Setelah
DPR Menjagal Hak Rakyat
Abdul Wahid ; Mengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum
di Universitas Islam Malang
|
KORAN
JAKARTA, 09 Oktober 2014
Apa lagi langkah DPR setelah mengeliminasi hak politik rakyat dalam
pilkada? Proyek apa lagi yang akan dilakukan DPR setelah menggusur hak daulat
rakyat? Rakyat telah dikhianati sekelompok anggota Dewan. Komunitas elite
yang diberi kepercayaan mengayomi hak berpolitik rakyat telah menunjukkan
diri sebagai penjagal.
Pengkhianatan itu tampaknya akan berlanjut karena masih ada UU yang
tengah dibidik untuk dibonsai, terutama yang mengatur Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). UU KPK terancam diobrak-abrik Dewan lantaran sejumlah pemimpin
Dewan sekarang sedang atau akan bermasalah dengan KPK.
Meskipun ada saluran yudisial di Mahkamah Konstitusi (MK) yang bisa
digunakan, sejumlah pakar tidak sependapat dengan pemberangusan hak daulat
rakyat. Warga wajib bersuara lantang menolak. Masyarakat tidak boleh
mendiamkan pengeliminasian hak konstitusional berjaya, termasuk hak mendapat
keadilan dalam penanganan korupsi.
Albert Einstein pernah mengingatkan, ”Dunia menjadi semakin tidak aman
dan damai untuk dihuni. Ini bukan karena ulah para penjahat, tetapi akibat
sikap kita yang mendiamkan kejahatan berlangsung.”
Einstein mengajarkan konstruksi demokrasi tetap akan terjaga dengan
baik sepanjang rakyat tidak membiarkannya dikeroposi para penyelenggara
negara. Demokrasi dan keadilan hanya akan menjadi macan kertas manakala
kekuatan elite dibiarkan menjadi pemenang dan mengangkanginya.
”Kalau
orang kecil berdusta, tidak banyak mengandung racun bagi orang lain. Tapi
bila yang berdusta orang berpangkat atau berkedudukan, bisanya menjalar ke
mana-mana. Dia dapat menggerogoti dan merapuhkan negara, bahkan bisa membuat
negara tinggal jadi bayang-bayang,” demikian pernyataan Misbah
El-Huda (2010). Ini mengingatkan setiap elite bangsa supaya tidak berdusta
dan menebas pengkhianatan di mana-mana.
Dalam pengkhianatan. terkandung bisa yang menyakiti dan mematikan
bangsa. Siapa saja yang terjangkiti bisa bakal memunculkan petaka sosial yang
struktural. Berbagai bentuk praktik penyalahgunaan kekuasaan, seperti
korupsi, manipulasi, dan suap, merupakan deskripsi konkret malapraktik
jabatan. Ini bersumber dari pengkhianatan yang merajalela dan melahirkan
penjahat jabatan.
Kelompok DPR yang mengesahkan RUU Pilkada dan bernafsu mempreteli UU
KPK, yang bertujuan memberangus hak demokrasi dan keadilan, hanyalah pemain-pemain
sinetron. Dalam panggung sinetron, diatur sedemikian rupa akrobat rekayasa
yang mengesankan bahwa ucapan-ucapannya suatu kebenaran. Padahal yang
disampaikan, sejatinya, hanya permainan yang mengikuti arahan sutradara. Para
dalang sudah mengadakan kesepakatan dengan sesama Dewan untuk menjadikan
pengkhianatan sebagai opsi agar kepentingan individu, kelompok, dan partai
terwujud.
Itulah strategi yang hanya mengejar keuntungan sesaat. Suara Dewan
harus bisa mendatangkan pendapatan sebanyak-banyaknya, termasuk keuntungan
politik dan yuridis. Mereka tidak peduli menyalahgunakan kekuasaan.
Filsof Aristoteles sudah mengingatkan, semakin tinggi pemujaan manusia
pada uang, tambah rendahlah penghargaan insan pada nilai-nilai kesusilaan,
kepantasan, kebenaran, dan kejujuran. Ini menunjukkan bahwa maraknya korupsi
atau pemujaan uang secara ilegal merupakan bukti kemenangan pengkhianatan
yang telah melahirkan dan menyemaikan racun di mana-mana. Dewan tidak lagi
merasa bersalah untuk menjual, bahkan mematikan hak berpolitik rakyat.
Buta
Keadaban
Indonesia Corruption Watch pernah melaporkan anggota DPR menempati
urutan pertama tersangka korupsi. Kasus tersebut menunjukkan dosa yang
dilakukan Dewan dalam mengkhianati rakyat memalukan dan memilukan.
Kredibilitas yang diberikan rakyat telah dinodai. Mereka secara umum berasal
dari kalangan terpelajar, namun perbuatannya mencerminkan orang buta tatanan
masyarakat berkeadaban.
Tindakan Dewan telah mengakibatkan problem besar masyarakat. Tidak
sedikit uang rakyat yang semestinya untuk proyek-proyek pemberdayaan dan
pengentasan kemiskinan akhirnya mengalir ke tempat yang tidak seharusnya.
Kriminalisasi anggaran dilakukan dengan cara membonceng
kepentingan-kepentingan publik.
Tindakan Dewan dapat dikategorikan sejalan pikiran Nicollo Machiavelli
yang menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingannya. Mereka melupakan
kepentingan dan penderitaan rakyat.
Para koboi Senayan, dalam perjalanan perpolitikan, memang senantiasa
berpola-pola pengkhianatan. Mereka antara lain pernah mengkhianati bidang
hukum. Mantan Ketua MK, Mahfud MD, menamainya korupsi legislasi sebab Dewan
menerima usulan pembaruan hukum karena ada dana besar yang mengalir.
Membaca sepak terjang Dewan seperti itu, rakyat berkewajiban turun
gelanggang untuk melakukan protes. Demikian juga kelompok-kelompok yang
tergabung dalam LSM, ormas, keagamaan, mahasiswa, akademisi, dan media massa.
Rakyat tidak boleh menunggu sampai pemilu lagi dengan mengancam tidak
memberikan suara kepada anggota Dewan atau parpol yang merestui RUU Pilkada.
Warga harus bergerak sekarang juga dengan berbagai cara, seperti melancarkan
gugatan, selebaran, dan “curhat” secara terus-menerus di media sosial tentang
bentuk-bentuk pengkhiatan atau kejahatan yang dilakukan Dewan.
Masyarakat dengan berbagai cara harus merebut kembali hak-hak yang
telah dikangkangi DPR. Jangan biarkan hak diberangus hanya untuk kepentingan
sesaat segelintir Dewan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar