Reorientasi
Polugri : “Back to Basic”
Dian Wirengjurit ; Duta Besar RI untuk Iran
|
KOMPAS,
12 Oktober 2014
MENCERMATI dinamika dunia internasional dewasa ini, tampaknya sudah waktunya
politik luar negeri atau polugri Indonesia disesuaikan kalau tidak dirombak
sama sekali. Sudah waktunya polugri yang mengedepankan pencitraan dan
slogan-slogan idealistis ditinggalkan. Polugri Indonesia perlu diarahkan pada
pencapaian nyata berdasarkan pendekatan yang realistis, rasional, dan
pragmatis.
Tak ada gunanya lagi menganggap diri besar, strategis, dan penting jika
dalam kenyataannya kita hanya besar secara fisik, tetapi tak mampu
memanfaatkan posisi geografis untuk menjadi hub. Apalagi masih tetap bisa
dilecehkan oleh negara tetangga yang tidak besar, tidak strategis, dan tidak
penting.
Tidak juga ada manfaatnya berpartisipasi dalam ingar-bingar hubungan
internasional kalau kenyataannya kita tak kuat secara militer atau ekonomi,
apalagi menjadi negara yang bergantung.
Memakai proposisi realismenya SM Walt (1998), politik internasional
senantiasa diwarnai persaingan antarnegara untuk mendapatkan kekuasaan dan
keamanan. Dalam konfigurasi ini, instrumen utama kebijakan luar negeri akan
mengandalkan kekuatan militer dan ekonomi.
Jika Harold Lasswell mengatakan, politik adalah masalah who gets what,
when and how, politik luar negeri, demikian pula. Polugri tak statis, tetapi
dinamis dan senantiasa berkembang, dan harus mampu beradaptasi dengan
kecenderungan internasional, termasuk globalisasi, demokratisasi, good
governance, transnational crimes, lingkungan hidup, pasar bebas,
multipolarisme, dan interdependensi.
Polugri tak lagi hanya berdasarkan prinsip mutual respect dan mutual
benefit, tetapi juga lebih penting pada equal footing dan unconditionality.
Selain itu, prinsip dasar ”tidak ada kawan abadi selain kepentingan nasional”
juga harus ditegakkan kembali. Demikian juga prinsip trust no one, yang dalam
bahasa gaul sering dikatakan ”temen ya temen, tapi curiga jalan terus”.
Dengan demikian, polugri sewajarnya mempunyai visi dihormati dan
disegani, sementara misinya kembali pada Tri Sakti-nya Bung Karno.
Berdasarkan preposisi Walt dan pandangan Lasswell itu, pelaksanaan
polugri Indonesia tak perlu mengandalkan kekuatan militer, tetapi lebih wajar
menggunakan potensi ekonomi. Artinya, tujuan polugri lebih penting menjadi
kekuatan ekonomi.
Dengan menjadi kekuatan ekonomi, pengakuan akan kebesaran dan
pentingnya Indonesia akan datang dengan sendirinya. Seperti kata Hubert H
Humphrey (1911-1978), ”Foreign policy is really domestic policy with its hat
on.”
Dengan pemahaman ini, aparat pelaksana polugri, yaitu kementerian luar
negeri dan diplomatnya, saatnya memusatkan perhatian pada diplomasi ekonomi,
serta dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan di bidang ini. Sudah waktunya
perwakilan RI dijadikan Indonesia Inc dan kepala perwakilannya berfungsi
sebagai CEO.
Konsekuensinya, jika selama ini hiruk-pikuk polugri lebih banyak
dilakukan dalam kerangka multilateral (PBB, GNB, OKI, APEC, dan ASEAN), kini
sudah waktunya lebih diarahkan pada diplomasi bilateral.
Diplomasi bilateral jelas lebih mencapai hasil yang nyata, sementara
multilateralisme lebih merupakan upaya melukis langit atau mengukir laut.
Multilateralisme masih tetap diperlukan berdasarkan asas prioritas. Artinya,
kita tak mesti aktif di semua organisasi internasional, kecuali kita
mendapatkan sesuatu yang nyata, terutama dalam pembangunan ekonomi.
Konsekuensi lanjutannya, harus ada perombakan di kemlu, baik struktur
maupun nomenklaturnya. Selama ini posisi penting, dari tingkat menteri,
eselon I , hingga eselon II, yang strategis senantiasa dijabat diplomat
”jebolan” multilateral; demikian pula jabatan kepala perwakilan besar/penting
( D-1), seperti Washington, London, dan Paris.
Sementara posisi yang kurang prestisius baru diberikan kepada ”jebolan
bilateral”.
Dalam kaitan ini, lingkaran konsentrik yang menempatkan organisasi
internasional (PBB, GNB, ASEAN, dan APEC) sebagai pusat diganti dengan
negara, berdasarkan kepentingan dan potensi ekonominya.
Untuk itu sudah waktunya dibuat pemetaan negara-negara yang menjadi
prioritas berdasarkan potensi keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh. Sudah
seharusnya pula diplomat Indonesia lebih dibekali dengan kemampuan manajemen
dan pemasaran sehingga berorientasi ”mencari untung” dan tidak hanya
menjalankan tugas rutin.
Meski demikian, upaya menjadikan perwakilan Indonesia sebagai Indonesia
Inc tak akan berhasil tanpa dukungan dana dan kerja sama dengan lembaga lain.
Selama ini kemlu dianggap sebagai lembaga yang eksklusif dan elite, yang
menjadikannya terkucil dan dijauhi, khususnya oleh DPR dan kementerian
keuangan, sehingga anggaran kemlu dari tahun ke tahun semakin tak memadai.
Back to basic dalam kebijakan dan pelaksanaan polugri ini sama sekali
bukan langkah mundur. Back to basic harus dilihat sebagai upaya menata
kembali polugri agar kembali pada jalurnya dalam mencapai tujuan yang lebih
nyata. Mundur selangkah, tetapi kemudian maju beberapa langkah, tetap jauh
lebih baik daripada jalan di tempat, atau berpura-pura melangkah maju,
apalagi kalau ternyata memang mundur!
Pada akhirnya, kebesaran, kestrategisan, dan pentingnya Indonesia tak
akan bisa dicapai melalui gegap gempita konferensi internasional. Sebaliknya,
menjadikan Indonesia kuat secara ekonomi dengan sendirinya akan mendatangkan
pengakuan.
Henry Kissinger mengatakan, ”No foreign policy—no matter how
ingenious—has any chance of success if it is born in the minds of a few and carried
in the hearts of none.” Diplomasi bilateral harus menjadi ujung tombak
polugri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar