal dengan
istilah “Karsyan “, sebuah tempat yang diperuntukkan bagi petapa dan untuk
orangorang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan
mendekatkan diri kepada dewa tertinggi.
Karsyan
sendiri dibagi menjadi dua bentuk, yaitu patapan dan mandala. Patapan adalah
tempat mengasingkan diri, atau bertapa, bagi seseorang dengan tujuan mencari
petunjuk tentang apa yang dia inginkan. Sedangkan mandala adalah sebuah
tempat suci untuk para pendeta, murid, dan pengikutnya untuk kegiatan
keagamaan, dan pembaktian diri pada agama dan nagara. (Agus Aris Munandar
“Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14-15 (1990)”).
Pada masa Islam, pendidikan bisa dikatakan melanjutkan sistem pendidikan yang
sudah berjalan pada masa sebelumnya dengan penyesuaian berdasarkan ajaran
agamanya.
Pada
masa Islam, tempat pendidikan yang semula bernama patapan, disebut pondok
pesantren, tempat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman.
Pesantren berarti tempat berkumpul atau tempat tinggal para santri yang
sedang mencari bekal dan membentuk diri menjadi manusia baik-baik.
Pada
masa Hindu-Buddha dan masa Islam, tujuan pendidikan adalah untuk mencari
bekal diri dengan ilmu, keterampilan dan akhlak yang mulia untuk mencapai
tujuan hidup sebagai manusia baik-baik; memanusiakan manusia. Itulah khitah
pendidikan kita.
Pendidikan yang Mendiskriminasi?
Pada
masa Hindu-Buddha dan masa Islam, lembaga pendidikan yang bernama sekolah
belum dikenal. Sekolah pertama didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda
pada 1817 di Jakarta, khusus untuk anak-anak Belanda, yang segera diikuti
oleh pembukaan sekolah dikota-kota lain di Jawa.
Dalam
statuta 1818 disebutkan bahwa sekolah harus dibuka di tiap tempat bila
diperlukan oleh penduduk Belanda dan keadaan memungkinkan. Penjajah Belanda
menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi
pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada, utamanya pondok
pesantren.
Pendidikan
dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan dan berdasarkan tingkat
kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk
anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi
pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan
oleh penguasa.
Diakui
sistem pendidikan yang dikembangkan Belanda mampu melahirkan cerdik cendekia,
yang di kemudian hari menjadi bumerang bagi Belanda dengan perjuangan mereka
untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Belanda. Namun tak dapat
dipungkiri, sistem pendidikan yang dikembangkan Belanda itu
memorak-porandakan sistem pendidikan yang sudah berjalan sekian lama dan
sesuai dengan kepribadian bangsa.
Dari
sistem pendidikan itu, kemudian lahir dualisme lembaga pendidikan, sekolah di
satu sisi dan madrasah/pesantren di sisi yang lain. Selain itu, juga
mengakibatkan munculnya dikotomi ilmu umum versus ilmu agama. Sistem
pendidikan yang mendiskriminasi dan menghasilkan dikotomi yang dikembangkan
pemerintah kolonial Belanda itulah yang dilanjutkan oleh pemerintah kita saat
kita telah memproklamasikan kemerdekaan, danberlakuhingga sekarang.
Sistem
pendidikan yang telah berjalan sebelum Belanda menerapkan sistem
pendidikannya terbukti telah melahirkan manusia baik-baik, yang berilmu,
berketerampilan, dan berakhlak mulia serta mandiri. Dalam kehidupan bangsa
kita, yang harus diakui semakin terdidik sebagai hasil sistem pendidikan yang
diterapkan, pelanggaran norma sosial, susila dan hukum semakin marak.
Korupsi
makin merajalela dan menjadi- jadi, yang pelakunya kaum terdidik.
Pengangguran terdidik semakin meningkat dan jumlah TKI di luar negeri juga
jumlahnya terus melonjak dari waktu ke waktu. Kesenjangan kaya-miskin semakin
melebar. Tawuran, kekerasan, kasus narkoba, dan pergaulan bebas juga menjamur
di kalangan anak didik kita.
Dalam
kasus-kasus pelanggaran norma sosial, susila dan hukum itu tak terdengar pelakunya
dari kalangan madrasah/pesantren, kalaupun ada mungkin angkanya sangat kecil.
Ini membuktikan bahwa sistem pendidikan madrasah/ pesantren, yang sesuai
dengan khitah pendidikan bangsa, mampu mewujudkan tujuan pendidikan sesuai UU
Sisdiknas, yaitu mengembangkan potensi anak didik untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan
negara.
Apakah pemerintah serius ingin melaksanakan amanat UUD 1945 dalam
mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional? Kalau itu mau
dilakukan, hal itu dilakukan pada tataran kurikulum. Karena pada tataran
normatif batasan pengertian dan tujuan pendidikan tidak berbeda. Kembali ke
khitah pendidikan, yakni memanusiakan manusia, adalah sebuah alternatif yang
patut dipertimbangkan untuk menata pendidikan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar