Dampak
Parlemen Terbelah
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 05 November 2014
Meluasnya ketidakpuasan terhadap proses pemilihan pimpinan dan
alat kelengkapan di DPR telah berujung pada terjadinya friksi yang semakin
tajam di tubuh lembaga legislatif. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) atau koalisi
pendukung Jokowi-JK yang terdiri dari fraksifraksi: PDIP, Nasdem, Hanura,
PKB, PKPI ditambah sebagian anggota fraksi PPP versi Romi telah mengajukan
mosi tidak percaya terhadap pimpinan DPR, dan bahkan telah mendeklarasikan
dibentuknya pimpinan DPR tandingan.
Krisis politik tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari
sikap politik KIH yang menuding bahwa mekanisme pemilihan pimpinan dan alat
kelengkapan DPR sarat dengan rekayasa politik yang diperlihatkan dari
perilaku para anggota DPR yang tergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP)
atau koalisi pendukung Prabowo yang menyapu bersih seluruh kursi pimpinan dan
ketua alat kelengkapan DPR.
Sebenarnya langkah untuk menguasai kursi-kursi pimpinan di
Senayan atau yang secara populer sering juga disebut gedung miring itu, sudah
dapat ditebak sejak dilakukannya penggantian UU MD3 melalui UU No 17 Tahun
2014 dan dilanjutkan dengan penyusunan Peraturan Tatib DPR yang lebih banyak
didominasi oleh kepentingan politik dari KMP.
Dalam konteks politik, langkah kontestasi politik untuk
memperebutkan kursi di Senayan tersebut barangkali ada yang menilai sah-sah
saja dilakukan, karena memang DPR merupakan sebuah lembaga politik yang
bekerja dengan nalar politik. Namun, dalam perspektif teori organisasi,
tragedi terbelahnya DPR tersebut justru menggambarkan kelemahan kapasitas
dari pimpinan DPR dalam mengakomodasi polaritas pendapat di kalangan anggota
DPR dan sekaligus juga merupakan kegagalan institusi DPR dalam melaksanakan
konsolidasi politik pascapilpres.
Fenomena parlemen yang terbelah (divided parliament) telah
memunculkan dua versi pimpinan DPR yang terjadi saat ini. Hal tersebut
sejatinya sangat kontraproduktif terhadap upaya Jokowi-JK bersama kabinet
yang dinamakan sebagai Kabinet Kerja untuk bergerak cepat menuntaskan
sejumlah agenda pemerintahan dalam mendesain dan mengeksekusi sejumlah program/kegiatan
kementerian/lembaga.
Beberapa implikasi dari terjadinya krisis politik di DPR
tersebut antara lain: pertama, kegagalan DPR dalam melaksanakan berbagai
program kerja strategis sebagai mitra penyeimbang pemerintah melalui peranan
komisi dan badan. Sejumlah rencana program/ kegiatan yang membutuhkan
persetujuan dari DPR akan gagal dieksekusi sebagai akibat alat kelengkapan
DPR tak bisa bekerja dengan efektif. Ujungnya, rakyat tak mungkin menikmati
manfaat dari program/ kegiatan pemerintah yang gagal dieksekusi.
Kedua, parlemen yang terbelah akan memandulkan fungsi pengawasan
dari DPR karena terjadi krisis kewibawaan DPR. Di titik inilah sebenarnya DPR
bisa secara perlahan mengalami proses pembusukan politik (political decay)
akibat salah satu fungsi utamanya untuk melakukan pengawasan politik sebagai
mitra penyeimbang bagi pemerintah gagal dilaksanakan.
Ketiga, fungsi penganggaran yang dimiliki oleh DPR juga terancam
tak berjalan dengan baik karena situasi yang tak kondusif untuk bersama-sama
dengan pemerintah melakukan pembahasan-pembahasan terhadap RAPBN. Padahal,
dalam UUD Negara RI 1945 dinyatakan bahwa apabila pemerintah gagal menyusun
RAPBN untuk tahun anggaran tertentu maka APBN yang dipergunakan tak lain
adalah APBN tahun sebelumnya. Penggunaan APBN tahun sebelumnya tersebut jelas
akan menyebabkan terjadinya stagnasi pemerintahan karena berbagai
asumsi-asumsi makroekonomi yang semula dipergunakan sebagai dasar penetapan
pembiayaan program/ kegiatan APBN pada tahun sebelumnya, tentunya sudah tak
lagi sesuai dengan realitas kondisi perekonomian makro APBN tahun berikutnya.
Keempat, berbagai fungsi internal DPR juga akan mengalami
pemandulan. Misalnya, Majelis Kehormatan DPR juga tak akan bisa bekerja
dengan efektif dalam situasi DPR yang terbelah. Badan Anggaran DPR juga akan
mengalami stagnasi karena situasi politik Senayan yang tak kondusif. Badan
legislasi juga akan mengalami disorientasi sebagai akibat sulitnya untuk
menyusun Prolegnas bersama-sama dengan pemerintah karena krisis politik di
Senayan akan membuat stagnasi pelaksanaan tugas, pokok dan fungsi Badan
Anggaran.
Dalam Tatib DPR jelas-jelas disebutkan bahwa rapat dan keputusan
DPR dianggap sah jika dihadiri oleh 50% + 1 unsur fraksi. Maka, dengan posisi
5 fraksi vs 5 fraksi, baik rapat yang diselenggarakan oleh KMP maupun KIH
Tidak Sah karena tidak memenuhi 50% +1 unsur fraksi. Jika KMP berhasil
menarik kembali gerbong PPP ke KMP, masalah dualisme pimpinan DPR pun akan
berakhir. Dengan kembalinya PPP ke KMP, syarat 50% + 1 unsur fraksi bisa
terpenuhi.
Sayangnya, posisi PPP sudah dikunci di KIH melalui surat
Kemenkumham yang mengesahkan kepengurusan PPP versi Romi yang memilih
bergabung ke KIH. Selain itu, di pimpinan DPR versi KIH, PPP juga menempatkan
wakilnya di jajaran pimpinan DPR.
Benarkah posisi DPR yang terbelah ini akan mengganggu jalannya
pemerintahan Jokowi-JK? Tentunya jawabannya adalah tidak, jika tidak terkait
dengan pengajuan anggaran baru untuk membiayai program/kegiatan baru yang
diusulkan oleh kementerian/lembaga. Selama programprogram Kabinet Kerja masih
menggunakan anggaran yang lama, Jokowi tidak memerlukan konsultasi dengan
DPR. Namun, tentu saja, jika sampai 2015 DPR masih terbelah, pemerintahan
Jokowi akan mengalami kendala yang serius, meskipun secara konstitusional UUD
Negara RI 1945 membolehkan pemerintahan Jokowi menggunakan anggaran tahun
sebelumnya. Macetnya proses pengambilan keputusan di parlemen itu secara
otomatis bakal ikut menyandera pemerintahan Jokowi-JK.
Pasalnya, sejumlah pengambilan kebijakan oleh pihak eksekutif
tetap harus melalui persetujuan atau pembahasan bersama dengan DPR. Dengan
parlemen yang terbelah, rapatrapat di DPR nantinya tidak akan bisa mengambil
keputusan apa pun. Ada syarat kuorum yang harus dipenuhi ketika rapat-rapat
di parlemen hendak mengambil sebuah keputusan tertentu.
Berdasarkan Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR, baik di Pasal 281
maupun 284 ayat (1) diatur bahwa pengambilan keputusan melalui musyawarah
mufakat ataupun dengan suara terbanyak menjadi sah, kalau diambil lewat forum
rapat yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur di Pasal 251 (1)
yang pada intinya mengatur bahwa, pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh
jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi yang
ada. Krisis politik di DPR harus bisa diakhiri melalui mediasi politik yang fairness dan adil dengan didukung
sikap kenegarawanan dari masing-masing kubu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar