Merevolusi
Pendidikan Pinggiran
Rohani Elita Simanjuntak ; Dosen
Politeknik Unggul LP3M, Medan
|
KORAN
JAKARTA, 03 November 2014
Pasca pelantikan 34 menteri, praktis selama lima tahun ke depan
fokus kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla bersama jajarannya yang
tergabung dalam Kabinet Kerja adalah merealisasikan sembilan agenda prioritas
yang disebut Nawacita. Dari sembilan butir Nawacita tersebut, Jokowi-JK
menempatkan
“Revolusi Krakter Bangsa” sebagai agenda kedelapan yang di
dalamnya terdapat janji memeratakan distribusi guru disertai pemerataan
fasilitas pendidikan. Janji ini tentunya memberi angin segar bagi seluruh
masyarakat yang tinggal di daerah 3T.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan begitu maju di
daerah perkotaan dengan kelengkapan fasilitas dan sumber daya guru melimpah,
sementara di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) seperti Papua,
Nias Selatan, serta sebagian Kalimantan, jangankan fasilitas, sumber daya
guru nyatanya masih sangat minim.
Ini membuat pendidikan masyarakat jauh tertinggal. John Bock,
dalam Education and Development: A Confl ict Meaning (1992), mengemukakan
bahwa esensi utama pendidikan memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural
bangsa. Kemudian mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, dan
kebodohan.
Di samping itu juga mendorong perubahan sosial untuk memeratakan
kesempatan dan pendapatan. Namun sayang, kualitas pendidikan Indonesia
nyatanya masih jauh dari harapan.
Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment
(PISA 2012), Th e Learning Curve Pearson 2014, maupun berdasarkan
penilaian-penilaian internasional lainnya, Indonesia tetap saja menduduki
posisi-posisi buncit dan sangat jauh dari memuaskan. Penyebab buruknya mutu
pendidikan tak lepas dari kelemahan sistem dan kebijakan pemerintah yang
tidak tepat.
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan seolah jalan di
tempat. Kondisi ini bahkan semakin diperparah dengan tidak meratanya distribusi
guru secara kualitas dan kuantitas. Data Pemetaan BPSDMP-PMP Kemdikbud (2011)
menunjukkan distribusi guru sangat timpang.
Persebaran guru terlalu sentralistik. Di perkotaan, guru
berkelebihan hingga 52 persen. Di perdesaan guru juga berkelebihan hingga 68
persen. Sebaliknya, banyak sekolah di daerah 3T mengalami kekurangan guru
hingga 66 persen.
Masalah ini jelas mengakibatkan para pelajar di daerah 3T tak
mendapat kesempatan sama mengecap pendidikan layak. Akibatnya, generasi muda
daerah 3T sulit meraih masa depan cerah karena mustahil mampu membangun
daerahnya.
Ujung Tombak
Mendapat pendidikan layak juga merupakan hak dasar rakyat yang
tinggal di wilayah 3T. Jadi, untuk mendukung pendidikan layak tersebut,
dibutuhkan guru-guru berkualitas dalam jumlah cukup.
Maka, muncul pertanyaan bagaimana mungkin pelajar di daerah 3T
dapat mengecap pendidikan layak, sementara jumlah tenaga guru daerah tersebut
sangat minim? Di sinilah rupanya pemerintahan sebelumnya lupa bahwa kuantitas
dan kualitas guru inheren dengan kemajuan pendidikan.
Guru adalah ujung tombak mencapai delapan Standar Nasional
Pendidikan yang meliputi standar kompetensi lulusan, proses-isi,
pendidik-tenaga kependidikan, saranaprasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan beberapa fungsi dan peranan
guru dalam proses pembelajaran.
Tugas guru mencakup banyak hal penting, di antaranya sebagai
perencana pendidikan (planner), pelaksana (organizer), penilai (evaluator),
serta pembimbing (teacher counsel). Celakanya, hingga kini, kualitas
pendidikan dan distribusi guru masih sangat timpang sebagai bukti bahwa
kebijakan belum mampu menjadi katalisator yang baik di dalam pembangunan
pendidikan.
Keadaan ini sebenarnya menyakiti hati rakyat yang berada di
daerah 3T. Hingga usia kemerdekaan Indonesia 69 tahun, generasi muda di
daerah 3T tetap saja belum mendapat pendidikan layak.
Karena itu, rakyat tentu sangat berharap kepada pemerintahan
baru agar secepat mungkin merancang kebijakan fundamental dan holistik bidang
pendidikan. Pascapelantikan Kabinet Kerja, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla diharapkan benar-benar serius dalam merevolusi pendidikan baik secara
struktural maupun kultural.
Kebijakan Jokowi-JK hendaknya mampu menggebrak kebuntuan
sehingga memberi manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya di daerah 3T. Hal
ini penting mengingat banyak kebijakan saat ini kurang relevan sehingga perlu
dikaji ulang. Beberapa di antaranya terkait dengan kebijakan distribusi guru.
Permendikbud No 62/2013, SKB 5 Menteri, dan Kebijakan Sarjana Mendidik di
Daerah Terpencil, Terdepan, dan Terluar (SM3T) belum mampu secara holistik
mengubah keadaan.
Hal ini dikarenakan guru SM3T hanya mengajar sementara waktu
(temporary). Sedangkan daerah 3T faktanya membutuhkan guru-guru permanen
berkualitas dengan jumlah yang cukup. Untuk mengatasi ketimpangan guru,
Kementerian Pendidikan bersama pemerintah daerah seharusnya dapat mencegah
guru yang umumnya ingin pindah dari desa-desa ke kota.
Jika kebijakan memindahkan kelebihan guru dari satu daerah ke
tempat lain yang kekurangan terasa begitu sulit diimplementasikan, maka tidak
ada salahnya bila perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS) diprioritaskan
untuk daerah 3T. Perlu juga komitmen mengajar seumur hidup agar guru tidak menumpuk
di perkotaan. Ke depan, pemerintahan perlu lebih serius memajukan pendidikan
daerah 3T.
Jika kualitas pendidikan tidak segera diperbaiki, maka bonus
demografi hanya akan berujung malapetaka akibat menjamurnya generasi muda
nonproduktif yang tak mampu bersaing di era perdagangan bebas ASEAN. Untuk
menghasilkan sumber daya manusia berkualitas, pemerintahan Jokowi-JK perlu
benar-benar menjadikan pendidikan sebagai engine of growth.
Kita tidak boleh lupa pesan founding father Soekarno: guru
merupakan sosok penting sebagai pahlawan terdepan dalam proses “Revolusi
Karakter Bangsa”.
Menyediakan pendidikan layak bagi rakyat sudah menjadi tugas
pemerintah sesuai dengan tuntutan undang-undang. Tanpa kehadiran guru
berkualitas sebagai pendidik, mustahil Indonesia mampu mencapai tujuan
nasional. Semua berharap pemerataan pendidikan dapat tercapai sehingga
kualitas sumber daya manusia meningkat demi Indonesia Raya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar