Pendidikan
dan Kebudayaan
Daoed Joesoef ; Alumnus
Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS,
07 November 2014
SETELAH menanti selama
sepekan penuh, the longest week that
ever exist, Presiden Joko Widodo mengumumkan komposisi pemerintahannya. Setelah menyaksikan
di layar televisi susunan Kabinet Kerja-nya, saya sangat kecewa.
Presiden cum pemimpin baru Indonesia
betul-betul telah keliru memahami ”pendidikan” dan ”kebudayaan”, yang saya pikir bukan merupakan konsen saya saja, melainkan
adalah masalah masa depan Indonesia selaku satu negara-bangsa.
Padahal, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Tanah Air tercatat
jelas bahwa Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang sewaktu masih dijajah
berani mendirikan sekolah bersistem nasional berhadapan dengan sekolah
kolonial Belanda. Sekolah nasional itu adalah Taman Siswa yang didirikan oleh
Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Ada Indonesische
Nijverheid School yang didirikan Moh Syafei di Kayu Tanam dan Normal
School yang didirikan oleh Willem Iskander di Tano Bato.
Semua lembaga pendidikan nasional tersebut secara esensial
membelajarkan aneka pengetahuan yang dikemas dalam budaya nasional dan
bermental perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, para pendiri bangsa itu
sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Bagian
dari sistem nilai yang dihayati oleh manusia. Pendidikan bertugas
mengembangkan manusia menjadi pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai.
Satu menteri
Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memecah belah keutuhan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yang dibenarkan masih ”berbudaya”
adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan sempalannya,
pendidikan tinggi, digabung ke Kementerian Riset dan Teknologi, tanpa
kebudayaan. Kebijakan ini sungguh merisaukan karena kekeliruan kecil bisa
berakibat besar yang tak terelakkan, suatu bahaya fatal yang dahulu sudah
diingatkan oleh Aristoteles.
Betapa tidak. Pendidikan adalah satu keseluruhan walaupun dibuat
berjenjang, secara formal sejak TK hingga S-3. Pendidikan (education) beda dengan persekolahan (schooling). Persekolahan mengurus
(memikirkan) semua bahan pelajaran yang diperlukan oleh anak didik untuk
mampu survive dalam menempuh
kehidupan. Pendidikan bertanggung jawab atas perkembangan keseluruhan pribadi
anak—the development of the whole child.
Maka, penting sekali bahwa pendidikan formal anak bangsa ditetapkan di bawah
tanggung jawab satu orang menteri, siapa pun dia.
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tidak
dikaitkan dengan kebudayaan. Lalu, bagaimana dengan ”nasib” Fakultas Ilmu
Budaya, Akademi Seni Rupa dan Musik serta Karawitan, serta Fakultas Seni Rupa
dan Desain dari ITB, yang notabene membelajarkan teknologi? Bukankah semua
lembaga pendidikan yang disebut tadi tergolong pada perguruan tinggi? Apakah
akan dimatikan begitu saja? Kalau dibiarkan hidup, mereka ”berinduk” ke mana?
Masak urusannya akan diserahkan begitu saja kepada Kementerian Pendidikan
Dasar dan Menengah, yang masih ”berbudaya”.
Proses pendidikan tinggi di mana pun di dunia berusaha
menghasilkan ”budayawan” (man of
culture), bukan ”ilmuwan” (man of
science), walaupun tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. Sebab, ilmu
pengetahuan tanpa budaya bisa tergelincir ke teknologi (applied science) yang menghancurkan manusia itu sendiri. ”It is not the business of science to
inherit the earth,” kata Prof Bronowski, ”but to inherit the moral imagination; because without that, man and
belief and science will perish together.”
Sementara yang konsen pada moral dan moralitas adalah budaya,
sebagai salah satu nilai yang terus-menerus menjadi urusannya para excellence. Dan, kita selaku satu
bangsa diniscayakan mengembangkan kebudayaan demi bisa mencapai peradaban.
Bukankah sila kedua dari Pancasila berbunyi: ”Kemanusiaan yang adil dan
beradab”. Unsur yang membentuk peradaban adalah kebijakan, pengetahuan, dan
keindahan.
Ini bukan berarti bahwa riset tidak perlu. Kita menghadapi masa
depan dengan suatu senjata yang tidak dikenal oleh penguasa negeri puluhan
tahun yang lalu. Senjata ini berupa pengetahuan ilmiah dan kapasitas
menyempurnakannya tanpa batas melalui riset ilmiah pula. Sejauh yang mengenai
Indonesia dewasa ini, hal ini dapat dilaksanakan di lingkungan satu lembaga
formal, yaitu Kemendikbud.
Kementerian ini membawahi kegiatan pendidikan tinggi yang sudah
mengurus pendidikan penelitian dan pengabdian masyarakat. Kalau kegiatan
penelitian ini perlu lebih diintensifkan dan, karena itu, dianggap perlu ada
Kementerian Riset tersendiri, silakan saja. Namun, jangan merusak lembaga
yang sudah berjalan. Kementerian Riset seharusnya memanfaatkan
lembaga-lembaga riset yang sudah ada, yaitu LIPI, BPPT, bila perlu Bappenas.
Sambil lalu perlu dipertanyakan apakah pemecahan Kemendikbud sudah
dikonsultasikan lebih dahulu pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)?
Segera koreksi
Ide pemecahan Kemendikbud ini konon datang dari Forum Rektor
Indonesia. Kalau hal ini benar, sungguh disayangkan. Ternyata para rektor ini
tidak menyadari ide humanitarian yang membentuk lembaga-lembaga pendidikan
yang selama ini mereka pimpin. Mereka ternyata adalah ”guru” dan ”besar”,
tetapi bukan pendidik in spite of
kebesarannya itu. Mereka menganggap jabatannya semata-mata sebagai suatu
profesi teknis, bukan vokasi (suatu panggilan nurani). Mereka sungguh tega
mempermainkan pendidikan.
Maka, ada baiknya para rektor dan dekan membaca tulisan yang
penuh dengan kearifan dari Prof Dr Tjipta Lesmana berjudul Jangan Pecah
Kemendikbud. Selama 40 tahun dia memberi kuliah di beberapa universitas/perguruan
tinggi dan pernah ikut riset di LPPM yang ketika itu dipimpin seorang
teknikus picik. Berdasarkan pengalamannya itu, Tjipta Lesmana berpendapat,
penggabungan perguruan tinggi ke riset dan teknologi mengandung dua kesalahan
berpikir yang fatal.
Pertama, riset tidak mesti selalu diarahkan ke kebutuhan pasar
dan industri. Keharusan riset seperti ini adalah pandangan Marxis yang serba
materialistis dan kurang memandang manusia sebagai ”thinking thing”, sebagaimana dinyatakan oleh Descartes: cogito ergo sum, aku berpikir, maka
aku ada.
Peradaban Barat amat mencerahkan bukan berkat penelitian
materialistis, melainkan karena karya-karya besar dari ”the thinking thing”, berupa hasil penelitian sosial, terutama
penelitian filosofi. Budaya Indonesia ”rusak” karena negara kita kekurangan
ahli pikir. Sementara nenek moyang kita telah berpepatah, ”pikir itu pelita
hati, salah pikir binasa diri”.
Masih menurut Pak Tjipta, teknolog-pemimpin riset cenderung
melupakan nama-nama besar, seperti John Lock, John Milton, Mintesquieu,
Rousseau, James Madison, dan Paine Burke, apalagi trio filosof nomor wahid di
zaman Yunani Kuno: Socrates, Plato, dan Aristoteles, mereka semua jadi besar
namanya di manca dunia karena kehebatannya berpikir dan berfilosofi sepanjang
hayatnya.
Kesalahan pemikiran fatal kedua dari penguasa Indonesia kini
adalah memecah kesatuan pendidikan dasar, menengah dan tinggi, dengan alasan
yang sama seperti yang telah saya ajukan di atas.
Ada dikatakan bahwa pemecahan Kemendikbud setelah dilakukan
perbandingan dengan keadaan pendidikan di luar negeri. Jangan sekali-kali
membuat perbandingan dua kondisi yang tidak setara. Bandingkan kondisi kita
dengan kondisi negeri maju ketika dahulu masih tertinggal seperti kita
sekarang.
Di Perancis, misalnya, guru sekolah menengah (sudah) disebut
professeur. Mereka adalah lulusan sekolah guru yang bernama Ecole Normale.
Mereka sudah menjadi profesional begitu rupa hingga tanpa menteri atau
kementerian apa pun di atasnya, proses pendidikan tetap berjalan sebagaimana
seharusnya. Mereka inilah pelaksana sejati dari sistem pendidikan nasional
bangsanya. Mereka sadar bahwa le
gouvernement passe, les professeurs restent—pemerintah (boleh) silih berganti, tetapi para guru tetap di tempat.
Di Indonesia belum terbentuk ketegasan profesionalisme di kalangan korps
guru-guru kita. Mereka masih berupa pencari nafkah halal di bidang
pendidikan.
Wahai Presiden dan
Wakil Presiden, sebelum terlambat, masih ada kesempatan emas untuk mengoreksi
kekeliruan kebijakan mumpung nasi belum telanjur menjadi bubur. Kembalikanlah
keutuhan Kemendikbud, jangan main-main dengan pendidikan dan kebudayaan.
Pikirkan baik-baik. Nenek moyang kita telah berpepatah: ”pikir itu pelita
hati, salah pikir binasa diri”.
Sementara itu, kaum intelektual dan para orangtua murid yang terdidik
hendaknya tidak bersikap indifferent.
Masa depan anak-anak Anda yang menjadi taruhan dan para masa depan mereka
tergantung dari masa depan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar