Agenda
Pajak Menteri Keuangan
Chandra Budi ; Bekerja
di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
|
KORAN
TEMPO, 06 November 2014
Artikel CB dengan topik sama telah dimuat di SINAR HARAPAN 01
November 2014
Posisi Menteri Keuangan yang baru dipercayakan kepada mantan
Wakil Menkeu era SBY, Bambang Brodjonegoro. Menarik sekali, Bambang
Brodjonegoro, seperti yang disebutkan Presiden Jokowi, adalah ahli
desentralisasi fiskal yang berlatar belakang akademikus. Ditambah pengalaman
kerjanya sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, sangat
diyakini Menkeu Baru ini mumpuni dalam hal kebijakan ekonomi makro. Justru
tantangannya adalah bagaimana Menkeu baru mengelola sektor perpajakan (pajak
dan bea cukai) yang sangat mikro. Karena itu, Menkeu baru harus mempunyai
agenda pembenahan pajak yang konkret.
Setidaknya, ada dua akar masalah yang dihadapi Ditjen Pajak saat
ini. Pertama, kontribusi penerimaan pajak selama ini sangat bergantung pada
segelintir wajib pajak badan atau perusahaan yang berorientasi ekspor
komoditas. Saking bergantungnya pada wajib pajak ini, apabila setoran pajak
mereka turun sedikit saja, setoran dari wajib pajak orang pribadi tidak akan
mampu menutupinya. Hal ini wajar terjadi karena berdasarkan bukti empiris,
diketahui bahwa sekitar 90 persen lebih penerimaan pajak berasal dari wajib
pajak badan. Selain itu, hampir 85 persen setoran tersebut disumbangkan oleh
seribuan wajib pajak badan saja. Kegagalan pencapaian target pajak selama
tiga tahun terakhir ini diyakini sebagai akibat menurunnya setoran wajib
pajak badan tadi, yang merupakan efek dari melambatnya perekonomian global.
Masalah kedua, munculnya gejala (symptom) demotivasi pegawai menyebabkan turunnya militansi untuk
menggali potensi penerimaan pajak. Hal ini dipicu oleh adanya kesenjangan
antara apa yang diharapkan pegawai dan kebijakan yang ada. Kebijakan selama
ini lebih menempatkan pegawai sebagai sumber daya, bukan aset (kapital).
Sangat dikhawatirkan hubungan antara pegawai pajak dan Ditjen Pajak (engagement) ke depan akan lebih
didominansi ikatan tanpa emosi (shopper).
Fokus pertama dalam agenda pembenahan pajak Menkeu baru adalah
meningkatkan kontribusi penerimaan pajak yang berasal dari wajib pajak orang
pribadi. Dengan bertambahnya porsi pajak yang berasal dari wajib pajak orang
pribadi ini, tekanan eksternal pelambatan ekonomi dunia akan sedikit
pengaruhnya terhadap pencapaian penerimaan pajak. Selain itu, best practices
dunia, kontribusi penerimaan pajak orang pribadi selalu lebih besar daripada
perusahaan. Arnold (2012) menyatakan komposisi penerimaan pajak di
negara-negara OECD lebih didominansi oleh setoran pajak yang berasal dari
wajib pajak orang pribadi, termasuk dari wajib pajak karyawan. Hanya sekitar
10 persen penerimaan yang berasal dari wajib pajak badan.
Peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak orang pribadi
sebenarnya terbuka lebar. Data terbaru BPS (2013) membenarkan pernyataan
tersebut. Dari sekitar 110,8 juta orang yang berkerja, baru 24,13 juta orang
atau 21,7 persen yang terdaftar sebagai wajib pajak.
Selanjutnya, dari jumlah wajib pajak terdaftar tersebut, yang
membayar pajak hanya 670 ribu orang atau 2,7 persen. Ironisnya, sebanyak
lebih dari 586 ribu wajib pajak, atau sekitar 87,5 persen, membayar pajak
kurang dari Rp 100 juta setahun atau hanya Rp 8,3 juta sebulan. Padahal,
apabila dibandingkan dengan data eksternal yang ada, terdeteksi masih banyak
pihak yang belum membayar pajak meski sebenarnya mampu.
Permasalahan utama yang dihadapi Ditjen Pajak dalam menggali
potensi pajak tersebut adalah kurangnya ketersediaan data eksternal. Padahal,
data tersebut sebenarnya ada dan dimiliki oleh institusi pemerintah juga.
Contohnya, data kepemilikan kendaraan mewah yang dikuasai oleh dinas
pendapatan daerah setempat.
Fokus kedua agenda pajak Menkeu baru adalah mengembalikan
motivasi pegawai. Seiring dengan revolusi mental yang dicanangkan Presiden
Jokowi, sangat tepat apabila Menkeu baru segera mengimplementasikan hal itu pada
jajaran Ditjen Pajak. Kata kuncinya adalah menjadikan pegawai sebagai aset
berharga milik organisasi. Bradley (2008) dalam bukunya The New Human Capital Strategy, menyatakan bahwa untuk
memperbaiki kinerja karyawan dan perusahaan, perusahaan harus memperlakukan
karyawannya sebagai manusia seutuhnya. Kalau perusahaan membuat karyawannya
sukses, mereka akan bahagia. Kalau mereka bahagia, kinerjanya akan meningkat.
Ditjen Pajak harus menumbuhkan rasa bangga dan bahagia dalam
hati seluruh pegawainya karena telah bekerja dan berkontribusi besar terhadap
penerimaan negara yang digunakan untuk menjalankan program kesejahteraan
rakyat. Secara konkret, Ditjen Pajak perlu membangun suatu sistem yang dapat
mengukur, mengembangkan, dan memberikan imbalan proporsional kepada
pegawainya. Revolusi mental ala Ditjen Pajak adalah dengan membuat seluruh
pegawai pajak bangga dan bahagia menjalani pekerjaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar