Membangun
Stabilitas Pemerintahan
Moch Nurhasim ; Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 10 Oktober 2014
Hasil pemilihan paket pimpinan DPR dan MPR makin mengukuhkan dominasi
Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen. Walaupun saat pemilihan paket Pimpinan
MPR, KMP tidak solid dengan menyeberangnya Partai Pembangunan Indonesia (PPP)
ke kubu PDIP, secara umum KMP telah menjadi kekuatan buldoser di DPR dan MPR.
Peta kekuatan politik di DPR yang tidak imbang, akan terus menyulitkan
partai koalisi pemerintah. Pascapemilihan pimpinan MPR, koalisi pemerintah
yang awalnya hanya memiliki 37% dukungan, dengan masuknya PPP, jumlah
dukungannya agak “relatif” meningkat menjadi 44%. Walau ada peningkatan,
masuknya PPP belum sepenuhnya menjadi isyarat bahwa PPP akan seterusnya
mendukung koalisi pemerintah. Sementara itu, kekuatan KMP minus PPP tetap
saja menakutkan.
Di atas kertas, KMP tetap dominan di DPR walau ditinggalkan PPP dengan
dukungan suara 55%. Pascapemilihan pimpinan MPR, posisi “penyeimbang” yang
awalnya diperankan oleh Partai Demokrat (PD), kini diperankan oleh PPP.
Posisi politik PPP relatif mengambang kalau tidak dapat disebut mengalami
“kesulitan,” antara menjadi anggota koalisi pemerintah atau tetap menjadi
bagian dari koalisi oposisi (KMP). Secara riil politik, perkembangan politik
parlemen di atas juga menggambarkan lemahnya benteng KIH, koalisi pendukung pemerintah.
Kekalahan untuk ke sekian kali (5-0) KIH dari KMP di parlemen dapat
ditafsirkan sebagai rapuhnya benteng politik presiden terpilih, Joko
Widodo-Jusuf Kalla. Dalam diskursus presidensialisme, kecilnya dukungan
politik parlemen kepada presiden dan kuatnya oposisi dapat menimbulkan
ketimpangan demokrasi presidensialisme. Ketimpangan kekuatan di parlemen
selain menyulitkan presiden, juga akan menimbulkan kepincangan mekanisme checks and balances antara DPR dengan
presiden.
Secara konseptual, presidensialisme mendudukkan posisi presiden dan
parlemen sama-sama kuat, karena keduanya mendapat legitimasi dari pemilihan
umum secara langsung. Walau secara konseptual seperti itu, dinamika politik
yang beku antara presiden dengan DPR dapat memicu terjadinya kebuntuan
politik yang panjang. Kebuntuan politik adalah suatu kondisi di mana
kebijakankebijakan pemerintah (presiden) digantung atau diambangkan
olehparlemen. Dalam sistem presidensialisme, tanpa dukungan DPR, presiden
nyaris tidak akan efektif dapat menjalankan pemerintahannya. Checks and balances tidak mungkin
dapat seimbang.
Contoh paling akurat dari peristiwa itu dapat dilihat dari peristiwa shutdown Amerika, ketikarancangan
kebijakan keuangan Presiden Obama ditolak oleh parlemen, karena berubahnya
perimbangan kekuatan Partai Republik atas Partai demokrat. Gejala serupa
dapat saja terjadi pada praktik presidensialisme di Indonesia, manakala
kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi-JK terus ditolak oleh parlemen. Kebuntuan
politik (dead lock) antara lain
diakibatkan oleh lemahnya posisi presiden (eksekutif) di hadapan legislatif
(DPR).
Posisi presiden yang lemah di parlemen tidak bisa dinafikan atau
dibiarkan dengan cara yang penting presiden bekerja dan bekerja. Cara
presiden tersebut tidak akan mengubah keadaan, karena bekerjanya sistem
presidensialisme memerlukan hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam
membuat fondasi kebijakan pemerintahan. Solusi yang penting kerja dan kerja
adalah gagasan yang keliru, karena situasi itu akan menyebabkan pemerintahan
berjalan sendiri tanpa memedulikan fungsi dan peran legislatif.
Memahami presidensialisme dengan cara demikian, justru akan menimbulkan
keguncanganpolitikyang tidak berujung, yang pada akhirnya dapat menimbulkan
kelumpuhankelembagaanantaralegislatif dan eksekutif. Dalam konteks Indonesia,
efek dari ketimpangan kekuatan politikkoalisipemerintahversus oposisi, akan
membelenggu kinerja Jokowi-JK. Kehendak Jokowi-JK yang ingin menciptakan
pemerintahan yang efektif, sebuah pemerintahan presidensial yang dapat
bekerja dan memerintah, belum sepenuhnya aman. Keinginan tersebut dapat
berbalik menjadi kesulitan-kesulitan yang tak dapat dikendalikan.
Jangan dilupakan bahwa presidensialisme juga mensyaratkan bahwa
presiden perlu memperoleh jaminan dukungan di DPR. Selainitu, syarat
kemampuan presiden dalam mengendalikan koalisi serta oposisi merupakan syarat
awal kalau pemerintahan ingin dapat berfungsi secara maksimal. Pengendalian
koalisi merupakan titik kunci dari stabilitas pemerintahan yang dibangun.
Tidak ada rumus baku atau akademik mengenai hal itu. Pengalaman politik
seorang presiden terpilih akan menentukan apakah gerbong koalisi tetap utuh
ataukah akan tercerai berai.
Sebaliknya, pengendalian pemerintahan dari gangguan oposisi memerlukan
kepiawaian dalam menjalankan seni pemerintahan presidensialisme oleh
presiden. Cara membiarkan yang penting bekerja bukanlah rumus yang pernah
diajarkan sebagai jalan menstabilkan pemerintahan. Karena itu, pesan penting
bagi Jokowi-JK, tak ada rumus untuk dapat mengendalikan kekuatan oposisi yang
begitu besar. Ancaman goyahnya politik dan ketidakefektifan pemerintahan
Jokowi-JK justru makin terbuka lebar, manakala performance pemerintahan Jokowi-JK dianggap tidak optimal.
Ancaman stabilitas pemerintahan Jokowi-JK juga tergantung dari sikap
dan perilaku Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam politik
seharihari di parlemen. Kekalahan 5-0 PDIP dari KMP pada minggu pertama awal
sidang parlemen harus menjadi pelajaran agar PDIP tidak jemawa dan tidak
arogan. Sebagai partai yang sebelumnya oposisi, PDIP saat ini mengalami karma
politik sebagai partai penguasa (partai pemerintah).
Kesalahan yang sama juga terjadi para lingkar dalam dan para pendukung
Jokowi-JK yang membayangkan bahwa pemerintah dapat bekerja atau memerintah (governable) tanpa perlu dukungan
partai politik di DPR yang kuat. Perspektif itu ibarat memimpikan suatu
harmoni tanpa modal, yang dalam perspektif presidensialisme justru dapat
menjerumuskan presiden dalam situasi-situasi politik yang sulit. Sebaliknya,
gaya kepemimpinan Presiden yang tidak perlu membutuhkan dukungan DPR justru
akan menjadi awal dari ancaman instabilitas pemerintahan lima tahun
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar