Melepaskan
Belenggu Subsidi BBM
Satya Widya Yudha ; Wakil
Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar
|
KORAN
SINDO, 06 November 2014
Harapan menjulang tinggi untuk disematkan kepada Kabinet Kerja
yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo. Terlepas masih munculnya riak-riak
sinisme maupun pro-kontra terhadap sejumlah figur yang duduk didaulat sebagai
menteri, tak ada salahnya jika kita tetap menancapkan optimisme.
DPR RI periode baru dengan komposisi politik yang ada saat ini
juga menunggu langkah konkret Kabinet Kerja Presiden Jokowi. Tidak ada alasan
bahwa para wakil rakyat di legislatif akan menghambat programprogram
kebijakan yang sudah disusun dan direncanakan untuk segera dijalankan dari
pemerintah.
Terlebih bahwa alat kelengkapan dewan (AKD) yang terdiri dari
komisi-komisi juga sudah terbentuk beberapa hari yang lalu. Dalam waktu
dekat, rapat-rapat kerja membahas rencana program kebijakan antara Senayan
dan Istana pun bisa diselenggarakan. Bersamasama menjunjung tinggi semangat
bekerja untuk rakyat.
Mencermati sektor ESDM yang menjadi mitra Komisi VII DPR RI
periode ini, kehadiran menteri baru Sudirman Said setidaknya sudah
menciptakan ekspektasi yang cukup besar bagi para stakeholder atau pemangku
kepentingan. Termasuk bagi kalangan industri sektor minyak dan gas (migas)
maupun sektor mineral dan batu bara (minerba).
Figur baru menteri ESDM semoga bisa memotong polemik atau bahkan
menggergaji kontroversi yang selama ini menjadi ganjalan dalam implementasi
program-program strategis ESDM. Mengapa tidak? Sosok baru dengan visi
membangun Kementerian ESDM menjadi kementerian utama yang kuat, bersih, dan
taktis sinergis patutlah kita apresiasi bersama.
Belenggu Subsidi BBM, Sampai Kapan?
Sebut saja kebijakan penghematan subsidi terhadap bahan bakar
minyak (BBM). Persoalan subsidi BBM dalam periode 2009-2014 yang lalu juga
tak kalah hebat mengalami dinamika yang cukup menguras energi dan perdebatan
panjang antara pemerintah dan parlemen.
Subsidi BBM tak lagi menjadi isu sektoral ESDM semata, tetapi
telah menjadi isu nasional yang implementasinya bisa merembet ke
segmen-segmen lainnya. Begitu berpengaruhnya isu BBM bersubsidi ini, dalam
dinamikanya sering memunculkan benturan dan gesekan- gesekan antara eksekutif
dan legislatif.
Catatan dari Komisi VII pada periode lalu, pemerintah seolah tak
konsekuen menindaklanjuti poin-poin yang direkomendasikan DPR RI. Di tengah
impitan angka subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM dan subsidi
listrik yang terus menekan fiskal dalam APBN tiga tahun terakhir, pemerintah
tidak konkret melakukan langkahlangkah strategis penghematan subsidi.
Padahal, ruang untuk mengeksekusi penghematan subsidi BBM
tercantum melalui Undang-Undang APBN sejak tahun 2012. Namun, celah itu tak
dimanfaatkan pemerintah. Dan sekarang, wewenang menyesuaikan harga BBM
bersubsidi ada di tangan pemerintah, tanpa melalui ketuk palu persetujuan di
DPR (Pasal 14 ayat 13 UU APBN-P 2014 No.12/2014).
Kesempatan itu menjadi momentum pemerintah untuk tidak
mengulur-ulur waktu mengonkretkan implementasi penghematan anggaran dengan
menaikkan harga BBM secara rasional. Dampak menonjol dari implementasi
penghematan subsidi BBM yang tak tegas adalah membengkaknya belanja subsidi
energi pada tahun anggaran 2015 yang menembus angka Rp344,7 triliun! Khusus
subsidi BBM dalam APBN 2015 mencapai Rp276 triliun.
Ironisnya, selama ini subsidi BBM dalamrealisasinya tidak tepat
sasaran. Dan dibakar di jalan begitu saja. Tak adamanfaatkonkret untuk
rakyat. Penikmat BBM bersubsidi 70 persennya adalah masyarakat kategori mampu
secara ekonomi. Persoalan muncul ketika subsidi terhadap harga tersebut
memicu disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi yang cukup
menganga.
Aksi penyelundupan BBM bersubsi dikeindustri marak. Begitu pula
penimbunan BBM bersubsidi sebagai aksi memburu rente. Dan, kelangkaan BBM
bersubsidi jenis bensin maupun solar terjadi di mana-mana. Chaos terjadi di
masyarakat. Maka terjadilah kepanikan karena pemerintahan sebelumnya seolah
tak mau mengambil risiko didemo rakyat terus-terusan. Pemerintahan baru harus
mencermati bahwa realisasi subsidi BBM sudah melenceng.
Hal ini menjadi catatan khusus dalam rencana penghematan subsidi
BBM yang prorakyat ke depan. Subsidi BBM yang selama ini membelenggu ruang
fiskal APBN harus dikoreksi sehingga program-program pemerintah berbasis
kerakyatan mendapatkan porsi yang besar.
Paradigma dalam tata kelola anggaran terhadap subsidi BBM sudah
waktunya berani diubah. Jika selama ini basis subsidi BBM adalah terhadap
harga komoditas, pemerintah perlu menyubstitusikan menjadi subsidi secara
langsung. Subsidi langsung (targeted
subsidies) lebih riil untuk menjangkau warga miskin secara adil.
Artinya, ketika rakyat miskin tak mendapatkan subsidi harga BBM
karena salah sasaran, sebagai kompensasinya mereka berhak mendapatkan layanan
kesehatan gratis, pendidikan gratis maupun akses transportasi publik yang
murah dan nyaman. Yang penting, subsidi untuk rakyat kecil itu harus tetap ada,
karena menghapus subsidi sama dengan melawan konstitusi. Rakyat pun harus
diberi pemahaman bahwa subsidi tidak dicabut, hanya dialihkan. Itu sangat
prinsip.
Berantas Mafia Migas
Parlemen dengan segala fragmentasi politiknya, mendorong
pemerintah agar berani mengambil langkah solutif. Melepaskan ikatan dari
jeratan subsidi BBM yang kontraproduktif bagi pembangunan nasional tersebut.
Tak hanya mengurangi beban subsidi BBM semata, tapi penting juga menggeser
pola pikir konsumsi masyarakat terhadap bahan bakar fosil (BBM) ke sumber
energi baru dan terbarukan.
Ini akan menjadi PR bagi Menteri ESDM baru yang senantiasa
dibelenggu soal subsidi BBM. Menteri ESDM yang baru perlu juga melakukan breakthrough untuk menggalakkan
kembali program konversi BBM ke BBG (bahan bakar gas) yang sempat mandek di
era pemerintahan SBY.
Pasalnya, dengan potensi gas nasional yang cukup melimpah untuk
memenuhi kebutuhan domestik, maka kebergantungan terhadap BBM bisa ditekan
drastis. Karena itu perlu terobosan, jika perlu membongkar sekat-sekat
regulasi dan birokrasi yang selama ini menghambat. Yang penting, kebijakan
tersebut di bawah payung hukum yang kuat.
Komoditas gas ke depan akan menjadi primadona jika konsumsi
bahan bakar bisa digeser ke BBG secara masif. Menaikkan harga BBM bersubsidi
bisa menjadi trigger atau pemicu
mengangkat harga keekonomian bagi sumber energi lainnya, seperti gas bumi
atau panas bumi (geothermal),
sehingga pemanfaatan akan sumber energi baru nonminyak menjadi maksimal.
Sekarang bukan lagi soal berani atau tidak, mau atau tidak, suka atau tidak,
menaikkan harga BBM untuk menghemat anggaran.
Tapi menjadi pilihan konkret jika tidak ingin terus-terusan
digerus subsidi yang tidak produktif. Edukasi kepada masyarakat menjadi
penting ketika terjadi kenaikan harga BBM tanpa berimplikasi terhadap gejolak
sosial. Inilah yang ditunggu kalangan industri dan investor tentunya. Begitu
juga dengan keinginan kuat mengurangi impor BBM, di mana produksi minyak
dalam negeri tak lagi menjadi “tuan rumah” di negerinya sendiri.
Sampai saat ini, kita menjadi negara net importir, yaitu
mencapai 700 ribu barel per hari (bph) hanya untuk menutup kebutuhan dalam
negeri yang menembus 1,5 juta bph. Program jangka panjang yang perlu
direalisasikan adalah pembangunan kilang minyak, di mana kilang dan tangki
penampungan yang ada saat ini selain sudah uzur, tapi juga sudah tak mampu
memproduksi BBM jadi karena kapasitas yang terbatas.
Jika kilang minyak ini konkret dibangun, mata rantai mafia
minyak yang selama ini menghantui kita bisa diberantas. Hanya, butuh komitmen
dan konsisten pemerintahan baru untuk mewujudkan kemandirian energi nasional
tersebut. DPR tentu akan mengamini jika pemerintah benar-benar berpikir
progresif. Nah, menarik ditunggu terobosan-terobosan apa saja dari pada
menteri Kabinet Kerja Presiden Jokowi, terutama di sektor ESDM.
Banyak persoalan yang perlu diurai satu-satu oleh menteri baru.
Mulai dari tata kelola sektor hulu dan hilir migas, sektor minerba, sektor
energi baru sebagai energi masa depan kita serta menyangkut politik anggaran
pengelolaan anggaran subsidi energi.
Tentu saja, sebagai mitra menteri ESDM, Komisi VII DPR RI akan
membuka diri untuk selalu berdiskusi, membangun simbiosis produktif serta
saling mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah demi mewujudkan sektor energi
yang berdaulat di negeri sendiri. Sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi
Pasal 33 ayat 3, “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat“. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar