Komitmen
Pembangunan Manusia
Kadir ; Bekerja
di Badan Pusat Statistik
|
KORAN
TEMPO, 29 Oktober 2014
Meski sekadar perubahan nomenklatur, penggantian nama
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat menjadi Kementerian
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK)
menunjukkan bahwa pemerintah Jokowi-JK punya komitmen yang kuat untuk
menyelesaikan salah satu persoalan krusial di negeri ini: kualitas pembangunan
manusia yang rendah. Komitmen ini menjadi penting. Pasalnya, hanya dengan
bermodalkan manusia Indonesia yang berkualitas, visi Indonesia Hebat dapat
diwujudkan.
Secara faktual, berdasarkan laporan United Nations Development
Programme (UNDP), kualitas pembangunan manusia Indonesia yang diukur melalui
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada di urutan ke-108 dari 287 negara
dengan skor IPM 0,684 pada 2013. Di kawasan ASEAN, skor IPM Indonesia masih
berada di belakang Singapura (0,901), Brunei Darussalam (0,852), Malaysia
(0,773), dan Thailand (0,722) (Laporan Pembangunan Manusia 2014).
Laporan UNDP juga memperlihatkan, akselerasi pembangunan manusia
Indonesia sedikit lambat. Hal ini tecermin dari perubahan peringkat IPM
Indonesia sepanjang periode 2008-2013 yang hanya naik 4 peringkat. Bandingkan
dengan Singapura yang peringkat IPM-nya naik sebesar 14 peringkat sepanjang
periode yang sama.
Penggantian nama tersebut juga memperlihatkan adanya kesadaran
pemerintah Jokowi-JK bahwa aspek paling esensial dari pembangunan adalah
peningkatan kualitas penduduk--yang notabene--merupakan subyek dari
pembangunan itu sendiri.
Selama ini pelaksanaan pembangunan manusia terkesan masih
berorientasi pada peningkatan kualitas penduduk sebagai obyek pembangunan.
Akibatnya, pelaksanaan pembangunan manusia secara umum baru menyentuh satu
dimensi, yakni peningkatan daya beli, dan belum menyentuh dimensi peningkatan
kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) (Razali
Ritonga, 2014).
Diketahui, IPM mengukur kualitas pembangunan manusia melalui
tiga dimensi: kesehatan yang diukur berdasarkan umur harapan hidup,
pendidikan yang diukur atas dasar rata-rata lama bersekolah dan lama
rata-rata yang diharapkan bersekolah, serta daya beli yang didasari
pendapatan nasional bruto per kapita.
Karena itu, mudah dipahami bahwa titik lemah pembangunan manusia
Indonesia yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah Jokowi-JK adalah
peningkatan kapabilitas penduduk. Dengan demikian, akses penduduk-terutama
kelompok miskin-terhadap pendidikan dan kesehatan harus digenjot.
Faktanya, kapabilitas penduduk Indonesia masih rendah.
Berdasarkan laporan UNDP, rata-rata lama sekolah hanya 7,5 tahun. Pencapaian
ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN. Rata-rata lama sekolah di Singapura
10,2 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, dan Brunei Darussalam 8,7
tahun.
Rendahnya kapabilitas penduduk juga tecermin dari pencapaian
derajat kesehatan yang tertinggal dari sejumlah negara ASEAN. Hal ini
termanivestasi dari angka harapan hidup yang hanya 70,8 tahun. Bandingkan
dengan Singapura yang 82,3 tahun, Brunei Darussalam 78,5 tahun, Vietnam 75,9
tahun, Malaysia 75 tahun, dan Thailand 74,4 tahun.
Karena itu, komitmen kuat pemerintah Jokowi-JK harus diwujudkan
dalam bentuk akselerasi peningkatan kualitas pembangunan manusia Indonesia,
khususnya dimensi pendidikan dan kesehatan, selama lima tahun mendatang. Dan
terkait dengan hal tersebut, kinerja Kemenko PMK dalam mengkoordinasi
perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan berbagai kebijakan di bidang pembangunan
manusia amat menentukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar