DPR-ku,
Dewasalah!
Denis Arifandi Pakih Sati ; Dosen
Mahad Ali bin Abi Thalib
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
|
HALUAN,
03 November 2014
Sebagai rakyat Indonesia yang
ikut memilih dalam pemilihan legisliatif, malu rasanya melihat perilaku
para anggota dewan yang tidak kunjung dewasa. Sebulan sudah mereka berada di
sana, namun sepertinya belum ada yang dihasilkan. Mereka sibuk dengan
kepentingan kelompoknya, dan kepentingan pribadi masing-masing. Gaji bulan
ini mungkin sudah diterima, namun derita rakyat malah semakin bertambah.
Sejak awal duduk di kursi
anggota dewan pascapelantikan, tanda ketidakberesan itu sudah kelihatan.
Sidang yang penuh dengan kericuhan. Ada yang maju ke depan, kemudian menggoda
pimpinan sidang untuk meloloskan hasrat partainya. Padahal, tindakan yang
dilakukannya itu sungguh memalukan karena juga disaksikan khalayak ramai,
karena disiarkan secara langsung di televisi.
Dan beberapa hari ini, media
kembali dihebohkan oleh perilaku para anggota dewan, terutama dari Fraksi PPP
yang membanting meja dan “ngamuk” kepada pimpinan sidang. Dan lebih parah
lagi, sekarang Koalisi Indonesia Hebat (KIH) membuat komisi tandingan,
setelah seluruh ketua komisi disapu habis oleh Koalisi Merah Putih
(KMP). Dan yang saya khawatirkan, jikalau muncul pula presiden tandingan.
Bisa kacau negeri ini.
Apa yang dipertontonkan oleh
anggota dewan ini bukan hanya membuat rakyat semakin bosan, namun mereka
juga akan semakin kehilangan kepercayaan dari rakyat. Sehingga, Pemilu yang
diadakan sekali lima tahun, kelak hanya akan menjadi formalitas bekala. Dan
ujung-ujungnya, malah menghabiskan uang Negara saja.
Jikalau dilihat track
record para anggota dewan sebelumnya, rakyat masih jauh dari puas.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Cirus Surveyor Group dari bentang
tanggal 20-30 November 2013, yang dimuat salah satu media nasional tentang
kepercayaan masyarakat terhadap DPR. Hasilnya, DPR tidak mampu
menjalankan fungsinya dengan baik, serta tidak mampu mengawasi pemerintah
sebagaimana harusnya.
Rinciannya, 53,6 persennya
menyatakan bahwa anggota DPR periode tahun 2009-2014 tidak memperjuangkan anggaran
kepentingan rakyat. Kemudian 51,9 persen menilai bahwa anggota DPR tidak mampu
mengawasi pemerintah dengan baik. 47,9 persen menilai anggota DPR tidak
membuat Undang-Undang (UU) yang bisa memberikan manfaat kepada rakyat.
Dan yang lebih mencengangkan lagi, 60,1 persen menilai bahwa anggora DPR sama
sekali tidak memperjuangkan aspirasi rakyat, dan 50,1 persen menilai bahwa
anggota DPRD juga sama sekali tidak memperjuangkan aspirasi rakyat yang sudah
mendukungnya. Dan tragisnya, 59,7 persen menilai bahwa anggota DPD sama
sekali tidak menunjukkan taji perjuangannya untuk rakyat. Dengan kata lain,
tanda keberadaan mereka disana, sama sekali tidak terasa.
Jabatan itu Kerja
Setiap kali melihat tingkah
para anggota dewan, maka ingatan akan kembali pada ucapan Gusdur yang pernah
menyatakan bahwa mereka itu mirip dengan bocah-bocah yang berada di taman
kanak-kanak. Heboh, dan tidak dewasa sama sekali. Sibuk bermain. Lupa dengan
perjuangan yang seharusnya didendangkan.
Jabatan itu kerja. Ketika
seseorang diangkat menjadi anggota dewan, yang digaji dari uang rakyat, maka
saat itu juga ia bertugas dan mengerahkan seluruh potensi dirinya untuk
berkhidmah memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Mereka itu bisa duduk di
kursi “empuk” itu karena kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.
Mereka adalah wakil rakyat,
bukan wakil partai. Kalau pun mereka diusung oleh partai politik tertentu,
itu hanyalah kenderaan saja. Setelah mereka terpilih, seharusnya mereka
berjuang demi kepentingan rakyat yang sudah mengusung dan memberikan
suaranya kepada mereka.
Slogan “atas nama rakyat” jangan hanya dijadikan tameng belaka. Demi
mendapatkan keuntungan politik. Demi memuluskan jabatan tertentu. Dan demi
lobi-lobi politik. Tidak usah jauh, sebelum diusung menjadi anggota DPR/DPRD,
tepatnya ketika masa kampanye, sudah berapa banyak janji-janji yang diumbar
kepada rakyat. “Jikalau saya terpilih,
rakyat akan sejahtera.” “Jikalau saya terpilih, maka kesehatan akan
terjamin.” “Jikalau saya terpilih, maka kemiskinan akan diberantas sampai ke
akar-akarnya.” “Itu semua demi rakyat.”
Cukup sudah, rakyat itu sudah
capek. Mereka hanya membutuhkan bukti, bukan janji. Sekarang adalah masanya
untuk membuktikan janji-janji yang selama ini dinanti-nanti. Jikalau berhasil
diwujudkan, maka itulah kesuksesan yang sebenarnya. Di pemilihan selanjutnya,
walaupun tidak pakai kampanye, angota DPR seperti ini akan kembali terpilih
dan mendapatkan kepercayaan rakyat.
Amanah itu sungguh berat.
Sebagai orang yang dipercaya oleh rakyat untuk menyampaikan aspirasi
mereka, janganlah mempermainkannya demi kepentingan pribadi dan golongan.
Ibarat kata syair arab, “Setiap orang
mengaku mencintai Laila, tetapi ia tidak merasakannya.” Artinya, setiap
orang mengaku demi rakyat, namun rakyat tidak merasakan hasilnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar