Kurawa
Bre Redana ; Penulis Kolom “Catatan Minggu” Kompas
|
KOMPAS,
12 Oktober 2014
KURAWA bersorak-sorai. Begitulah yang terjadi setiap kali mereka
mencapai tahap yang mereka kira bakal membawa ke kemenangan, dengan
terbunuhnya para putra Pandawa satu per satu.
Paling dramatik adalah ketika Abimanyu gugur. Ksatria muda yang luar
biasa terampil berperang ini dijebak dalam formasi kembang teratai pasukan
Kurawa. Pada saat ia terisolasi sendirian itulah ia dikeroyok beramai-ramai
oleh kekuatan utama Kurawa seperti Durna, Kripa, Karna, Aswatama, Brihatbala,
dan Kritawarma.
Abimanyu tewas mengenaskan. Dia seperti landak. Ribuan anak panah
menancap di tubuhnya. Para Kurawa bersorak-sorai, menari-nari, meniup
terompet dan memukul genderang kemenangan. Salah satu ksatria Kurawa,
Yuyutsu, putra Destarata, malu dan prihatin melihat tingkah
saudara-saudaranya.
”Kalian telah melupakan etika dan moral di medan perang. Mestinya
kalian merasa malu atas apa yang kalian lakukan,” katanya seperti diceritakan
kembali oleh Rajagopalachari dengan sangat bagus dalam Mahabharata.
Di angkasa, burung-burung bangkai yang melayang-layang di atas medan
perang pun tampak menyesalkan kejadian itu.
Etika dan moral. Wayang selalu terasa aktual, karena dia menyentuh
antara lain dua aspek tersebut. Terlebih lagi, ketika etika dan moral dalam
kehidupan keseharian kita semakin merosot. Berapa banyak orang kini menjadi
muak, hoekk, menonton televisi yang menayangkan ulah para politisi?
Kembali ke wayang. Kekayaan cerita wayang memunculkan berbagai tafsir
yang tak kalah kaya. Di antaranya suatu tafsir yang berhubungan dengan
politik tubuh, di mana tokoh-tokoh wayang dianggap sejatinya menggambarkan
tubuh dan diri kita.
Dalam tafsir ini, putra tertua Pandawa, Yudhistira, dianggap simbol
pikiran. Oleh karena itu, dia selalu gelisah, terus-menerus berkonflik dalam
diri sendiri. Putra kedua Pandawa, Bima, merupakan simbol tubuh. Nama lain
Bima, yakni Werkudara, artinya adalah ’perut serigala’, untuk menyebut
pinggangnya yang gendut dan rasa laparnya yang sulit terpuaskan. Putra
ketiga, Arjuna, adalah simbol mata. Hemm, itukah yang menyebabkannya
lirak-lirik setiap kali ada wanita cantik lewat? Saha eta? Lalu si kembar Nakula-Sadewa,
simbol telinga, terlihat tak banyak bicara, selain hanya mendengar. Dalam
konteks ini pula, kemungkinan mengapa lalu digambarkan mereka mengawini satu
wanita, yakni Drupadi.
Menarik melihat satu per satu tokoh wayang dalam perspektif ini. Durna
menyimbolkan jantung. Saat suasana tenang, damai, dia baik-baik saja. Dia
guru yang baik bagi semua pihak, Kurawa maupun Pandawa. Hanya begitu suasana
berubah, situasi tegang, dia akan menjadi sibuk, termasuk mengompori Raja
Duryudana untuk segera melancarkan perang.
Sebagai guru yang tak tertandingi kesaktiannya, dalam Mahabharata
diceritakan, Durna hanya bisa dikalahkan ketika dibohongi bahwa putra
kesayangannya, Aswatama, tewas. Durna menjadi patah hati, kehilangan hasrat
hidup dan membuang senjatanya.
Rajagopalachari mendaraskan cerita, bagaimana waktu itu kemudian dengan
mudah Drestadumena menebas leher Durna. Jiwa Durna lepas dari badannya dengan
cahaya yang memancar terang dan kemudian melayang menuju surga.
Yang paling menyebalkan bagi banyak orang barangkali adalah Sengkuni.
Ia simbol lidah. Dalam dunia politik kita, orang bisa melihat siapa yang
lidahnya tak terjaga. Tahun 1998 bilang begitu, sekarang bilang begini, pagi
dia bilang F sore bilang CK. Sengkuni adalah mastermind tipu daya permainan
dadu Kurawa versus Pandawa yang menyebabkan Pandawa kehilangan
segala-galanya, termasuk istrinya, Drupadi. Dursasana menelanjangi Drupadi di
depan mata banyak orang, serupa penguasa melucuti hak-hak rakyat di depan
hidung kita.
Pandawa kemudian mengolah diri, sebelum Bharatayuda tiba. Olah
kanuragan para ksatria, penguasaan diri, kesanggupan menjaga moral dan etika,
adalah upaya untuk membuat kehidupan tetap terjaga. Itulah politik tubuh,
yang berbeda dari politik Senayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar