Dari
Mesjid?
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 12 Oktober 2014
Pada suatu Minggu pagi seperti biasa saya berjalan pulang ke rumah saya
di Kompleks UI Ciputat dari acara rutin pengajian bakda subuh mingguan di
Masjid Al-Irfan di kompleks perumahan saya itu. Namanya pulang dari masjid,
tentunya saya berkain sarung, berkopiah, dan berkemeja lengan panjang seperti
bapak-bapak lain di kompleks itu kalau salat jamaah ke masjid.
Sambil berjalan santai menikmati udara pagi yang segar saya
memperhatikan seorang mbak (panggilan orang Jakarta untuk profesi asisten
rumah tangga alias pembantu) yang sedang menyapu jalanan di depan rumah bos
nya beberapa rumah sebelum rumah saya. Dia melihat saya dan dengan tersenyum
ramah bertanya, ”Dari masjid, Pak?” ”Astaga...” pikir saya dalam hati, ”Mbak
ini apa enggak lihat saya pakai sarung dan kopiah? Kan jelas bukan dari
berenang di pantai? Ya, jelas dari masjid lah? Sungguh pertanyaan yang
sia-sia, enggak berguna, enggak efektif, dan enggak efisien”.
Tetapi, untuk tidak menyinggung dia, saya menjawab pertanyaan mbak itu,
”Iya, Mbak! Sedang nyapu ya Mbak?” Pertanyaan balik yang sama begonya, tetapi
keluar dari mulut seorang profesor senior UI. Walaupun bego, sapa-menyapa
yang enggak jelas seperti itu menjadi ciri dari masyarakat yang berciri guyub (bahasa Jawa, artinya akrab,
informal) yang banyak terjadi di masyarakat tradisional atau masyarakat
pedesaan.
Karena itu, kalau kita pergi ke kota-kota kecil atau desa-desa di Jawa
Tengah, DIY, atau Jawa Timur, sering kita dengar pertanyaan-pertanyaan yang
buat orang kota besar seperti Jakarta adalah pertanyaan yang tak berguna misalnya
”Habis memborong, ya Bu?”(padahal jelas ibu itu membawa banyak bungkusan
pulang dari pasar) dan jawabannya juga lebih jelas lagi, ”Enggak kok Bu. Ini
titipan orang,” (selalu ngeles, padahal memang dia baru belanja karena mau
masak buat keluarganya).
Atau ”Mau ke mana Pak?” (siapa dia, ada urusan apa, kok tanya-tanya?),
jawabnya pun asal saja, ”Enggak... mau ke situ sebentar,” (selalu diawali
dengan ”enggak” dan enggak jelas juga yang di maksud ”situ” itu mana?).
Pertanyaan dan jawaban seperti itu dalam situasi-situasi sosial di
masyarakat paguyuban (istilah ini sudah menjadi istilah antropologi dan
sosiologi yang artinya ”kekeluargaan, informal, komunal”) adalah hal yang
biasa. Secara harfiah dan logika memang tidak ada maknanya. Tetapi, secara
sosial-psikologis, tanya-jawab singkat itu ekspresi dari silaturahmi, saling
menghormati dan saling menghargai (dalam bahasa Jawa: nguwongke) antardua pihak. Saling tanya-jawab itu bentuk saling
sapa yang merupakan perwujudan dari sopan santun untuk menjaga agar
masyarakat tetap guyub, akrab, akur selamanya.
Dalam masyarakat kota besar, masyarakat industri, masyarakat modern
yang bersifat patembayan (formal, individualistik) suasana batinnya lebih
rasional, tidak terlalu peka dari segi perasaan, lebih tak acuh, setiap orang
ikuti jalannya masing-masing, dan baru bertegur sapa kalau ada kepentingan-kepentingan
yang saling bertemu, bisa secara positif (koordinatif, kerja sama, kongsi,
dan sebagainya), maupun secara negatif (konflik, persaingan, dan sebagainya).
Kendati demikian, di dalam bahasa Inggris tetap ada ungkapan sapaan
yang sebetulnya juga tidak bermanfaat kecuali sebagai saling sapa saja misalnya
”Hi, how are you doing?” yang dalam
bahasa Indonesianya ”Hai, apa kabar?”
Pertanyaan seperti ini sebetulnya tidak memerlukan jawaban. Mau kabar baik
atau kabar jelek memangnya masalah buat lo? Tetapi, demi sopan santun,
jawaban kita kalau ditanya seperti itu hampir selalu positif seperti ”Kabar baik”, ”I am OK, thank you !”,
kecuali kalau yang bertanya orang yang dekat dengan kita dan kita memang
bermaksud untuk curhat.
Maka itu, pertanyaan sapaan itu bisa dijawab dengan curhat yang
berkepanjangan. Jadi dalam masyarakat patembayan pun ada sisi-sisi sopan
santun untuk saling menjaga perasaan, saling menghormati dan menghargai, agar
semua sama-sama senang dan tenang.
Dalam Islam ada kalimatkalimat untuk saling sapa yang bukan sekadar
kalimat-kalimat tak bermakna, tak berujung pangkal dan tak berguna, melainkan
penuh dengan makna yaitu ”Assalamu’alaikum
wa rahmatullahi wa barakatuh” dan yang dijawab dengan ”Wa ’alaikum salam wa rahmatullahi wa
barakatuh” yang artinya adalah ”Salam,
semoga Allah merahmati dan memberkahi Anda”, yang dijawab dengan ”Salam kembali, semoga Allah juga merahmati
dan memberkahi Anda”.
Luar biasa sekali bukan? Jauh lebih bermakna daripada ”Dari masjid,
Pak?” atau ”Hi, how are you doing?” atau ”Apa kabar?”, yang kalau kita lagi
suntuk bisa kita jawab, ”Auk ah, gelap!”. Sayang sekali, sapaan yang bermakna
saling doa itu, yang sekarang diucapkan oleh setiap orang, dalam hampir
setiap kesempatan (dalam satu kali pertemuan bisa puluhan kali diucapkan,
karena setiap orang mengucapkannya kalau mau mulai bicara, padahal seharusnya
cukup sekali saja diucapkan oleh MC atau pimpinan pertemuan dan sekali juga
dijawab oleh hadirin), bahkan teman-teman yang nonmuslim pun sudah fasih
melafalkannya. Artinya, salam cara Islam itu sudah membudaya dalam masyarakat
kita. Namun, salam yang penuh doa itu tidak berpengaruh apa-apa pada
masyarakat.
Konflik antarkelompok, antarparpol, anak membunuh orang tua, tawuran
karena berebut lahan parkir atau berebut pacar, suami KDRT istri, ibu KDRT
anak, birokrat dan anggota legislatif mencuri uang rakyat, dan lainnya
berlangsung terus-menerus. Tidak ada hentinya. Di Timur Tengah bahkan meletus
perang saudara yang dahsyat dan berlarut-larut, lengkap dengan acara potong
kepala, yang di Kalimantan Barat, Indonesia juga pernah terjadi ketika Melayu
dan Dayak memerangi Madura. Tidak ada manfaatnya ber-assalamu’alaikum kalau hanya penghias bibir, tidak diresapkan di
hati nurani dan keluar lagi dari hati nurani. Lebih baik ber-”Apa kabar?” saja atau ”Dari masjid, ya Pak?”, tetapi
betul-betul merupakan perwujudan silaturahmi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar