Mengurai
Gerakan Kelas Menengah
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti
di Pusat Penelitian Politik, LIPI
|
SINAR
HARAPAN, 04 November 2014
Munculnya tagar #shamedonyouSBY yang muncul dalam trending topic media sosial Twitter
sendiri sangatlah menarik unutk diulas dalam menakar kritisisme kelas
menengah urban di Indonesia. Kritisisme tersebut dibangun atas kekecewaan
publik atas pengesahan DPR terhadap RUU Pemilukada yang poin utamanya adalah
mengembalikan marwah suksesi kepemimpinan kepala daerah melalui sistem
perwakilan DPRD. Tentunya hal tersebut sangatlah bertentangan dengan spirit
demokrasi langsung sebagaimana termaktub dalam nomenklatur UU No.32 Tahun
2004 khususnya pasal 24 maupun pasal 35 yang menegaskan bahwapasangan kepala
daerah sendiri dipilih secara berpasangan secara langsung oleh masyarakat
melalui mekanisme luber dan jurdil.
Adanya pengkhianatan secara
konstitutif itulah yang menimbulkan kekecewaan kelas menengah Indonesia yang
hendak untuk mengembalikan demokrasi sesuai dengan track yang benar. Terkait
dengan gerakan politik yang marak terhadap Pilkada tersebut, kita bisa menganalisis bahwa
relasi antara pola pendalaman demokrasi (deepening
democracy) dengan pembentukan new
social movement sendiri sudah menemukan sinergisitasnya dalam memperkuat
sistem demokrasi. Adanya gerakan politik yang berbasiskan netizenship yang
kemudian menjalar pada aksi politik jalanan tersebut mengindikasikan bahwa
kritikan publik itu sudah semakin menguat.
Hal tersebut diperkuat dengan adanya hasil survey KOMPAS yang mengindikasikan
bahwa partisipasi publik sendiri mencapai 91 persen untuk mendukung
pemilukada langsung. Maka yang menjadi
kunci penting kemudian adalah seberapa efektif dan sefiesenkah gerakan kelas menengah
tersebut dalam merubah substansi UU Pilkada tersebut.
Karakter Politik Kelas Menengah di Indonesia
Gerakan Politik Kelas Menengah
di Indonesia terpolarisasi dalam dua kutub utama yakni by urgent dan juga by needs
(Tanter & Young, 1990). Hal ini
dikarenakan gerakan politik masyarakat lebih dikarenakan kebutuhan mendesak
yang sifatnya artifisial dan segera untuk dieksekusi segera. Pengalaman
demonstrasi 1998 menunjukkan bahwa demokrasi yang diinginkan oleh pelbagai
elemen masyarakat tersebut menunjukkan gejala kebutuhan mendesak yang ingin
segera dilaksanakan. Wacana demokratisasi yang berkembang dalam kelas
menengah itulah yang kemudian menghasilkan adanya reformasi sebagai langkah
progresif. Bahwa demokrasi adalah kebutuhan mendesak untuk segera
dilaksanakan dan didesakann sebagai bagian dari sistem kenegaraan.
Munculnya polemik pilkada yang
kemudian menghasilkan kritikan publik baik melalui media sosial maupun
demonstrasi sebenarnya merupakan bentuk penegasan repetisi bahwa demokrasi
adalah sesuatu esensial untuk diubah. Kelas menengah di Indonesia memahami
gerakan politik yang mereka lakukan saat ini adalah manifestasi pengadilan
publik yang dilakukan untuk menekan rezim agar tidak kembali pada pola
otoritarianisme kembali. Pelajaran demokrasi setelah 16 tahun reformasi
menghadapi tantangan adanya reorganisasi politik predator yang hendak
membajak demokrasi.
Hadirnya KMP yang berbuah pada
pengesahan UU Pemilukada ini merupakan bentuk resistensi elite kepada kelas
menengah pengawal demokrasi selama ini. Aura aktivisme ini yang terdeskripsikan oleh publik yang menginginkan bahwa
demokrasi adalah harga mati yang sudah selesai untuk diperbincangkan.
Dikarenakan permasalahan mengenai demokrasi sendiri sudah membuat publik
capek dengan berbagai konstelasi politik elite. Maka adanya gerakan politik
yang diinisasi oleh melalui berbagai
elemen masyarakat adalah upaya resistensi agar pembangunan politik yang sudah
sedemikian progresif semenjak adanya pemilu langsung agar tidak regresif
mundur kembali. Inilah tantangan mendasar dalam merumuskan aksi dan gerakan
kelas menengah untuk tetap mempertahankan demokrasi sebagai bagian dari
sistem politik di Indonesia.
Prognosis mengenai reorganisasi
elite ini memang sudah diramalkan bakal terjadi mengingat desain demokrasi
yang menganut uniformisasi formal sehingga memungkinkan adanya celah bagi
predator untuk bangkit. Munculnya KMP
sendiri adalah hadirnya musuh demokrasi publik yang laten namun kemudian
hadir secara manifest. Inilah yang
kemudian banyak disitir oleh Juan Linz yakni dengan menyebutnya sebagai rezim
kelas penjahat yang isinya kemudian melahirkan pemerintahan partitokrasi
ketimbang demokrasi itu sendiri. Publik tidak lagi dilihat sebagai demos namun lebih sebagai subordinat
suara dari partitokrasi tersebut.
Partitokrasi sendiri telah melakukan dikotomisasi antara elite sebagai
governing society dengan publik
sebagai non governing society yang
menghasilkan adanya intrik dan friksi dalam relasi rezim.
Hal penting yang untuk
dikuatkan dalam menguatkan politik kelas menengah di Indonesia adalah
memperkuat konteks citizen law suit. Mekanisme seperti ini
yang belum ada dalam sistem konstitusi kita untuk melakukan tuntutan
peradilan atas ketidakadilan yang dilakukan penyelenggara negara. Konteks citizen law suit yang
dilakukan oleh gerakan kelas menengah maupun aktivisme masyarakat sipil sudah jamak dilakukan seperti halnya
protes terhadap BBM, BOS, maupun juga penelantaran TKI.
Adapun dalam konteks sekarang
ini, CLS sendiri dapat dilakukan dengan cara melakukan judicial review kepada MK sebagai
pengadil konstitusi terttinggi. Maka aksi turun ke jalan dan rapatkan barisan merupakan bagian
dari keniscyaan yang perlu dilakukan oleh kelas menengah di Indonesia untuk
mengawal demokrasi ini. Turun ke jalan sendiri bukanlah berarti melakukan
aksi destruktif, namun menampilkan diri sebagai kelompok penekan aktif dalam
melihat DPR sebagai manifestasi oligarkis yang perlu direformasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar