Mengurai
Penyebab Korupsi
R Widyopramono ; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus)
Kejakgung
|
SUARA
MERDEKA, 29 September 2014
KORUPSI sudah lama mendera negeri ini dan saat ini rasanya hampir
menyentuh semua lini kehidupan masyarakat, dalam rupa yang lebih rumit dan
bermodus baru. Realitas itu menjadi salah satu penyebab sulitnya memberantas
tindak pidana tersebut.
Sepertinya, korupsi sudah sampai pada tahap yang disebut oleh Robert
Klitgaard sebagai “budaya korupsi”. Tentu yang dimaksud bukan hakikat
keberadaan ‘’budaya’’itu, atau semua orang Indonesia korupsi sehingga sulit
diperangi dengan cara apa pun.
Pasalnya, kadang situasi kondusif justru menjadikan korupsi itu merasa
‘’nyaman’’hadir di tengah masyarakat karena sudah menjadi bagian dari
kehidupan sehingga dianggap biasa. Semisal seseorang merasa biasa, bahkan
mengharuskan dirinya memberi uang pelicin atau diistilahkan uang rokok, atau
dalam wujud lain, guna mempermudah suatu urusan.
Termasuk apatisme atau keengganan masyarakat untuk melapor bila ada
pejabat negara, birokrat, konglomerat, dan aparat hukum yang korupsi. Apabila
masyarakat tahu dan melihat korupsi namun tidak berdaya mengatasi maka hal
itu bisa dilihat sebagai îfenomenaî, yang kemungkinan besar tidak mereka
sadari.
Untuk membedah penyebab atau causa tindak pidana korupsi perlu mengkaji
faktor yang menstimulus dan melatarbelakangi. Misal korupsi yang berkait
pengelolaan keuangan negara maka aspek organisasi paling dominan menjadi
penyebab, di samping peraturan yang ambigu dan kesejahteraan yang belum
memadai.
Faktor lain adalah lemahnya pengawasan dan kurang adanya teladan dari
pimpinan. Kelemahan sistem pengendalian manajemen, tidak sekadar memberi
peluang, bahkan cenderung menjadi kultur dalam menutupi korupsi pada suatu
organisasi.
Penyimpangan keuangan negara seringkali terjadi pada saat persiapan,
perencanaan, pembentukan, ataupun pelaksanaan suatu anggaran keuangan negara
atau pemda, yang biasanya termuat dalam APBN- /APBD. Yang lebih memalukan,
perbuatan itu relatif banyak dilakukan oleh aparatur pemerintahan/PNS yang
seharusnya menjadi anutan.
Perbuatan korupsi, menurut Sheldon S Steinberg dan David TAustern,
merupakan bagian dari tingkah laku yang dilakukan oleh oknum pegawai
pemerintahan ataupun orang lain dengan alasan berbeda-beda. Adapun tujuannya
sama, yaitu perbuatan tidak etis yang bisa merusak sendi-sendi pemerintahan
yang baik.
Dari beberapa faktor penyebab korupsi, terbukti peran manusia sangat
dominan dalam menciptakan kesempatan yang menyebabkan korupsi tumbuh subur.
Hal ini membuktikan bahwa penanggulangan dan pemberantasan korupsi tidak
hanya bergantung pada regulasi tapi juga butuh dukungan seluruh lapisan
masyarakat untuk tidak lagi bersikap permisif.
Tindakan
Pencekalan
Tak sedikit kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka
penanggulangan dan memberantas korupsi, termasuk mengoptimalkan upaya
penyidikan dan penuntutan untuk menghukum pelaku sekaligus menyelamatkan uang
negara.
Selain itu, meningkatkan kerja sama dengan Polri, BPKP, PPATK, dan
sebagainya. Upaya memacu kinerja jajaran kejaksaan dalam memberantas korupsi
antara lain dilakukan dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor
SE-007/A/J.A/11/2004 tanggal 26 November 2004 tentang Peningkatan Penanganan
Perkara Tipikor.
Jaksa agung menginstruksikan supaya semua penyidikan korupsi yang
ditangani kejati dan kejari tuntas dalam 3 bulan, serta mengutamakan
penyelesaian kasus korupsi yang menarik perhatian publik dengan mengupayakan
rampung dalam waktu sebulan.
Terhadap seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka atau
terdakwa berkait perkara tipikor, sesegera mungkin dicekal supaya ia tidak
bisa melarikan diri ke luar negeri. Semua kejati dan kejari pun diperintah
untuk tidak ragu-ragu menuntut hukuman tinggi terhadap pelaku tindak pidana
korupsi. Bahkan bila perlu secara kasuistis menuntut dengan hukuman mati.
Selanjutnya, untuk lebih meningkatkan upaya percepatan pemberantasan
tindak pidana korupsi, presiden mengeluarkan Keputusan Nomor 11 Tahun 2005
tanggal 2 Mei 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tiipikor. Kebijakan
yang ditetapkan ini, sebagai upaya meningkatkan kerja sama dan koordinasi
antara Kejaksaan dan Polri, BPK, dan BPKP.
Tim yang dibentuk dengan keputusan presiden disebut Tim Tastipikor,
terdiri dari unsur Kejaksaan, Polri, dan BPKP serta diketuai oleh Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), yang melaksanakan tugasnya sesuai
dengan fungsi dan wewenang masing-masing serta bertanggung jawab langsung
kepada presiden.
Penanggulangan tindak pidana korupsi harus ditempuh dengan kebijakan
integralsistemik, yaitu ada keterpaduan antara kebijakan penanggulangan
kejahatan dan keseluruhan kebijakan pembangunan sistem ipoleksosbud.
Tak hanya melalui upaya represif dengan penerapan regulasi hukum pidana
berikut sanksinya tapi juga lewat cara lain, seperti upaya preventif dan
edukatif dengan penerapan saling terkait. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar