BBM,
Kedaulatan Energi, dan SKK Migas
Fahmy Radhi ; Pengamat
Ekonomi Energi, Universitas Gadjah Mada (UGM)
|
KORAN
SINDO, 06 November 2014
Belakangan ini isu energi kian mengemuka, yaitu masalah subsidi
bahan bakar minyak (BBM). Masalah ini harus dapat perhatian serius, karena
salah satu misi Jokowi-JK adalah pencapaian Kedaulatan Energi sesuai dengan
amanah konstitusi UUD 1945.
Kedaulatan energi merupakan hak negara dan bangsa dalam
menentukan kebijakan pengelolaan energi secara mandiri tanpa campur tangan
dari pihak asing. Pencapaian Kedaulatan Energi di negeri ini bukanlah perkara
mudah. Pasalnya, Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
(Migas) masih bernuansa liberal.
Selain UU yang liberal tersebut, lembaga yang berwenang
mengelola migas, yakni Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (BP Migas), yang kemudian digantikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), tampaknya tidak
mempunyai komitmen kuat untuk mencapai kedaulatan energi. Tidak mengherankan,
sejak pendirian BP Migas pada 2002 hingga kini, dominasi penguasaan ladang
Migas Indonesia sudah jatuh ke tangan kontraktor asing.
Data Direktorat Jenderal Migas ESDM menyebutkan, sejak 2002,
pengelolaan sumber Migas Indonesia lebih didominasi oleh kontraktor asing
yang menguasai sekitar 74%, hanya 22% dikuasai oleh perusahaan swasta
nasional dan BUMN, sementara yang dikelola oleh konsorsium sebesar 4%. Kalau
pemerintahan Jokowi-JK memang serius menerapkan misinya untuk mencapai
Kedaulatan Energi, salah satu yang harus diprioritaskan adalah membubarkan
SKK Migas, dengan melakukan reorganisasi lembaga tersebut.
Pertimbangannya, selain tidak punya komitmen terhadap pencapaian
Kedaulatan Energi, keberadaan SKK Migas sesungguhnya ilegal karena sudah
dibubarkan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Putusan MK terhadap
uji materi UU No 22/2001 telah menetapkan bahwa keberadaan BP Migas bertentangan
dengan UUD 1945.
Oleh karena itu harus dibubarkan terhitung sejak 13 November
2012. Memang pemerintahan SBY sudah membubarkan BP Migas, namun kemudian
mengubahnya menjadi SKK Migas, yang ditempatkan di bawah struktur Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kewenangan Besar SKK Migas
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 9 Tahun 2013, SKK
Migas ditunjuk untuk melaksanakan pengelolaan kontrak kerja sama (KKS)
seluruh kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Seperti BP Migas, kewenangan
SKK Migas sangat besar, di antaranya: memberikan pertimbangan kepada menteri
ESDM untuk persetujuan KKS, menandatangani kontrak, menjual migas bagian dari
pemerintah, mengeluarkan peraturan, dan melaksanakan pengawasan terhadap KKS.
Kewenangan SKK Migas yang sangat besar berpotensi memicu moral
hazard terjadinya penyimpangan tindak pidana korupsi dan suap, yang merugikan
negara. Penangkapan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini oleh KPK disebabkan
penyalahgunaan kewenangannya dalam menjual minyak jatah pemerintah. Rudi
Rubiandini ditangkap tangan atas penerimaan suap dari PT Kernel Oil,
perusahaan oil trading yang
bermarkas di Singapura.
Pemberian suap tersebut tentunya dimaksudkan sebagai pelicin
untuk memenangkan PT Kernel Oil dalam tender kontrak penjualan minyak
Indonesia. Aroma suap tersebut sesungguhnya tidak hanya terjadi pada proses
pemenangan tender lelang oil trading,
tetapi juga berpotensi terjadi pada setiap penetapan kontrak pengelolaan
ladang migas, baik kontrak yang baru, maupun perpanjangan kontrak ladang
migas.
Adanya indikasi suap tersebut barangkali menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan pengelolaan ladang migas di Indonesia lebih dikuasai
oleh kontraktor asing ketimbang kontraktor nasional. Sedangkan potensi
penyimpangan lainnya terjadi dalam penetapan recovery cost, biaya yang
dibebankan dalam APBN untuk membayar biaya eksplorasi kepada investor.
Indikasinya, alokasi recovery
cost dalam APBN cenderung meningkat, sedangkan lifting minyak justru
cenderung menurun. Dalam APBNP 2012, recovery
cost dianggarkan sebesar USD15,16, meningkat dibanding APBN 2012 yang
dianggarkan sebesar USD12,33. Anehnya, peningkatan recovery cost itu tidak secara signifikan menaikkan lifting
minyak, justru sebaliknya malah terjadi penurunan.
Lifting minyak Indonesia hingga akhir 2013 hanya mencapai 891
barel per hari, padahal produksi minyak tahun sebelumnya bisa mencapai 950
barel per hari. Selain itu, SKK Migas juga berwenang sebagai regulator dan
pengawas, sekaligus sebagai pemain bisnis migas. Dengan kewenangan tersebut,
hubungan antara SKK Migas dan kontraktor sebagai G-to-B (government-to-business).
Hubungan G-to-B berpotensi menimbulkan permasalahanseriusbagi
negara manakala terjadi persengketaan bisnis yang diadukan ke Arbitrase Internasional.
Kontraktor sebagai pemohon bisa menuntut kepada Arbitrase Internasional untuk
menyita seluruh aset negara selama proses persidangan persengketaan
berlangsung, sehingga negara bisa bangkrut jika seluruh asetnya harus disita.
Reorganisasi SKK Migas
Untuk meminimkan berbagai persoalan yang timbul akibat
kewenangan yang terlalu besar, pemerintahan Jokowi-JK harus segera
membubarkan SKK Migas dan melakukan reorganisasi lembaga tersebut. Prinsip
utama dalam reorganisasi adalah pemisahan kewenangan yang selama ini
digenggam SKK Migas.
Kewenangan sebagai regulator dan pengawasan sebaiknya diserahkan
kepada Kementerian ESDM, sedangkan kewenangan sebagai pelaku bisnis diberikan
kepada BUMN yang baru dibentuk untuk menjalankan usaha hulu minyak dan gas
bumi. BUMN itu diberikan kewenangan untuk mengambil alih seluruh pengelolaan
KKS, baik kontrak lama maupun kontrak baru.
Seluruh aset dan sekitar 1.200 karyawan yang selama ini dikelola
oleh SKK Migas dialihkan ke BUMN tersebut. Tujuan pembentukan BUMN adalah
untuk melakukan pengelolaan usaha hulu migas secara optimal sehingga dapat
memaksimalkan penerimaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai
dengan amanah konstitusi UUD 1945.
Untuk mencapai tujuan tersebut, BUMN itu dituntut untuk
meningkatkan lifting sesuai target ditetapkan oleh pemerintah, yang menjadi
salah satu indikator kinerja BUMN baru tersebut. Selain itu, BUMN itu harus
lebih berpihak kepada kontraktor dalam negeri, baik BUMN maupun perusahaan
swasta nasional, ketimbang kontraktor asing, sehingga mempercepat pencapaian
Kedaulatan Energi.
Mengingat peran penting dalam pengelolaan migas dalam pencapaian
Kedaulatan Energi dan peningkatan penerimaan negara, pemerintahan Jokowi-JK
harus segera membubarkan SKK Migas, sekaligus melakukan reorganisasi dalam
waktu dekat ini.
Kalau perlu, upaya pembubaran dan reorganisasi tersebut
dilakukannya dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu)
sebagai dasar hukumnya, sembari menunggu diundangkannya UU Migas yang baru.
Tanpa pembubaran dan reorganisasi SKK Migas, jangan harap misi Jokowi-JK
dalam pencapaian kedaulatan energi untuk negeri dapat dicapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar