Batik
Purnawan Andra ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 03 November 2014
Ada yang berbeda dalam pelantikan para menteri kabinet oleh
Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober 2014. Mereka mengenakan baju batik.
Suatu fenomena politik yang baru dan segar serta perlu diapresiasi.
Batik adalah karya seni dengan filosofi yang mengakar kuat dalam
masyarakat (Jawa khususnya) hingga kini. Batik menjadi bagian dalam
ritus-ritus peralihan kehidupan manusia. Bandung Mawardi (2011) memaparkan
adanya catatan tertulis tentang sejarah batik pada 1518 di wilayah Galuh
(Jawa). Raja Mataram Sultan Agung (1613-1645) juga disebut mengenakan batik
dengan motif burung huk. Motif ini dalam mitologi Cina berarti membawa berkah
keberuntungan. Pengaruh India dan Cina dapat dilihat dari teknik, bentuk, dan
filosofi.
Belum ada negara mana pun yang memiliki kekayaan desain motif
batik seperti dimiliki Indonesia. Tiap-tiap daerah memiliki banyak desain dan
motif khas dalam kekayaan sebutan melalui bahasa daerah masing-masing.
Misalnya motif batik Aceh: Pintu Aceh, Cakra Doenya, Bungong Jeumpa. Dari
Riau, ada Itik Pulang Petang, Kuntum Bersanding, Awan Larat, dan Tabir. Batik
Jawa di antaranya Jelaprang (Pekalongan), Sida Mukti, Sida Luhur (Solo),
Patran Keris, Paksinaga Liman, Sawat Penganten (Cirebon), dan lainnya.
Batik telah melewati lintasan sejarah yang panjang. Eksistensi
batik tersebut tentu saja tidak bisa lepas dari dinamika yang senantiasa
terjadi pada berbagai aspek, dari aspek teknis, estetis, normatif, hingga
aspek fungsional dan ekonomis. Salah satu ikon Nusantara ini terus hidup,
berkembang, mengalami revitalisasi, jika bukan malah revolusi. Jika ada
anggapan bahwa batik adalah pakaian resmi yang jadul banget, agaknya ia perlu
lebih menyimak perkembangan mode batik masa kini. Perkembangan itu tak
berhenti pada rancangan, penampilan, dan coraknya, tapi juga kegunaannya yang
berbanding lurus dengan permintaan pasar.
Sejak awal 2008, desain batik berkembang makin modis dan bisa
dipadukan dengan apa saja, termasuk dengan jins, sesuatu yang senantiasa
diidentikkan dengan modernitas atau Barat. Berdasarkan data Departemen
Perdagangan, pada 2008 ekspor batik sebesar US$ 29,3 juta (naik 20,24 persen)
dibanding tahun 2007 sebesar US$ 24,4 juta. Sedangkan tujuan umum ekspor
batik adalah negara AS, yang menyerap 64,59 persen dari seluruh ekspor batik
dunia. Urutan selanjutnya adalah Jerman (5,39 persen), Inggris (5,20 persen),
Belgia (2,75 persen), dan Prancis (2,27 persen). Bahkan Bill Gates, orang
terkaya dunia dan bos Microsoft, adalah pengoleksi batik Nusantara.
Kini dunia, melalui UNESCO, telah mengakui batik sebagai sebuah
warisan budaya (heritage). Pengakuan itu tentu saja menjadi rambu-rambu
penting untuk kita agar mampu meneguhkan identitas bangsa melalui batik. Bung
Karno disebutkan pernah menelurkan sebuah gagasan besar mengenai "batik
Indonesia". Bahwa batik-batik tradisional dengan ciri etnis mesti terus
dikembangkan hingga memunculkan suatu ciri kebangsaan dan nasionalisme.
Batik menjadi bagian dari politik kultural yang bisa membawa
kita menelusuri jejak-jejak sejarah, dinamika ekonomi, hingga praktek-praktek
identifikasi komunalitas. Karena itu, kita harapkan apa yang dilakukan Jokowi
dan para menterinya menjadi politik pemaknaan yang nyata, strategis, dan
berkelanjutan atas batik sebagai sebuah gagasan mengenai identitas kultural
dan nasionalisme Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar