Demokrasi
Sosial
Herdi Sahrasad ; Associate Director the Media Institute dan Pusat Studi
Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina; Dosen Universitas
Paramadina
|
KOMPAS,
05 November 2014
MENGAPA demokrasi kita selama
10 tahun terakhir tidak bisa bekerja efektif mengatasi korupsi dan kemiskinan
massal? Mengapa demokrasi kita tidak bisa memberdayakan dan membebaskan
rakyat dari ketidakadilan dan ketidakberdayaan? Mengapa demokrasi kita tidak
bisa menghapus kesenjangan sosial dan ketimpangan struktural?
Meminjam frasa Vedi Hadiz dan
Richard Robison, demokrasi prosedural di Indonesia sejak jatuhnya Soeharto
hanya menguatkan kuasa kelompok plutokratik dan kelas elite tertentu yang
diuntungkan oleh sistem demokrasi liberal dan ekonomi pasar liberal (The Political Economy of Oligarchy and the
Reorganization of Power in Indonesia, Jurnal
Indonesia No 96, Special Issue:
Wealth, Power and Contemporary Indonesian Politics, October 2013, halaman
35-57).
Sebagian jawaban atas
pertanyaan di atas terletak pada ”kegagalan negara” pasca-Reformasi dalam
menegakkan kedaulatan keluar dan ke dalam.
Meminjam perspektif Prof Robert
Rodberg, akademisi Harvard University, fenomena kegagalan negara (the failure of state) itu bisa dilihat
dari belum terwujudnya kepemimpinan nasional yang efektif, kuat, decisive, berani, dan kreatif untuk
membawa perubahan yang lebih baik.
Sementara dalam konteks
kedaulatan ke luar, negara kita tidak memiliki kemampuan untuk menjaga daulat
kawasan/pulau-pulau perbatasan paling luar dan tidak cukup kapasitas untuk
terlibat dalam pergaulan antarbangsa dalam posisi terhormat. Dalam
kenyataannya, negara kita gagal menghadapi kekuatan pasar bebas yang
merontokkan usaha domestik.
Kegagalan menegakkan kedaulatan
negara ke dalam ditandai pula dengan kegagalan mewujudkan hukum dan
ketertiban, mewujudkan keadilan sosial, menjamin kesejahteraan masyarakat,
dan menegakkan HAM secara simultan sehingga ipso facto gagal mengemban amanat
konstitusi.
Muncullah kelompok-kelompok
yang menuntut kekhalifahan serta merindukan strongman dan negara kuat seperti
zaman Pak Harto (Orde Baru) sebagai antitesis demokrasi, menyiratkan dalamnya
kekecewaan terhadap kinerja demokrasi yang diwarnai korupsi, kolusi, dan
oligarkisme.
Kapitalisme predatoris
Menurut Richard Robison dan
Vedi Hadiz, Indonesia 10 tahun terakhir dikuasai oleh kalangan
oligarkis-plutokratis yang mengecoh para reformis dan meneruskan kapitalisme
predatoris dengan merebut sumber-sumber daya ekonomi produktif yang dikuasai
negara. Harus disadari oleh Presiden Joko Widodo bahwa para plutokrat,
oligar, dan kapitalis predator itu telah membajak demokrasi konstitusional
kita.
Gejala ”plutokrasi’’ berasal
dari kata Yunani ploutos yang berarti kaya raya. Inilah yang harus diwaspadai
karena berarti semua kelengkapan politik atau kebijakan pemerintahan dikuasai
kelompok orang kaya, elite pengusaha, dan pedagang yang jelas-jelas
bertentangan dengan agenda revolusi mental.
Plutokrasi juga berkaitan
dengan ”mindset aristokrasi’’ yang membentuk kelompok elite dengan menjadikan
jabatan dan posisi sebagai status sosial untuk memperkaya diri dengan
menggunakan legitimasi kekuasaan. Kekuatan oligarkis-plutokratis menentukan
berbagai garis kebijakan untuk mempertahankan kapitalisme predator di
Indonesia.
Peningkatan utang Pemerintah
Indonesia hingga mencapai Rp 2.023,72 triliun per April 2013 menggambarkan
tiadanya perubahan dalam kebijakan ekonomi pemerintah selama kurang lebih 10
tahun terakhir. Total utang pemerintah hingga Februari 2014 mencapai Rp
2.428,63 triliun dengan rasio 24,7 persen terhadap PDB.
Sesuai ketetapan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN-P) alokasi subsidi energi 2014 mencapai
Rp 453, 3 triliun. Angka ini mencakup subsidi BBM Rp 350,3 triliun ditambah
dengan subsidi listrik Rp 103 triliun. Sementara subsidi non-energi Rp 52,7
triliun sesuai kesepakatan Sidang Paripurna DPR.
Dari tahun ke tahun, subsidi
BBM terus meningkat. Tahun 2010, subsidi energi Rp 139,9 triliun. Tahun 2011,
alokasi subsidi menjadi Rp 255,6 triliun atau naik 45,1 persen. Tahun 2012
mencapai Rp 306,5 triliun dengan kenaikan 16,6 persen. Sepanjang 2013,
anggaran subsidi energi mencapai Rp 310 triliun dan selanjutnya tahun 2014
menembus Rp 350,3 triliun.
Dampaknya adalah penciutan
belanja sosial dan modal. Belanja modal, misalnya, hanya dialokasikan 9
persen dari anggaran. Bisa dibayangkan betapa sulitnya pemerintah memerangi
kemiskinan dan pengangguran yang menurut Bank Dunia kini mencapai 110 juta jiwa.
Hampir pasti pemerintah juga
sangat sulit mencerdaskan bangsa serta meningkatkan kualitas pendidikan dan
kesehatan dengan keterbatasan dana yang tersedia. Artinya, negara gagal
menegakkan kedaulatan ke luar dan ke dalam, terutama dalam pembangunan sosial-ekonomi
untuk memenuhi hak-hak dasar rakyat.
Situasi ini harus menjadi
kepedulian pemerintahan JKW-JK dan segenap masyarakat untuk mencari wujud
demokrasi substansial yang cocok dengan struktur dan kultur masyarakat kita
agar tidak bolak-balik menemui kegagalan sistemik yang bisa mengancam
eksistensi demokrasi dan republik ini.
Dalam konteks demokrasi
konstitusional, gagasan Bung Hatta agar kita menerapkan demokrasi
sosial—bukan demokrasi liberal semata¬—relevan untuk dipraksiskan.
Demokrasi sosial memprioritaskan
hak-hak sosial, ekonomi, politik, sipil, kultural, dan ekonomi pasar sosial,
berbeda dengan demokrasi liberal yang hanya mengutamakan hak-hak sipil dan
politik serta pasar bebas.
Demokrasi sosial berlaku di
antaranya di Swedia, Denmark, dan Norwegia. Contoh demokrasi liberal adalah
Amerika Serikat. Dengan cara demikian, bangsa kita bisa lepas dari potensi
bayang-bayang negara gagal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar