Partai
Kebangkitan Bangsa Pasca Muktamar
Hamdan Daulay ; Dosen
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KOMPAS,
07 November 2014
MUKTAMAR PKB yang
diselenggarakan di Surabaya akhir Agustus lalu tampaknya belum memberi
suasana politik yang sehat dan menyejukkan. Setelah muktamar, PKB belum mampu
melahirkan kader-kader politik andal karena tersumbatnya iklim demokrasi.
Kuatnya dominasi Muhaimin
Iskandar dalam memimpin PKB selama ini membuat kader-kader PKB tidak ada yang
berani tampil menjadi kandidat ketua umum. Maka, terjadilah ”sandiwara
politik” yang dengan aklamasi memilih Muhaimin Iskandar menjadi Ketua PKB.
Catatan politik Muhaimin dalam
pertarungan politik di PKB, yang berani melawan Gus Dur dan tokoh-tokoh PKB
yang lain, membuat iklim demokrasi kurang berkembang di partai ini.
Namun, seiring dengan dinamika
politik di Tanah Air, sinar politik Muhaimin mulai redup. Kuatnya ambisi
Muhaimin untuk rangkap jabatan Ketua Umum PKB dan masuk kabinet JKW-JK
ternyata tidak bisa direalisasikan.
Berbagai analisis pun muncul.
Ada yang menilai karena ia terbentur kebijakan Jokowi yang tegas tidak
membolehkan menteri rangkap jabatan, hingga dikait-kaitkan dengan KPK yang
memberi warna kuning dan merah. Secara diplomatis dan apologis, Muhaimin
mengatakan bahwa ia ingin lebih fokus mengurus PKB.
Gus Dur sesungguhnya sudah lama
memprediksikan perkembangan PKB ke depan setelah konflik internal. Bahkan,
waktu itu Gus Dur menyebut beberapa nama yang dianggap ”merusak” PKB.
Menurut Gus Dur, dalam buku
Muslim di Tengah Pergumulan (1994: 86), syahwat politik yang berlebihan
menjadi ancaman utama yang merusak partai.
Berkembang atau terpuruknya PKB
ke depan tentu tidak lepas dari dukungan warga NU dan kiai-kiai karismatik.
Ketika elite PKB bisa menjalin komunikasi yang baik dengan kiai dan komponen
NU dari berbagai lapisan, PKB akan eksis.
Sebaliknya, manakala elite PKB
salah dalam menjalin komunikasi dengan kiai dan komponen NU, PKB semakin terpuruk
dan ditinggal massa pendukung.
Keberhasilan PKB meraih suara
signifikan pada pemilu 9 April yang lalu, salah satunya adalah karena semakin
baiknya komunikasi elite PKB dengan kiai dan komponen NU di berbagai lapisan.
Kiai jadi kunci
Martin van Bruinessen dalam
buku Nahdlatul Ulama menilai bahwa karisma kiai sebagai perekat ukhuwah di NU
yang dilambangkan dengan sembilan bintang dan seutas tali kini mulai pudar.
Lunturnya karisma kiai antara
lain dipengaruhi oleh keberpihakan kiai pada politik praktis, bahkan tidak
jarang mereka menjadi juru kampanye partai politik sehingga terjadi
pertentangan tajam kiai satu dengan kiai lainnya. Akibatnya, tugas utama kiai
sebagai pengemban dakwah dan pendidikan Islam semakin terbengkalai.
Menurut Martin, kiai yang
dianggap sebagai perekat keutuhan ukhuwah di tubuh NU telah mengalami
pergeseran nilai. Ormas Islam seperti NU, tempat berkumpulnya kiai, ulama,
dan santri, seharusnya bisa fokus pada bidang dakwah dan pendidikan Islam.
Namun, dalam realitas banyak
tugas utama NU yang terbengkalai karena kesibukan para kiai berpolitik
praktis. Ikrar yang sudah diucapkan NU di Situbondo pada 1984 untuk kembali
ke khitah 1926 juga tak kunjung teraktualisasikan.
Fenomena relasi politik NU
dengan PKB ke depan tampaknya cukup menarik untuk dikaji. Sebagai ormas Islam
yang mempunyai puluhan juta warga, dengan basis pesantren dan kiai-kiai
karismatik, NU adalah kekuatan besar yang patut diperhitungkan.
Menurut Deliar Noer dalam buku
Partai Islam di Pentas Nasional, NU adalah aset besar bangsa yang telah
berperan penting dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, NU tidak
boleh terjebak pada politik praktis, tetapi harus konsisten pada perjuangan
dakwah dan pendidikan untuk rakyat.
Patut kiranya menjadi catatan
bagi kiai-kiai NU tentang risiko jika mereka terlalu intens dalam dunia
politik. Sebagai panutan umat hendaknya mereka men¬jadi teladan (uswatun hasanah) termasuk dalam bidang
politik.
Sikap istiqomah ini harus
dipegang teguh agar umat tidak menjadi bingung melihat tindakan kiai mereka.
Kiai yang memiliki wawasan luas dan pengaruh besar di masyarakat akan memilih
yang terbaik untuk umat.
PKB ke depan dengan nakhoda
Muhaimin tentu akan menghadapi banyak tantangan seiring dengan dinamika
politik yang begitu cepat berubah.
Muhaimin tentu mampu membaca
dinamika politik yang ada agar PKB bisa tetap eksis. Iklim demokrasi yang
sehat harus diupayakan dalam memimpin NU sehingga bisa lahir kader-kader
andal.
Kalau iklim demokrasi disumbat,
cepat atau lambat PKB akan terpuruk di tengah semakin cerdas dan kritisnya
masyarakat pemilih. Iklim demokrasi yang tak sehat akan berkembang menjadi
penyakit kanker ganas, yang cepat atau lambat akan membuat kekuatan partai
itu semakin rapuh dari waktu ke waktu.
Seyogianya ke depan PKB menjadi
partai yang benar-benar demokratis, bukan partai yang seolah-olah demokratis,
tetapi realitasnya menjalankan sistem yang otoriter.
Jangan menyepelekan kritik yang
masuk, apalagi menganggap pihak yang mengkritik sebagai musuh. Justru kritik
itu adalah obat untuk menyehatkan PKB ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar