OPEC,
Booming Energi AS, dan Anomali Harga Minyak
Okta Heri Fandi ; Mantan
Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 01 November 2014
LEVEL sensitivitas harga minyak dunia terhadap dinamika di Timur
Tengah sudah berubah. Harganya tidak lagi serta-merta meroket ketika situasi
di kawasan kaya minyak tersebut memanas. Polanya berbeda jika dibandingkan
dengan era Perang Teluk (1990–1991), perang Iran-Iraq (1980), Revolusi Iran
(1978–1979), maupun embargo minyak perang Arab-Israel (1973–1974).
Awal Oktober ini Dana Moneter Internasional (IMF) sempat
khawatir harga naik menyusul perkembangan di sentra penghasil minyak seperti
Iraq, Syria, maupun Libya. Ditambah lagi ketegangan Rusia-Ukraina dan aksi
kelompok militan di Nigeria. Ketegangan geopolitik dikhawatirkan mengganggu
alur pasokan emas hitam sebagai sumber utama energi dunia.
Namun, kenyataannya, harga minyak malah berbalik arah menuju
titik terendah dalam empat tahun terakhir. Anjlok sekitar 25 persen jika
dibandingkan dengan Juni lalu. Anomali itu banyak dibahas, baik dari kacamata
studi hubungan internasional maupun kisah revolusi teknologi yang sedang
terjadi di dunia perminyakan.
Dunia saat ini sedang kebanjiran pasokan minyak. Di tengah
kelesuan ekonomi Eropa dan Tiongkok, permintaan pasar AS terhadap minyak
internasional juga jauh berkurang. Sebagai konsumen terbesar di dunia, impor
AS dari anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC)
tinggal 50 persen jika dibandingkan dengan sebelumnya. Bahkan sejak Juli
lalu, Negeri Paman Sam tidak lagi mengimpor minyak dari Nigeria, yang
menyuplai lebih dari 1 juta barel per hari (bph) pada 2010. Walhasil, minyak
dari Timur Tengah dan Nigeria harus perang harga di pasar Asia.
Beberapa anggota OPEC meminta pertemuan darurat. Opsinya adalah
penurunan produksi secara kolektif agar harga kembali stabil. Namun, Arab
Saudi sebagai penghasil terbesar di antara anggota OPEC tampaknya enggan
kendati tren harga menurun. Di luar OPEC, Rusia juga cemas lantaran sangat
bergantung pada penjualan minyak.
Berkaca pada sejarah, Saudi tidak ingin mengulang kesalahan era
1980-an. Ketika harga turun, mereka mengurangi produksi hingga 75 persen.
Harga minyak memang kembali merangkak naik, tapi pendapatan dan pangsa pasar
Saudi tergerus. Suplai mereka ke AS waktu itu tinggal 74 ribu bph dari
sebelumnya 1,5 juta bph.
Selain Saudi, produsen utama lainnya, yakni Kuwait dan Uni
Emirat Arab, enggan menurunkan produksi. Masalah itu menjadi agenda utama
pertemuan OPEC di Wina 27 November mendatang. OPEC mengontrol sepertiga
(sekitar 30 juta bph) suplai minyak dunia.
Bukan hanya sisi permintaan, saat ini juga terjadi lonjakan
pasokan. AS mengalami booming produksi migas dan disebut-sebut tengah
memasuki era kebangkitan energi (energy renaissance). Produksi minyak AS
mencapai angka tertinggi dalam 28 tahun terakhir.
Bahkan, Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan produksi
minyak AS segera melampaui Saudi yang menyandang status penghasil terbesar
dalam dua dekade terakhir. Dua tahun lalu AS menggeser Rusia sebagai produsen
terbesar gas.
Dalam enam tahun terakhir, produksi minyak AS melonjak sekitar
60 persen. Sejak September tahun lalu, untuk kali pertama dalam beberapa
dekade terakhir, mereka mampu memproduksi minyak lebih banyak daripada angka
impor. Ketergantungan pasokan luar negeri pun terus menurun.
Booming produksi di AS terjadi berkat penerapan teknologi rekah
hidrolis (hydraulic fracturing) dan
pengeboran horizontal (horizontal
drilling). Terobosan itu mampu memproduksikan potensi migas
nonkonvensional seperti tight oil dan
shale gas dari lapisan bebatuan.
Perkembangan itu tentu dipantau Saudi, yang 85 persen ekspornya
berasal dari minyak. Bukan semata pangsa pasar, mereka berharap penurunan
harga minyak dapat mengerem agresivitas laju produksi AS. Jika harga terus
anjlok, biaya produksi menjadi lebih mahal sehingga tidak ekonomis. Saat ini
AS masih membatasi ekspor minyak mentah menyusul embargo minyak Arab empat
dekade silam.
Pergeseran lanskap sumber dan pasar minyak dunia tentu
memengaruhi perilaku, asumsi, dan kebijakan berbagai negara. OPEC tidak bisa
lagi leluasa memainkan arah pendulum harga minyak. Sedangkan AS bisa sedikit
lega seiring dengan terus menurunnya ketergantungan terhadap minyak internasional.
Pada 1973, perekonomian AS pernah terganggu embargo minyak Arab seiring
ampuhnya minyak sebagai alat ekonomi dan politik.
Bagi negara-negara yang memberikan subsidi bahan bakar minyak
(BBM), anjloknya harga minyak menjadi momentum untuk mengurangi beban
anggaran. Bisa berupa pengurangan ataupun penghapusan subsidi untuk dialihkan
ke sektor yang produktif. India misalnya. Dua pekan lalu PM Narendra Modi
mengatakan segera mencabut subsidi diesel dan menaikkan harga gas. Dampaknya
diharapkan lebih moderat ketika harga minyak rendah.
Terkait dengan migas nonkonvensional, kisah kebangkitan energi
AS dapat menjadi pelecut semangat. Untuk shale gas, misalnya, Indonesia
diperkirakan memiliki cadangan 574 trillion cubic feet (tcf) atau hampir
empat kali lipat jika dibandingkan dengan gas konvensional. Pengembangan
shale gas di tanah air baru dimulai tahun lalu dan belum memasuki tahap
komersial.
Pengembangan secara luas membutuhkan investor yang cakap di
teknologi itu dan menyesuaikannya dengan kondisi geologis kita, kesiapan
regulasi yang mendorong investasi tanpa mengorbankan kepentingan nasional,
serta visi yang sama di antara instansi pemerintah untuk menciptakan iklim
investasi yang kondusif. Bagian terakhir masih menjadi pekerjaan besar dan
sering menimbulkan ketidakpastian hukum. Termasuk kemunculan tiga kasus
kriminalisasi yang menimpa perusahaan migas, telekomunikasi, dan maskapai
penerbangan baru-baru ini. Kasus tersebut disorot investor dalam dan luar
negeri karena sudah diekspos media-media internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar