Kembali
ke Teknokrasi
Arif Sumantri Harahap ; Dosen
Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama);
Mantan Diplomat RI
|
KOMPAS,
31 Oktober 2014
DI dalam filsafat Jawa ada istilah ”mamayu hayuning bawono”,
artinya ”menata kehidupan dunia lebih baik”. Itu menjadi tugas para wiku,
batara, dan begawan, yang sekarang ini dapat diartikan sebagai kaum
teknokrat. Joko Widodo telah menjadi presiden dan Jusuf Kalla sebagai wakil
presiden. Dalam pidato pertama setelah pelantikan, Jokowi mengajak kita untuk
bekerja, kerja, dan kerja agar Indonesia Raya menjadi kuat, makmur, dan
besar.
Namun, pengumuman Kabinet Kerja yang perlu waktu sampai seminggu
setelah pelantikan memicu berbagai tanggapan. Ketika Presiden Soekarno pada
tahun 1960 memutuskan membentuk Dewan Pembangunan Nasional, ia menunjuk
wakil-wakil dari Nasakom dan Golongan Fungsional. Tidak ada seorang pun ahli
dari universitas.
Yang khas saat itu adalah kepentingan struktur fisik pada
perencanaan yang dihasilkan oleh dewan itu. Meliputi 17 sektor, hal itu
dimuat dalam 8 jilid buku yang berisi 1945 alinea. Total melambangkan
17-8-1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rencana itu tidak berhasil
mencapai target karena tujuannya terlalu ambisius serta tidak konsisten
dengan kenyataan ekonomi dan sosial di negeri ini.
Pergantian Presiden Soekarno kepada Soeharto ditandai oleh
pembentukan pemerintah radikal dalam hal kebijakan negara. ABRI memegang
kekuasaan untuk meluputkan negara dari
kejatuhan ke dalam komunisme dan mencegahnya dari kehancuran ekonomi.
Barangkali karena kelompok militer mengutamakan disiplin dengan
cara berpikir yang rasional dan realistis, mereka sadar untuk melibatkan
ilmuwan dalam membangun negara. Pada tahun 1966, Soeharto meminta jasa kaum
cendekia untuk duduk dalam Tim Ahli Ekonomi Presiden. Sebagian besar adalah
ahli ekonomi dari Universitas Indonesia, seperti Ali Wardhana, Moh Sadli,
Emil Salim, dan Subroto. Mereka adalah para teknokrat yang didefinisikan sebagai engineer or social scientist in position of power. Sebelumnya mereka
berkumpul di Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas) yang
diketuai Widjojo Nitisastro.
Yang menarik perhatian dari pergantian pimpinan nasional dari
Presiden Soekarno kepada Soeharto adalah menonjolnya peranan kaum teknokrat.
Pendidikan keahlian mereka umumnya dari
Amerika Serikat. Oleh sebab itu, tidak mengejutkan jika David Ransom
di dalam Ramparts menyebut mereka sebagai ”Berkeley Mafia”. Artikel itu
dianggap bias, tetapi introduksi masalahnya cukup sukses karena menunjuk pada
latar belakang pendidikan teknokrat-kita itu yang berasal dari University of
California, Berkeley.
Indonesia dan globalisasi
Menurut kalangan akademisi, dalam membentuk kabinet ada tiga hal penting. Pertama, dari
luar kita sedang menghadapi globalisasi tanpa mengenal batas negara,
seedless. Arus globalisasi tidak dapat dibendung, menerpa peri kehidupan
ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Kedua, menghadapi masalah dalam negeri yang marak dengan korupsi
dan kemiskinan. Globalisasi, masalah korupsi, dan kemiskinan terkait satu
dengan yang lain. Oleh karena itu, menghadapi ketiga masalah ini, kabinet
setidaknya harus memiliki teknokrat yang diandalkan.
Selain tiga begawan di atas, posisi menteri luar negeri juga
diharapkan dapat menjalankan politik luar negeri RI bebas aktif secara
konsekuen, tidak mudah dibelokkan ke kanan atau ke kiri. Posisi menteri luar
negeri penting karena mencerminkan pandangan presiden dalam menjalankan
haluan negara yang mengutamakan kepentingan di dalam negeri. Untuk mengisi
jabatan-jabatan tersebut diperlukan teknokrat yang ahli dalam bidangnya.
Pilihan Presiden Jokowi terhadap Retno LP Marsudi diharapkan bisa mengawal
kebijakan politik luar negeri yang bisa memasarkan Indonesia untuk
kesejahteraan rakyat.
Proses seleksi
Keinginan dua serangkai JKW-JK
membentuk kabinet sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan pengalaman Soekarno dan Soeharto. Hanya saja,
kabinet JKW-JK sarat dengan muatan politik, keseimbangan etnik, jender,
agama, profesional, dan ambisi untuk mengembalikan bangsa Indonesia pada
kejayaan sejarah Nusantara di bawah Sriwijaya atau Majapahit.
Boleh saja hal itu terjadi, tetapi dalam mewujudkannya perlu
bantuan kelompok individu untuk memberikan masukan kepada presiden dan wakil
presiden sebelum keputusan diambil. Untuk itu terdapat dua cara dalam
menyeleksi para pembantu presiden ini,
yaitu dengan menggunakan metode posisi (position
method) dan reputasi (reputation
method).
Dengan metode posisi, kita melihat posisi strategis dalam
pengambilan keputusan di negeri ini. Siapa yang mendudukinya akan mempunyai
pengaruh besar. Orang-orang ini mengendalikan persimpangan lalu lintas
informasi dan arus komunikasi yang menentukan dari pemerintahan sehingga
pemilihannya perlu berhati-hati. Tidak hanya keahlian yang perlu
diperhatikan, tetapi juga integritasnya.
Dengan metode reputasi, yang dilihat bukan pekerjaan atau
kedudukan, melainkan reputasi atau ”keterkenalan” orang itu dalam membuat keputusan.
Mungkin mereka tidak dalam posisi tingkat tinggi, tetapi sudah terkenal
sebagai ”otak” yang menentukan kebijakan.
Seorang yang berposisi tinggi yang menandatangani setiap
keputusan mungkin saja hanya ”tukang stempel”. Ia menandatangani apa saja yang
diajukan pembantu-pembantunya. Tidak diragukan lagi nama-nama teratas yang
masuk dalam kategori metode di atas antara lain Dr Ing BJ Habibie yang kala
itu sedang berada di luar negeri.
Dia diminta Soeharto pulang ke Indonesia untuk mengisi jabatan
Menteri Riset dan Teknologi dalam Kabinet Pembangunan. Untuk itu jangan
sungkan untuk memanggil pulang apabila ada teknokrat Indonesia yang sedang
mengajar di luar negeri.
Bukan boneka
Isu yang dilontarkan Koalisi Merah Putih tentang adanya ”tangan
asing” yang mendukung pemerintahan
Jokowi patut mendapat perhatian.
Teknokrat yang berpendidikan luar negeri bukanlah pemerintahan ras para ahli
atau oleh ahli-ahli asing. Teknokrasi sebenarnya tidak bertentangan dengan
demokrasi karena partai politik terwakili.
Dalam pemerintahan yang teknokratis, partai politik ditantang
untuk menampilkan politisi-politisi ahli yang tidak sekadar populer. Tugas
berat ini harus dilaksanakan partai koalisi dan oposisi agar sistem politik
Indonesia tidak terarah pada pola yang
tidak senjang.
Pemerintahan membutuhkan politisi-politisi yang dapat
menghubungkan secara baik antara mereka dan rakyat. Pemerintah memerlukan
keikutsertaan para politisi yang mengenal dan berhubungan erat dengan rakyat.
Keikutsertaan mereka akan menambah kepekaan terhadap masalah yang dihadapi
rakyat. Dengan demikian, pemerintah lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat
dan sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi.
Jika teknokrat dan politisi terpisah dari rakyat , ia tidak
dapat bertahan lama. Yang penting pemerintahan Jokowi konsisten untuk
melaksanakan janji pemilu dan pidato pelantikannya untuk bekerja keras ”mamayu hayuning bawono”. Agar Ibu pertiwi tidak menangis, rakyat
berharap Kabinet Kerja segera dapat mewujudkan kesejahteraan merata di
seluruh bumi Nusantara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar