Harapan
untuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW
Muhammadiyah Jawa Timur
|
JAWA
POS, 05 November 2014
SALAH satu perubahan yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo
(Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) adalah membagi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi dua. Pertama, Kementerian Bidang Kebudayaan
dan Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Kedua, Kementerian Bidang
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Dikti). Perubahan itu bertujuan
meningkatkan kinerja kementerian yang sangat menentukan nasib pendidikan
nasional.
Harus diakui, selama ini loading kegiatan Kemendikbud sangat
berjubel. Anggaran yang disiapkan pun sangat besar. Sebagai gambaran,
anggaran Kemendikbud mencapai Rp 371,2 triliun dari total APBN 2014 yang
mencapai Rp 1.816,7 triliun. Besarnya anggaran tersebut digunakan untuk
mengurus pendidikan, mulai anak usia dini, taman kanak-kanak, dikdasmen,
hingga dikti. Itu belum termasuk berbagai bentuk pendidikan informal dan
nonformal.
Karena yang diurus sangat banyak, arah pendidikan nasional
sejauh ini terkesan kurang fokus. Dampaknya, mutu pendidikan nasional
tertinggal dari negara lain. Ranking pendidikan nasional level dunia juga
tercecer di bawah. Padahal, pada 2015, kita memasuki era Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA). Jelas dibutuhkan keseriusan untuk mengelola pendidikan agar
lulusan berdaya saing internasional.
Dalam kaitan itulah, perubahan kementerian pendidikan nasional
terasa sangat relevan. Pembentukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti
yang terpisah dari Dikdasmen bisa mendorong kiprah perguruan tinggi (PT)
dalam melaksanakan tugas-tugas penelitian. Apalagi jika penelitian itu menghasilkan
teknologi tepat guna yang bermanfaat praktis bagi kehidupan masyarakat.
Seorang akademisi Melbourne University, Profesor Richard James
(2010), pernah membuat definisi menarik tentang penelitian. Menurut dia,
substansi penelitian terletak pada publikasi dan kegunaan (research is publication and using).
Pandangan itu menegaskan, untuk mengukur mutu penelitian, harus dilihat
publikasi yang dihasilkan dan manfaat praktisnya bagi masyarakat.
Melalui publikasi, akan terjalin komunikasi timbal balik antarilmuwan.
Bermula dari publikasi itulah keinginan membangun budaya akademik (academic atmosphere) di dunia
pendidikan dapat tercapai. Publikasi hasil penelitian juga berguna untuk
meminimalkan praktik plagiat yang marak terjadi di dunia pendidikan.
Berkaitan dengan problem plagiat, perguruan tinggi (PT) harus
memiliki mekanisme yang ampuh. Salah satu caranya adalah memublikasikan
ringkasan hasil penelitian melalui media cetak nasional atau internasional.
Apalagi kini publikasi ilmiah juga dapat dilakukan secara online. Sayangnya,
banyak peneliti yang belum berani memublikasikan hasil penelitian mereka.
Padahal, selalu dikatakan, tugas utama civitas academica PT
adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tiga tugas
itulah yang populer disebut tridarma PT. Itu berarti seluruh civitas
academica harus memahami tridarma sebagai satu kesatuan yang saling terkait (linkage). Berkaitan dengan keinginan
untuk membuat linkage tridarma, civitas
academica harus menyadari bahwa penelitian tersebut sangat penting.
Hasil penelitian bisa menjadi referensi untuk meningkatkan mutu
pendidikan dan pengabdian masyarakat. Kesadaran itu terasa kurang di kalangan
civitas academica. Dampaknya, praktik pendidikan dan pengabdian tidak
mengalami kemajuan berarti. Padahal, dunia pendidikan telah berkembang begitu
pesat. Kebutuhan masyarakat juga bergerak begitu cepat seiring dengan
tuntutan zaman.
Konteks pendidikan terkini jelas meniscayakan pembelajaran
berbasis penelitian. Karena itu, banyak PT yang menjadikan penelitian sebagai
branding (label). Tidak mengherankan jika ada universitas yang mengenalkan
diri dengan label university based
research. Untuk menjadikan penelitian sebagai budaya, setiap dosen harus
mendesain pembelajaran dengan mengutamakan model induktif.
Model pembelajaran induktif mengharuskan mahasiswa mengamati
problem sosial di tengah-tengah masyarakat untuk dicarikan solusinya. Itulah
sesungguhnya model pembelajaran otentik (authentic
learning). Inti pembelajaran otentik adalah pelibatan mahasiswa secara
aktif untuk menemukan beragam ilmu pengetahuan dengan bersumber pada
pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
Metode induktif dapat menjadi alternatif untuk menggantikan
pembelajaran deduktif. Sudah saatnya mahasiswa dilatih untuk memiliki sense
bertanya, mengobservasi, dan mengajukan solusi dari persoalan yang dihadapi.
Pola pembelajaran itu bisa menjadi media membentuk mahasiswa haus ilmu
sehingga selalu merasa ingin tahu (curiosity).
Melalui cara itu, berarti dosen telah memberikan soft skill kepada mahasiswa
untuk menjadi calon peneliti pada masa mendatang.
Karena itu, penting ditekankan pelibatan mahasiswa dalam
penelitian oleh dosen. Dalam sudut pandang penilaian Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), komponen penelitian yang melibatkan
mahasiswa bernilai sangat tinggi. Demikian pula penelitian yang diikuti
publikasi. Dua kegiatan tersebut, penelitian dan publikasi, memberikan
kontribusi yang sangat besar dalam akreditasi program studi dan institusi.
Untuk membangun budaya penelitian dan publikasi, direktur
jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud sejatinya telah
menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 152/E/T/2012 tentang kewajiban
melakukan publikasi ilmiah bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3. Sayang sekali,
terobosan Dirjen Dikti itu belum efektif. Masih banyak PT yang enggan
menjalankan amanat peraturan tersebut.
Keengganan PT menerapkan peraturan Dirjen Dikti patut
disayangkan. Sebab, publikasi seharusnya menjadi bagian tidak terpisah dari
penelitian. Bahkan, mutu PT sesungguhnya dapat diamati dari jumlah publikasi
ilmiahnya. Termasuk, jumlah hak paten dan hak karya ilmiah yang dihasilkan
dari penelitian dosen dan mahasiswa.
Sudah saatnya PT berkomitmen memperbanyak penelitian yang
berorientasi pada publikasi dan kegunaan. Itu penting agar civitas academica tidak terus-menerus
berada di menara gading. Kini civitas
academica harus turun gunung, menunjukkan tanggung jawab soial mereka.
Caranya, melakukan penelitian yang melahirkan teknologi tepat guna sehingga
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Itulah harapan untuk Kementerian Riset,
Teknologi, dan Dikti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar