Kemaritiman
dan Jiwa Cakrawati Samudra
Ardinanda Sinulangga ; Aktivis
dan Peneliti Indonesia Media Watch (IMW)
|
SINAR
HARAPAN, 27 Oktober 2014
Setidaknya ada tiga hal penting dalam pidato kenegaraan pertama
Jokowi sebagai Presiden RI yang disampaikan di gedung MPR/DPR, Senin (20/10).
Pertama, ia menggarisbawahi pemikiran Bung Karno mengenai
Trisakti sebagai pedoman dan prinsip mendasar jalannya pemerintahan untuk
mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang
ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Terwujudnya pemikiran Bung
Karno tersebut sebagai satu tugas sejarah membutuhkan persatuan, gotong
royong, dan kerja keras semua komponen bangsa.
Kedua, ia ingin memastikan setiap rakyat merasakan kehadiran
pelayanan pemerintah di seluruh pelosok Tanah Air. Dengan kata lain,
pemerintahan ke depan ingin memastikan tidak ada lagi satu daerah pun yang
tidak merasakan pelayanan pemerintah. Ketiga, pembangunan berbasiskan maritim
dan jiwa cakrawati samudra. Inilah yang menjadi poin penting dalam pidato
tersebut.
Poin ketiga ini menjadi arah pembangunan yang menempatkan
maritim sebagai kekuatan utama dan jiwa kepemimpinan cakrawati samudra,
sebagai karakter dan gaya kepemimpinan nasional ke depan. Dalam pidatonya,
secara puitis ia mengatakan jiwa cakrawati samudra merupakan satu jiwa yang
berani mengarungi gelombang dan empasan ombak yang menggulung.
Pernyataannya tersebut secara garis besar hampir sama dengan
gagasan Bung Karno yang disampaikan di Pembukaan Munas Maritim 1963, “Kita satu per satu, seorang demi seorang
harus mengetahui bahwa Indonesia, ia tidak bisa menjadi kuat, sentosa
sejahtera, jikalau kita tidak menguasai samudra, jikalau kita tidak kembali
menjadi bangsa samudra, jikalau kita tidak kembali menjadi bangsa bahari,
bangsa pelaut sebagaimana kita kenal pada zaman bahari.”
Bagi Indonesia, pembangunan berbasiskan maritim hendaknya
bukanlah sekadar retorika, melainkan haruslah menjadi kesadaran kolektif baik
individual ataupun institusional penyelenggara negara mengingat kondisi
geografis Indonesia yang sepertiga wilayahnya adalah lautan. Meminjam ucapan
Napoleon Bonaparte, politik negara berada dalam geografinya.
Dengan kata lain, idealnya dasar politik dan pembangunan kita
seharusnya sesuai kondisi geografis yang kita miliki, yakni visi maritim
sebagai penuntun.
Lantas bagaimana kita memaknai kemaritiman dalam konteks
Indonesia? Apa saja yang menjadi domain maritim? Pemahaman ini menjadi
penting, mengingat masih adanya perbedaan pemahaman mengenai apa yang
dimaksud dengan kelautan dan maritim.
Perbedaan pemahaman ini secara akademik dapat dimaknai sebagai
satu diskurus ilmiah yang dinamis. Namun, jika tidak terselesaikan akan
berimplikasi pada tataran implementasi bagaimana kemaritiman tersebut
ditempatkan dalam tata kelola pemerintahan.
Menurut Prof Hasim Djalal (2014), kelautan adalah fisikal.
Indonesia adalah negara kelautan karena fisik Indonesia adalah laut. Maritim
adalah jiwa dan pikiran yang pandai memanfaatkan laut. Jika dilihat dari sisi
tata bahasa, kelautan adalah kata benda, maritim adalah kata sifat.
Dengan demikian, tatkala membicarakan mengenai kemaritiman,
sesungguhnya yang dikedepankan tidaklah dalam pengertian yang sempit hanya
fisiknya, tetapi bagaimana suatu negara mempunyai sifat untuk menggunakan dan
mengendalikan laut (sea control),
serta mencegah pihak lain menggunakannya (sea
denial).
Aspek penggunaannya tentunya berhubungan dengan kemampuan sumber
daya untuk memanfaatkannya, baik itu sumber daya manusia maupun teknologi,
sehingga menjadi sumber pendapatan ekonomi nasional. Juga untuk mencegah
pihak lain menggunakannya (sea denial),
sehingga yang dikedepankan adalah aspek pertahanan dan keamanan.
Mengacu Prof Indra Jaya (2012), ada tiga hal sebagai pilar utama
negara berbasiskan maritim. Pertama, laut sebagai sumber kehidupan dan
penghidupan yang dikelola secara optimal dan berkelanjutan. Kedua,
perdagangan yang dominan. Dalam konteks ini sudah sepatutnya mengoptimalkan
armada pelayaran nasional, termasuk industri pelayaran nasional dan kapasitas
kepelabuhan.
Ketiga, kekuatan laut yang mampu melindungi dan menegakkan
kedaulatan nasional. Dengan pemahaman demikian, dimensi kemaritiman meski
ditempatkan dalam satu kerangka kerja pemerintahan yang menyeluruh dan
terkoordinasi. Jadi, tidak terjadi lagi tumpang-tindih kewenangan antara satu
instansi dengan yang instansi lainnya.
Secara antropologi, jiwa cakrawati samudra dapat dimaknai
sebagai interaksi manusia dengan laut yang kemudian melahirkan budaya. Juga
karakter kebaharian seperti seorang pelaut yang tidak bisa menghindar dari
badai dan topan, tetapi menghadapi dan berusaha menaklukkannya sekuat tenaga.
Dalam konteks kepemimpinan, dapat dimaknai sebagai suatu gaya kepemimpinan
bersendikan model kepemimpinan maritim yang bercirikan terbuka, egaliter, dan
tidak lari dari masalah, tetapi menghadapi dan menyelesaikannya.
Dengan kata lain, dalam model kepemimpinan maritim yang diutamakan
adalah pengalaman, kemampuan, dan prestasi. Seseorang baru mungkin menjadi
kapitan laut setelah melalui pengalaman berjenjang mulai dari anak tangga
terbawah dari fungsi-fungsi kehidupan berperahu secara berhasil. Hal ini
sangat mungkin dapat dikatakan sebagai masyarakat yang berorientasi prestasi,
tidak memandang status sosial, sebaliknya semua orang memiliki kesempatan
yang sama menduduki fungsi-fungsi kerja di dalam perahu selagi ia mampu
memenangi persaingan.
Ringkasnya, prestasi dan kemampuan adalah yang utama, bukan
asal-usul status bangsawan di kelompok masyarakat ataupun di internal partai.
Pada titik ini, rakyat akan mengawasi apakah pidato Jokowi sebatas retorika
belaka ataukah satu manifesto politik yang menempatkan satunya kata dan perbuatan
menjadi garda terdepan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar