Wajah
Bopeng Dewan
Hamidulloh Ibda ; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang
|
KORAN
JAKARTA, 08 Oktober 2014
Sistem demokrasi Indonesia sejak era Reformasi 1998 belum berjalan
ideal. Demokrasi negeri ini masih menyuburkan kolonialisme. Warisan kolonial
masih melekat di jiwa manusia dan alam politik Indonesia, terutama pada level
pejabat dan wakil rakyat. Akibatnya, kemunduran bahkan kehancuran demokrasi
makin tampak. Meskipun demokrasi hanya sebagai alat dan metode, jika dirohi
manusia kolonial, buah demokrasi tersebut menjadi kolonial.
Demokrasi kolonial melahirkan mental kolonial buruk. Warisan kolonial
terbagi atas unsur material dan imaterial termasuk budaya, karakter, agama,
kurikulum, tradisi, politik, dan sistem demokrasi di Indonesia (Beyond
Colonialism, 2014: 37). Kebodohan, kemiskinan, kebergantungan, kesenjangan,
semuanya muncul karena kolonialisme. Dengan demikian, masa lalu kolonialisme
adalah racun yang menjadi embrio sakit lahir dan batin pada masyarakat
Indonesia.
Resep penyembuhannya harus dibuat dengan cara menolaknya dan menerapkan
demokrasi kearifan lokal. Perlu revolusi mental pejabat dan hibridasi politik
Indonesia. Ini menjadi penting karena kolonialisme adalah perbudakaan yang
hanya memperbudak rakyat di negeri sendiri.
Akibat sirkulasi negara pascakolonial, perbudakan selalu melahirkan
kemiskinan mental, karakter, sistem, dan tata nilai. Kita tentu bisa lihat,
para wakil rakyat saat ini miskin mental dan karakter. Mereka tidak memberi
contoh yang baik pada rakyat. Mereka selalu menyuguhkan citra buruk.
Salah satu ciri demokrasi kolonial adalah menyuburkan mental inlander,
miopik, dan individualis. George Mc Turnan Kahin (2013) menyatakan warisan
kolonial yang tumbuh subur di Indonesia adalah otoriter, praktik
ekonomi-politik individual, menguatnya feodalisme keningratan, kehilangan
orientasi, lalim, melawan rakyat, serta KKN.
Hal itu lahir dari pejabat dan wakil rakyat yang kolonial pula. Padahal
Indonesia memiliki sistem demokrasi Pancasila yang hebat dan memanusiakan.
Edward Said (1979) menjelaskan kolonialisasi adalah contoh paling nyata
kemunduran harga diri bangsa timur. Demokrasi Indonesia merupakan lahan subur
berkembangnya mental kolonial, terutama di lingkup wakil rakyat.
Dari keseluruhan proses yang telah dijalani dalam sistem demokrasi
Indonesia, baru Pileg dan Pilpres 2014 yang menjadi sorotan besar publik
domestik maupun luar negeri. Lebih parah lagi, anggota DPR dan DPD periode
2014-2019 yang baru dilantik mencontohkan karakter kolonial dan memalukan.
Bopeng
Wakil rakyat tak bisa lagi menjadi contoh masyarakat. Wajah parlemen
sudah bopeng. Wajah baru parlemen sekarang akan memperparah kebopengan itu.
Citra wakil rakyat makin terpuruk. Mereka tak akan mampu mengembalikan
kepercayaan publik yang telanjur menyusut. Citra tidak membaik, malah
sebaliknya. Semua itu tidak lain karena sistem demokrasi Indonesai masih
menyuburkan kolonialisme.
Tantangan utama DPR ke depan harus bekerja keras mengembalikan
kepercayaan publik. Namun semua itu dinodai proses pemilihan pimpinan DPR
yang ricuh dan kental dengan kepentingan kelompok tertentu. Ironisnya,
praktik transaksional masih terjadi di DPR. Hal itu merupakan paket pimpinan
DPR yang disikat habis Koalisi Merah Putih (KMP). Dari lima kursi pimpinan,
hanya satu kursi yang diduduki oleh politisi di luar KMP dari Fraksi Partai
Demokrat.
Jika awal pemilihan pimpinan parlemen transaksional, publik pasti
menilai wajah DPR tidak berubah. Keputusan-keputusan yang diambil DPR periode
ini akan dikeluarkan berdasarkan faktor untung-rugi kelompok dan partai
tertentu. Hal itu merupakan budaya politik kolonial yang harus dihentikan.
Indonesia sebenarnya memiliki kearifan politik dan demokrasi begitu
besar. Namun, karena pejabatnya dan wakil rakyatnya bermental kolonial,
mereka mengalami kegersangan rohani politik. Negara ini memiliki contoh
orang-orang hebat dan berkarakter seperti Soekarno, Moh Hatta, Sjahrir, Amir
Sjarifuddin, Muhamad Natsir, Wahid Hasyim, dan Ki Hadjar Dewantara. Maka,
tidak masuk akal jika pejabat negara ini bermental kolonial.
Logika yang berjalan dalam demokrasi saat ini adalah untung rugi, kalah
menang pribadi dan kelompok. Karakter mereka, menurut Yudi Latif (2014) belum
bisa menjadi “teladan” bagi masyarakat. Muatan politik balas dendam dalam
eskalasi politik 2014-2019 diprediksi makin berkecamuk. Ditambah kondisi DPR
yang labil dan tidak menjadi kutub kemajuan legislasi dan demokrasi.
Soekarno pernah berpesan siapa saja yang duduk di kursi pemerintahan
harus memiliki karakter bertanggung jawab. Ide pokoknya adalah kesatuan,
persatuan serta kesadaran pembentukan identitas bangsa (nations and character
building). Identitas bangsa harusnya toleran, demokratis, dan mengutamakan
kesejahteraan rakyat. Ini harus dimiliki pejabat.
Moh Hatta menjelaskan maju dan kemunduran negara ditentukan kekayaan
alam, posisi internasional, dan kecakapan rakyatnya. Lalu, mengapa Indonesia
masih berkembang? Ada satu syarat lagi, yaitu menolak warisan kolonial
(Sritua Arif, 2006: 17). Jika ingin maju, demokrasi dan mental kolonial harus
dikubur.
Pemenang dan oposisi, seharusnya sadar bahwa demokrasi dihadirkan untuk
mendewasakan politik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. DPR seharusnya
diisi orang-orang yang menjunjung tinggi cita-cita ideologi Pancasila dan
ajaran trisakti. Sayang isi DPR hanya orang-orang yang mengutamakan
kepentingan kelompok.
Praktik politik saat ini sangat tidak demokratis. Padahal syarat
perubahan adalah politik yang demokratis. Rizal Ramli (2008) menjelaskan,
perubahan untuk perbaikan nasib rakyat dan kejayaan Indonesia harus dilakukan
dalam bingkai demokratis. Jadi yang diperlukan bukan pemerintahan kuat ala
Orde Baru, tetapi efektif dalam konteks negara demokratis.
Praktik politik dan demokrasi harus berdaulat 100 persen. Secara
normatif dan formal, Indonesia mengaku sebagai negara berdaulat, tetapi
praktiknya hak-hak rakyat diinjak-injak. Tahun ini harus menjadi awal
kebangkitan kedaulatan rakyat.
Agar bisa menjalankan tugas maksimal, asketisme harus dimiliki wakil
rakyat. Mereka harus membuang hedonisme, karena bukan karakter Indonesia.
Wakil rakyat di semua lingkup harus prokebenaran dan kepentingan rakyat,
bukan demi individu dan partai.
Indonesia bisa jaya dengan merevolusi mental kolonial para wakil
rakyat. Rakyat, pers, MK, dan KPK harus mendukung pemerintah untuk menghadapi
dewan bila bermacam-macam. Semua dukungan itu harus suci dan lurus untuk
mengawal pemerintahan Jokowi-JK. Bangsa ini yakin Indonesia bisa bangkit di
tangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar