UU
Mati, Perppu Tak Hidup
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 11 Oktober 2014
Akun Twitter saya @mohmahfudmd dibanjiri pertanyaan: Benarkah jika
Perppu No. 1 Tahun 2014 ditolak oleh DPR bisa menimbulkan kekosongan hukum
dalam mekanisme pemilihan kepala daerah? Karena tak mungkin menjawab itu
melalui Twitter, saya tulis pokok-pokok analisisnya melalui Kolom ini.
Menurut Pasal 22 UUD 1945 jika terjadi keadaan genting dan memaksa
Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang
(Perppu). Perppu adalah satu bentuk peraturan perundang- undangan yang
hierarkinya sejajar dengan UU. Alasan genting dan memaksa merupakan hak
subjektif Presiden, ditentukan sendiri oleh Presiden tanpa ukuran objektif
yang ditentukan di dalam UU. Tetapi melalui putusan No..... Mahkamah
Konstitusi menentukan tiga rambu alasan untuk dikeluarkannya sebuah Perppu
dengan alasan genting dan memaksa: (1) Karena kekosongan hukum atau tidak
adanya UU yang mengatur tentang hal yang harus segera diselesaikan berdasar
UU;
(2) UU yang ada tidak dapat dipergunakan; (3) Situasi atau waktu sangat
mendesak sehingga tidak memungkinkan untuk dibuat UU secara norma. Karena hierarkinya
sejajar dengan UU padahal hanya dibuat sendiri oleh Presiden, masa berlakunya
Perppu terbatas hanya sampai pada masa sidang DPR berikutnya. Pada masa
sidang berikut itu DPR harus melakukan political
review atau legislative review
atas Perppu tersebut, apakah akan disetujui atau akan ditolak. Jika Perppu
itu disetujui oleh DPR maka ia menjadi UU tetapi jika DPR menolak Perppu
tersebut maka ia dinyatakan tidak berlaku.
Perppu No 1 Tahun 2014 lahir bukan karena kekosongan hukum, melainkan
mengosongkan hukum yang sudah ada dulu (mencabut UU Pilkada) untuk kemudian
baru mengisinya dengan Perppu. Hal ini secara yuridis bisa menimbulkan
problem kekosongan hukum jika ternyata DPR kelak menolak Perppu tersebut.
Sebab pada saat dikeluarkan Perppu itu berlaku secara sah dan dengan itu
secara sah pula mencabut keberlakuan UU No. 22 Tahun 2014. Maka itu jika DPR
kelak menolak Perppu tersebut bisa terjadi kekosongan hukum karena UU No. 22
Tahun 2014 sudah dimatikan (dicabut), sedangkan Perppu yang menggantikannya
tak bisa dihidupkan karena ditolak DPR.
Ada yang mengatakan, jika DPR menolak Perppu tersebut maka UU yang
sudah dimatikannya otomatis hidup kembali. Pandangan ini bisa benar dalam
bidang hukum perdata, tetapi menurut saya kurang tepat kalau diberlakukan
untuk hukum tata negara. Perppu yang direviu di DPR itu bukan tidak sah,
melainkan ditolak untuk dijadikan UU. Adapun sebelum ditolak ia berlaku
secara sah sehingga sah pula saat mencabut UU No. 22 Tahun 2014. Harus
diingat, keputusan DPR dalam mereviu Perppu hanya berisi menerima atau
menolak, tak bisa menolak sebagian, menerima sebagian atau menerima dengan
perbaikan.
Untuk memberlakukan lagi sebuah UU pun DPR harus melalui pembahasan
lagi dari awal, melalui kesepakatan politik, memasukkannya ke dalam
Prolegnas, dan membahas sesuai dengan tahapantahapan yang tersedia. Memang
baru pertama ini sebuah Perppu langsung mencabut sebuah UU yang mengatur
masalah-masalah rutin yang masih eksis, sehingga membuka risiko terjadinya
kekosongan hukum jika Perppu tersebut ditolak oleh DPR. Maka itu, untuk
jangka panjang, perlu penyediaan instrumen hukum untuk mengantisipasinya.
Ada yang mencontohkan bahwa MK sudah pernah membuat putusan
menghidupkan lagi UU Ketenagalistrikan setelah terlebih dulu MK menyatakan
batal UU Ketenagalistrikan yang baru. Ini tentu hal yang berbeda sebab yang
dilakukan MK adalah proses yudikatif, bukan legislatif seperti di DPR dalam
melakukan reviu atas Perppu. Sebagai lembaga peradilan, demi kemanfaatan
hukum, MK bisa saja memutus hal seperti itu. Di dalam proses peradilan memang
ada istilah membatalkan (ex nunc)
dan istilah menyatakan batal (ex tunc).
Kalau menyatakan membatalkan maka putusan itu bersifat prospektif
(berlaku ke depan sejak diputus), tetapi kalau menyatakan batal maka putusan
itu berlaku retroaktif (berlaku ke belakang sejak ditetapkan) sehingga
peraturan/ keputusan yang disengketakan dianggap tidak pernah ada dan
keputusan/ peraturan yang lama bisa dihidupkan lagi melalui amar putusan. Itu
tergantung pada bagaimana pilihan vonis pengadilan, apakah mau memalakan atau
menyatakan batal. Tetapi yang kita bicarakan tentang sudah matinya UU dan tak
bisa hidupnya Perppu ini adalah dalam konteks political/legislative
review di DPR, bukan judicial
review.
Kemungkinan terjadinya kekosongan hukum tentang Pilkada karena UU sudah
mati dan pilkada tak bisa hidup itu untuk perkembangan politik terbaru sekarang
ini memang lebih mungkin tidak terjadi. Sebab sejak keluarnya Perppu
tersebut, parpol-parpol yang kemarin getol memperjuangkan dan memenangkan
pemilihan melalui DPRD tampaknya tidak menolak; bahkan banyak yang
mengisyaratkan akan menerimanya. Tetapi hal tersebut tetap penting
didiskusikan secara akademis untuk mengantisipasi masalah yang mungkin, suatu
saat, tiba-tiba muncul sehingga perlu instrumen hukum. Di dalam UU tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, misalnya, perlu dicantumkan larangan
Perppu langsung mencabut UU melainkan hanya boleh menangguhkan berlaku UU
sampai selesainya pembahasaan atau pengujian Perppu tersebut oleh DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar