Gotong-Royong
dalam Zakenkabinet
Muhidin M Dahlan ; Kerani @warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 03 November 2014
Jangan membayangkan kerja atau zaken dalam nama kabinet Presiden
Joko Widodo (Jokowi) adalah kerja sebagaimana dipahami sehari-hari: datang
bekerja seharian, pulang jika waktunya tiba, begitu setepat-tepatnya. Lalu,
terima upah/gaji.
Kabinet Kerja memiliki jejak historis yang jauh, dan bukan
sesuatu yang datang ujug-ujug. Sebagaimana frasa "nawacita" dan
"trisakti", pemakaian istilah "Kabinet Kerja" menjadikan
kita dengan mudah berkesimpulan bahwa Jokowi bersemangat mereaktualisasi
kembali jejak Sukarnoisme dalam manajemen kenegaraan.
Dan kita tahu, kabinet kerja adalah nama kabinet Sukarno setelah
ia "membereskan" Dewan Kostituante via Dekrit 5 Juli 1959. Dewan
Konstituante, yang ditugasi merumuskan dasar negara, dianggap Sukarno terlalu
cerewet, banyak omong, dan menghasilkan omong kosong yang tak berkesudahan.
Menjawab omong kosong parlemen yang berlarut-larut itulah,
Sukarno membuat antitesis dalam manajemen pemerintahannya di era Demokrasi
Terpimpin. Boleh dibilang zakenkabinet yang dibayangkan Sukarno berlawanan
dengan parlemen tukang cerewet dan menghabiskan energi berwacana. Walaupun
kita tahu, Sukarno tak lebih banyak omong ketimbang Dewan Konstituante yang
dikritiknya.
Makanya, Djuanda menjadi tokoh kunci jalannya zakenkabinet.
Posisi Djuanda ini mirip Hatta. Sementara Sukarno menggeber-geber podium di
mana-mana, Djuanda ini dengan tekun menenun detail-detail yang mustahil
dikerjakan generalis macam Sukarno. Dan terbukti, saat Djuanda wafat di
tengah-tengah tugasnya, zakenkabinet ini berjalan limbung.
Jokowi ingin memungut semangat zakenkabinet Sukarno yang
berlangsung dari 1959 hingga 1964 itu dengan sejumlah reaktualisasi. Sukarno
membuat Front Nasional yang terdiri atas partai dan ormas sebagai kekuatan
bayangan kabinetnya, sementara Jokowi menjadikan Koalisi Indonesia Hebat +
relawan sebagai sayap kekuatan kabinetnya. Namun, baik zakenkabinet Sukarno
maupun Jokowi sama-sama menjadikan gotong-royong sebagai asas utama.
Saya menangkap gotong-royong yang dibayangkan Jokowi adalah
praktek sosio-ekonomi yang lebih menitikberatkan pada ekonomi partisipatif.
Suatu praktek ekonomi yang melibatkan orang-banyak ketimbang segelintir
individu. Pasar tradisional yang menjadi jantung blusukan Jokowi selama ini
menjadi simbol pengait utama yang paling bisa dikenali. Kesejahteraan dan
indeks kebahagiaan orang banyak itulah yang menjadi titik-tuju zakenkabinet
Jokowi. Jokowi betul-betul mesti belajar dari sejarah amburadulnya kabinet
kerja saat ditinggal Djuanda. Berpikir makro boleh saja, tapi tetap cakap menyelesaikan
detail. Jokowi tak diragukan lagi sebagai pemimpin terkini yang peka terhadap
detail.
Diharapkan, getaran kepekaan pada detail yang sama juga dimiliki
pembantu-pembantunya, sebagaimana dress code yang mereka kenakan: kemeja
putih lengan panjang tergulung dan celana kain hitam. Mereka melayani dan
kerja detail mereka memberi dampak kesejahteraan yang bisa diukur dengan
parameter-parameter yang sudah disepakati.
Dengan begitu, gotong-royong dalam zakenkabinet Jokowi bukan
hanya ikhtiar mereaktualisasi ideologi temuan leluhur politik dalam
pengertian dan prakteknya yang baru, tapi juga memberi kepastian bahwa negara
dirasakan kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari orang banyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar