Komedi
Goenawan Mohamad ; Esais Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
KOMPAS,
13 Oktober 2014
1918,
November, Volksraad dibentuk. Pemerintah kolonial Belanda mengumumkan sebuah
janji untuk rakyat jajahan, bahwa dengan "dewan [perwakilan]
rakyat" itu proses demokratisasi akan terjadi. Tapi "janji
November" itu tak terpenuhi: Volksraad ternyata tak bisa menampung, atau
mewakili, apa yang hendak disuarakan rakyat. Para anggotanya ramai berdebat,
tapi tak banyak yang punya dampak ke dalam kehidupan volks, orang banyak di
luar gedung. Maka, dengan sarkasme yang cerdas, Haji Agus Salim mengejeknya
sebagai sebuah "komedi omong".
Tentu
tak seluruhnya tepat. "Komedi" mengandung humor, sedangkan
kata-kata yang diutarakan di Volksraad umumnya seperti lucu dan orang
tertawa pahit karena yang terdengar hanya sebuah kegaduhan drum kaleng yang
tanpa isi.
Tapi
agaknya bukan hanya di Volksraad. Setelah kemerdekaan, di masa tahun 1950-an,
ketika Indonesia sebuah "demokrasi parlementer", para anggota
parlemen tak pernah berhenti diejek media. Tampaknya selalu ada persoalan
dengan pengertian "wakil" dan "perwakilan".
"Wakil"
ada ketika subyek yang harus berfungsi tak ada, atau sedang tak hadir. Dalam
sebuah masyarakat seperti Indonesia, mustahil rakyat hadir “serentak” maka
diasumsikanlah bahwa rakyat harus punya wakil. Kedaulatan rakyat dalam
prakteknya pun menjadi kedaulatan wakil mereka.
Tapi
sebuah ilusi untuk menganggap bahwa antara wakil dan yang diwakili tak dengan
segera terjadi “jarak” bahkan hubungan yang mencong.
Kedaulatan
rakyat, yang dikukuhkan dalam ide demokrasi dari zaman ke zaman, adalah sebuah
kerinduan akan keadilan, yakni keadilan yang dimanifestasikan dalam
kesetaraan. Inilah motif besar di balik pelbagai revolusi. Tapi ketika
revolusi tak lagi bisa hanya merupakan gerakan politik rakyat dan sebuah
lapisan kaum revolusioner khusus bekerja mewakili mereka seperti para anggota
Partai Bolsyewik dalam Revolusi Rusia, seperti para anggota kelompok Jakobin
dalam Revolusi Prancis kedaulatan punya tempat yang lain. Maka politik,
sebagai gerak dan gelora di kalangan rakyat yang semula jadi kekuatan
Revolusi berhenti. Suara yang plural dan hidup digantikan apa yang oleh
Hannah Arendt dalam On Revolution dianggap sebagai "politik semu"
di kancah partai-partai.
Di
negeri-negeri lain yang telah mapan dan tak lagi bergerak oleh politik kalangan
bawah, "politik semu" itu yang tak jauh berbeda dengan "komedi
omong" juga yang berlangsung. Konstitusi negeri-negeri ini menjamin
kesetaraan, tapi pada hakikatnya itu sebuah kesetaraan yang diberikan dari
sebuah "politik semu".
Itu
berarti keadilan dirumuskan dalam proses politik yang maknanya terjadi
melalui transaksi kekuasaan. Rumus "keadilan" itulah yang disebut
"hukum", dan dengan langsung atau berangsur-angsur orang ramai pun
menerima melalui bujukan, tekanan, atau ancaman rumusan "keadilan"
yang membuat orang banyak pasif itu.
Saya
teringat cerita Kafka itu lagi: seseorang dari pedalaman datang ke sebuah
pintu gerbang berpenjaga untuk menemui Hukum. Ia tak kunjung bisa masuk.
Bertahun-tahun ia menunggu di depan pintu gerbang itu, hingga akhirnya
meninggal.
Ada
semacam tragi-komedi dalam cerita ini. Kisah Kafka selalu ganjil. Ada sejenak
kita ingin tersenyum. Ada saat lain kita merasa sedih atau ngeri.
Demikianlah
orang yang malang itu menyangka bahwa Hukum begitu penting. Barangkali ia
salah menyangka bahwa yang tersembunyi di balik pintu itu adalah Keadilan, sesuatu
yang pantas dijelang dari jauh, dari pedalaman. Salah sangka yang besar dan
tragis.
Yang
juga tragis adalah "menantikan". Orang itu duduk saja, atau ia
sesekali bertanya kepada penjaga pintu. Ia tak menerobos. Setelah beberapa
lama menanti, ia juga tak pergi. Ia tak hendak meninggalkan tempat itu dan
mencari pintu lain. Ia tak tahu bahwa Hukum, yang dirumuskan untuk dia dalam
sebuah proses "politik semu" di atas sana, tak layak dinantikan
sampai mati. Ia tak hendak menjebol Hukum itu dan memulai satu proses politik
yang sebenarnya, politik yang melibatkan dan menumbuhkan dirinya dalam daya,
atau kuasa, dan cita-cita.
Mungkin
seperti banyak orang lain di antara kita, ia tak tahu ia bisa merdeka untuk
keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar