Kepemimpinan
Kaum Muda
Andriadi Achmad ; Mahasiswa Pascasarjana
Ilmu Politik FISIP UI
|
SINAR
HARAPAN, 30 Oktober 2014
“Beri aku sepuluh pemuda
dan dengan kesepuluh pemuda itu aku akan mengguncang dunia. Dengan seratus
pemuda, aku akan memindahkan Gunung Semeru.”
Ungkapan heroik di atas pernah dilontarkan Soekarno dalam suatu
kesempatan berpidato di hadapan pemuda Indonesia. Soekarno menggambarkan
dengan bahasa kiasan, betapa peran dan kehadiran pemuda sangat penting dalam
sejarah panjang bangsa Indonesia. Dalam kesempatan lain Soekarno mengakui,
tanpa peran pemuda revolusi kemerdekaan Indonesia belum tentu tercapai.
Membolak-balik lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kita
akan senantiasa menemui kisah-kisah perjuangan hebat yang dimotori kaum muda.
Bermula dari gerakan Kebangkitan Nasional Budi Utomo (1908), Sumpah Pemuda
(1928), Revolusi Kemedekaan Indonesia (1945), menumbangkan rezim Orde Lama
(1966), peristiwa Malari (1974), sampai penurunan paksa rezim Orde Baru
(1998).
Lebih jauh, kisah perjuangan pemuda Indonesia terekam dalam
sebuah catatan harian Yozar Anwar (mantan Ketua Presidium Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia/KAMI Pusat, 1966).
Di sana ternukilkan kehadiran pemuda Indonesia merupakan suatu
bagian tidak terpisahkan dari sejarah pergerakan bangsa; menderita dan
berharap; pemuda Indonesia adalah hati nurani bangsa yang berbicara, jiwa
bangsa yang menyala, yang akan mewarnai bangsa; partisipasi pemuda memberi wajah
baru kepada perjuangan rakyat; semangat pemuda membawa radikalisme dalam
gerakan politik, serta patriotisme mewarnai semua bidang kegiatan. Karena
itu, pandangan pemuda selalu menggetarkan masyarakat dan membangkitkan
semangat juang.
Selain itu, keterkaitan kaum muda dan bangsa sebagaimana dalam
buku Revolusi Politik Kaum Muda (2008), Umar Syadat Hasibuan menjelaskan,
dalam setiap fase perubahan dan perkembangan negara bangsa di pelbagai
belahan dunia, kehadiran kaum muda memiliki posisi dan kekuatan strategis,
baik ditinjau dari perspektif sosiologi, biologis, politik, demografis, dan
historis.
Sebagaimana presiden muda, Evo Morales (Presiden Bolivia dari
2006—saat itu 47 tahun) dan Hugo Chavez (Presiden Venezuela dari 1999—saat
itu 45 tahun) mengangkat isu nasionalisasi perusahaan asing—khususnya
pertambangan—dan anti-imprealisame-kapitalisme. Bagaimana langkah fenomenal
yang mengantarkan Barack Hussein Obama—usia 47 tahun dan Apro-Amerika
pertama—sebagai Presiden ke-44 AS, dengan mengusung jargon perubahan dunia
dan AS, dan lain sebagainya.
Regenerasi Kepemimpinan
Lebih dari tiga dasawarsa, 32 tahun, kepemimpinan Soeharto tidak
memberikan ruang gerak regenerasi kepemimpinan. Bahkan, wacana suksesi
kepemimpinan masa Orde Baru adalah suatu hal sangat tabu. Trauma psikologis
kaum muda pada masa Orde Baru adalah catatan kelam. Ini akhirnya menancapkan
sebuah paradigma “kaum muda belum
pengalaman dan punya kemampuan untuk memimpin Indonesia”.
Slogan tersebut ampuh mengimpotenkan bangsa kita untuk melahirkan
para tokoh muda di pentas kepemimpinan nasional. Tergores dalam catatan
sejarah panjang bangsa kita, dalam 53 tahun kemerdekaan (1945-1998), RI hanya
melahirkan dua pemimpin bangsa, yaitu Soekarno (1945-1966) dan Soeharto
(1966-1998). Pertanyaannya adalah, apakah periode panjang masa kepemimpian
Soekarno dan Soeharto merupakan kehendak rakyat dan tak tergantikan?
Secara sederhana, dapat dibahasakan experience is the best
teacher (pengalaman adalah guru paling berharga), kaum tua tentu memiliki
segudang pengalaman ketimbang kaum muda. Namun, sebuah sikap kesatria dan
kepahlawanan bagi kaum tua adalah dengan memberikan ruang dan kesempatan
serta kepercayaan kepada kaum muda untuk memimpin bangsa ini.
Inti sebuah kepercayaan adalah “semangat kaum muda harus
diiringi kebijaksanaan kaum tua”, dalam artian “saatnya yang muda bicara”.
Amendemen UU 1945 pada 1999, dengan keluarnya perubahan yang mengatur batas
jabatan presiden hanya dua periode, setidaknya telah memberikan angin segar
dan peluang bagi kaum muda untuk memimpin bangsa ini.
Sebuah harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi akan
kesiapan kaum muda baik segi kapasitas, kualitas, maupun kapabilitas dalam
rangka membangun eksistensi dan image di kancah kepemimpinan Indonesia dewasa
ini. Selain sudah teruji, menurut pendapat penulis, tokoh-tokoh kaum muda
harus mempunyai visi-misi kebangsaan unggulan, kreatif, visioner, dan
inovatif. Ke depan, regenerasi kepemimpinan harus berjalan sempurna demi
perbaikan dan pembangunan bangsa secara berkesinambungan.
Hemat penulis, untuk memunculkan kaum muda sebagai pemimpin
bangsa Indonesia masa depan, ada beberapa hal yang sangat mendesak perlu
diperhatikan. Pertama, menumbuhkan self confidence (kepercayaan diri) bagi
kaum muda. Kesiapan dan kemampuan kaum muda merupakan modal utama untuk
menumbuhkan kepercayaan diri dalam memimpin bangsa besar Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui, pelbagai laboratorium sebagai
fasilitator dan katalisator bagi kuam muda untuk mempersiapkan diri menjadi
pemimpin bangsa. Ini seperti organisasi sosial kemasyarakatan (Muhammadiyah,
NU, Persis, PUI, dan lain-lain); organisasi sosial kepemudaan (KNPI, KAMMI,
HMI, IMM, GMNI, PMKRI, PMII, BEM, organisasi pemuda kedaerahan, dan
seterusnya); partai politik (Golkar, PDIP, PPP, PKB, PD, PKS, PAN, PBB, PKPI,
PBB, Nasdem, Hanura, Gerindra, dan lain-lain); institusi pendidikan/kampus
(kaum intelektual atau akademikus); militer (Akabri, Akpol, dan lain-lain).
Berbicara lebih jauh, secara ideal para pemimpin bangsa
Indonesia ke depan adalah kaum muda—berumur di bawah 50 tahun—yang masih
mempunyai energi lebih dan semangat dalam menjalankan pelbagai aktivitas dan
tugas berat. Belajar dari perjalanan sejarah Indonesia pada awal berdirinya
republik ini, bangsa kita dipimpin kaum muda Soekarno (44 tahun) dan Soeharto
(45 tahun).
Padahal, kedua pemimpin tersebut memimpin bangsa dalam kondisi
memprihatinkan. Soekarno memimpin bangsa yang baru saja merdeka, sudah barang
tentu memiliki segudang permasalahan. Soeharto memimpin bangsa dalam keadaan
ekonomi rusak parah (inflasi sampai 600 persen).
Namun, terlepas dari noda-noda hitam masa kepemimpinannya, tak
dapat dimungkiri mereka bisa memimpin dan mempertahankan keberlangsungan
bangsa ini.
Pasca-Soeharto, presiden rata-rata berusia di atas usia 50 tahun,
seperti BJ Habibie menggantikan Soeharto pada 1998 dalam usia 62 tahun;
Abdurrahman Wahid diangkat tahun 1999 pada usia 59 tahun; Megawati duduk di
kursi presiden tahun 2001 dalam usia 54 tahun; Susilo Bambang Yudhoyono
terpilih tahun 2004 pada usia 55 tahun; Joko widodo terpilih pada usia 53
tahun. Menilik fenomena ini, meminjam istilah Hanta Yudha, kepemimpinan
‘Angkatan Kakek Gue’.
Kedua, menjadikan momen penting kebersatuan dan semangat kaum
muda pada era 1908, 1928, 1945, 1974, 1966, 1998 dalam mengukir sejarah besar
dalam perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai tolok ukur,
cerminan dan rujukan penting dalam membangun konsolidasi, serta kekuataan
kaum muda untuk memimpin bangsa ini pada masa mendatang. Keseriusan kita
bersama dalam membangun bangsa ini, penulis yakin bangsa Indonesia bisa
menjadi bangsa terhormat di hadapan dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar