Keluar
dari Jebakan Involusi
Ignas Kleden ; Sosiolog;
Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
|
KOMPAS,
31 Oktober 2014
SETIAP bangsa mengalami bahwa tidak ada perkembangan sosial yang
bersifat unilinear, bagaikan jalan lurus ke depan dengan gerak maju yang
serba mulus. Selalu ada faktor-faktor obyektif yang dapat menghambat.
Sekalipun demikian, kemajuan tak hanya ditentukan oleh
faktor-faktor obyektif, tetapi juga oleh peranan subyektivitas orang-orang
yang terlibat di dalamnya, Kemajuan demokrasi di Indonesia yang tadinya
banyak dipuji dunia luar telah menandai tahun-tahun pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Peralihan pimpinan nasional yang berlangsung tanpa
krisis politik adalah hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Tak ada lagi
”perang suksesi”.
Memang, konflik horizontal masih muncul di sana-sini, dan
beberapa aksi teroris masih terjadi, demikian pula ketegangan sektarian
antarkelompok. Meski demikian, pemerintahan berjalan tanpa krisis politik.
Rakyat menikmati kebebasan menyatakan pendapat, sementara pers Indonesia tak
lagi diintimidasi intervensi penguasa. Di atas semuanya, dunia menaruh hormat
yang tinggi karena rakyat Indonesia dapat memilih pemimpin dan wakil-wakil
rakyat secara langsung, mulai tingkat tertinggi menyangkut presiden dan
anggota DPR hingga tingkat paling bawah dalam pemilihan kepala desa.
Kemudian dalam kampanye calon presiden di televisi tahun ini
muncul pertanyaan dari pihak Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kepada pasangan
Joko Widodo-Jusuf Kalla, apakah pemilihan kepala daerah masih perlu
diteruskan secara langsung atau sebaiknya melalui DPRD. Alasannya, pemilihan
langsung banyak bersangkut paut dengan hubungan kedaerahan dan kekerabatan
serta mudah menimbulkan konflik horizontal, di samping membutuhkan biaya amat
besar. Pemilihan tak langsung oleh DPRD akan menghemat triliunan rupiah.
Jokowi menjawab, hal terpenting dalam pemilihan langsung adalah pelaksanaan
kedaulatan rakyat. Persoalan biaya dan penyelesaian konflik horizontal adalah
masalah teknis yang harus diselesaikan dan bisa diselesaikan.
Jangan salahkan rakyat
Dengan argumen-argumen yang solid, banyak penulis telah
membantah keberatan terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung. Tulisan
ini memilih untuk memberi perhatian khusus kepada alam pikiran atau visi soal
perkembangan sosial. Pada titik inilah dipertaruhkan subyektivitas dalam
menghadapi kemajuan. Rakyat kita sering dipersalahkan dalam banyak hal, tetapi
rakyat tidak bisa dipersalahkan karena meluasnya praktik politik uang di
Indonesia. Siapa yang mulai memperkenalkan politik uang?
Dengan pasti bisa dikatakan, politik uang berawal dari para
elite politik karena merekalah yang mempunyai dana dan kemudian percaya bahwa
kehendak rakyat dapat dibeli dengan uang. Lalu terjadilah transaksi, lalu
berkembanglah jual-beli suara. Dalam jual-beli ini, lambat laun permintaan
suara oleh para elite politik terus meningkat sehingga, sesuai dengan
mekanisme pasar, permintaan yang meningkat akan menaikkan harga suara
pemilih. Transaksi jadi mahal dan menyebabkan pemilihan kepala daerah memerlukan
biaya tinggi, bahkan sangat tinggi.
Namun, biaya tinggi hanyalah akibat politik transaksional yang
diperkenalkan elite politik. Ironis sekali bahwa yang merupakan akibat ini
kemudian dijadikan sebab dan alasan dalam menolak pemilihan langsung dan
menggantinya dengan pemilihan tak langsung oleh DPRD. Padahal, biaya tinggi
itu bisa diatasi kalau para elite politik menghentikan praktik politik uang,
sambil mendidik masyarakat bahwa pemilihan bukanlah pasar gelap dengan
tawar-menawar secara liar, tetapi hak dan kesempatan bagi rakyat untuk
menentukan siapa yang layak dan sanggup memimpin mereka meningkatkan taraf
hidup dan menciptakan kesejahteraan dengan keadilan.
Tentu saja setiap kampanye perlu biaya (untuk transportasi, iklan, atribut,
konsumsi pertemuan, dan lain-lain). Namun, biaya kampanye tidak perlu
mencakup dana untuk membujuk konstituen dan membeli suara mereka. Sayangnya,
setelah politik transaksional ini menjadi amat mahal, rakyat kembali
dipersalahkan seakan mereka belum cukup matang untuk memilih secara langsung
sehingga pemilihan kepala daerah harus diserahkan kembali ke DPRD.
Semua orang tahu, DPR di Indonesia sekarang ini pada segala
tingkatannya bukanlah lembaga negara dengan nama yang harum. Sebuah survei
tentang Indeks Demokrasi Indonesia yang dilaksanakan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional menunjukkan bahwa dibandingkan dengan lembaga-lembaga
lain seperti pemerintah daerah, pengadilan atau partai politik, DPRD adalah
lembaga negara yang mempunyai indikator kinerja paling buruk untuk tahun
2013. Dengan tiga tingkat skor yang ditetapkan, yaitu 80-100 sebagai
indikator kinerja yang baik, 60-79 untuk kinerja yang sedang, dan di bawah
angka itu adalah indikator kinerja yang buruk, skor untuk kinerja DPRD adalah
36,62.
Dapat dibayangkan jadinya kalau pilkada akan dilaksanakan
lembaga dengan kinerja yang paling buruk ini. Pengandaian bahwa pemilihan
kepala daerah oleh DPRD bakal lebih murah biayanya dan lebih baik hasilnya
sudah dapat ditolak sejak awal. Selain itu, pilkada oleh DPRD akan membuat
posisi politik kepala daerah tak independen terhadap DPRD dan menghilangkan
kesetaraan Trias Politika di daerah.
Peristiwa ini terjadi pada saat pemilihan langsung di Indonesia
mulai mengilhami beberapa negara lain untuk melakukan hal yang sama.
Malaysia, Myanmar, dan Mesir sedang berpikir untuk menerapkan pemilihan
langsung, sementara Hongkong bergolak dalam Umbrella Revolution untuk
menuntut pemilihan eksekutif Hongkong secara langsung dan menolak sistem
pemilihan melalui perwakilan yang dikehendaki Pemerintah Beijing. Suatu
koinsidensi yang amat menyakitkan bahwa saat puluhan ribu pengunjuk rasa
berdemonstrasi di pusat keuangan Hongkong menuntut pemilihan langsung sambil
menghadapi hadangan polisi, DPR kita memutuskan melalui voting pemilihan
kepala daerah oleh DPRD kembali berlaku.
Kemajuan digugurkan
Diberlakukannya pilkada secara tak langsung ini menjadi contoh
bagi aborted progress, yaitu kemajuan yang mengalami keguguran atau
digugurkan oleh subyektivitas orang-orang yang terlibat di dalamnya,
khususnya mereka yang mengambil keputusan. Kecenderungan ini mengakibatkan
gagalnya perkembangan menuju tahapan yang lebih maju karena prosesnya
melingkar-lingkar ke dalam dengan kerumitan semakin tinggi, tetapi hanya
menghasilkan gerak di tempat.
Tidak terjadi evolusi karena perkembangan terjebak dalam
involusi, yang buat sebagian disebabkan oleh subyektivitas yang ingin maju,
tetapi takut menanggung risiko dan konsekuensi kemajuan. Ada keinginan
mendukung penegakan hukum dan gerakan anti korupsi, tetapi keinginan ini
mengalami keguguran karena disertai kehendak untuk membubarkan Komisi PK. Ada
keinginan untuk mempunyai kabinet dengan menteri-menteri yang clear and
clean, tetapi langkah Presiden Jokowi untuk meminta nasihat KPK tentang
nama-nama calon menteri dipersoalkan.
Ada hasrat memajukan pendidikan nasional, tetapi perencanaan
pendidikan selalu bersifat centang perenang karena dikelabui kepentingan
pragmatis. Dari tahun 1945 hingga 2014
sudah terjadi pergantian kurikulum
sebanyak 10 kali, yang berarti setiap kurikulum rata-rata berlaku kurang dari 7 tahun. Atau, ada keinginan menegakkan kedaulatan
rakyat, tetapi hak rakyat memilih pemimpinnya diambil kembali dan diberikan
kepada DPRD.
Kecenderungan kepada aborted progress ini bahkan terlihat juga
pada Presiden Yudhoyono menjelang akhir masa jabatannya. Dalam sebuah
pernyataan publik, dia mengumumkan bahwa dirinya dan partai yang dipimpinnya
bakal mendukung pilkada secara langsung. Dengan kekuasaan legislasinya yang
besar sebagai presiden, dia dapat mencabut kembali Amanat Presiden pada RUU
Pilkada dengan akibat RUU ini batal dibahas dan tidak diperdebatkan dalam DPR.
Apa pun sebabnya, hal ini tidak dilakukannya.
Selain itu, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dia
dapat memerintahkan fraksi partainya untuk mendukung penuh opsi pemilihan
langsung. Yang terjadi kemudian adalah Fraksi Partai Demokrat menyatakan
meninggalkan sidang paripurna ketika menghadapi voting, dengan akibat bahwa opsi pilkada melalui DPRD dimenangi
Koalisi Merah Putih. Akan menghina kecerdasan umum (insulting public intelligence) kalau kita masih diminta percaya
bahwa langkah Fraksi Partai Demokrat itu diambil tanpa sepengetahuan atau
bahkan bertentangan dengan kehendak Ketua Dewan Pembina.
Dua usul dapat diajukan di sini demi perbaikan. Pertama, para
legislator kita di DPR sebaiknya merenungkan kembali tugas utama mereka
sebagai wakil rakyat dan tidak bertindak semata-mata sebagai machttechniker
atau teknisi kekuasaan yang lihai memainkan kekuasaan, tanpa sensibilitas
sedikit pun tentang yang akan ditanggung rakyat akibat permainan mereka
dengan kekuasaan. Menurut nasihat Bung Karno, machtsvorming, yaitu perebutan
kekuasaan, adalah hal penting dalam politik karena politik tanpa kekuasaan
adalah nonsense. Namun, perebutan kekuasaan harus disertai dengan kemampuan
menggunakan kekuasaan demi kepentingan umum, perlu disertai machtsaanwending
karena tanpa kapasitas penggunaan kekuasaan dengan benar, para legislator
akan bertindak seperti pemilik mobil mewah yang tidak tahu menyetir Jaguar
dan menabrak mati orang-orang di jalanan.
Kedua, dalam jangka panjang psikologi aborted progress sangat perlu diatasi. Setiap political will baru ada artinya
apabila tujuan yang dikehendaki dalam politik, tidak digugurkan di tengah
jalan karena orang tidak bersedia menanggung risiko dan konsekuensi dari
tujuan yang hendak dicapai. Tidak akan membawa kemajuan apa pun kalau setelah
melantik Presiden Jokowi bersama wakilnya Jusuf Kalla pada 20 Oktober yang
lalu, langsung ada niat untuk menjatuhkannya melalui pemakzulan (impeachment) setelah satu atau dua
tahun, atau mempersulit implementasi kebijakannya di DPR melalui kekuasaan
mayoritas anggota Dewan.
Dalam hal itu, negara maju seperti Amerika Serikat atau negara
lain amat memuliakan apa yang dinamakan national
interest. Dengan berbagai perbedaan paham dan perbedaan kepentingan tiap
orang akan tunduk pada apa yang mereka yakini sebagai kepentingan nasional.
Lawan politik yang bersaing keras dengan seorang presiden dalam masa kampanye
dan pemilu akan merasa hormat kepada presiden yang telah dipilih oleh rakyat
dan siap membantunya apabila diminta. Kalau ini tidak dilakukan, kita akan
terus-menerus terjebak dalam aborted progress karena kita sendiri menciptakan
hambatan bagi tercapainya apa yang diinginkan dalam politik nasional.
Dalam hal ini, pimpinan nasional sepatutnya menjadi representasi
yang hidup bagi kepentingan nasional dan tidak maju mundur untuk
menyelamatkan kekuasaan dan citranya sendiri, dengan berusaha menyenangkan
segala pihak. Yang kita inginkan adalah kehadiran seorang pemimpin yang
berani mengambil keputusan dalam keadaan kritis dan berkata dengan penuh
keyakinan: ini tanggung jawab saya.
Seorang pemimpin tidak perlu mengatakan segala sesuatu, tetapi yang
dikatakannya haruslah dapat dipercaya dan dijadikan pegangan seluruh bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar