E-bank
dan Pembangunan Berkelanjutan
Nonot Harsono ; Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi
Indonesia (BRTI)
|
KORAN
SINDO, 02 Oktober 2014
DI era
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) mendatang, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan akan terus mengalami
defisit.
Betapa
tidak, beban anggaran keuangan negara dengan subsidi energi yang mencapai
Rp300 triliun terus menggerogoti. Ditambah dengan beban bunga utang luar
negeri yang semakin besar, membuat pemerintahan Jokowi-JK dihadapkan pada
persoalan fiskal yang terus mengimpit dan perlu segera diselesaikan.
Seperti
layaknya sebuah perusahaan, negara ini membutuhkan anggaran belanja untuk
bisa terus melakukan ekspansi, membangun, dan meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya. Untuk itu, berbagai solusi dibutuhkan agar Indonesia memiliki
kemampuan untuk terus membiayai pembangunan infrastruktur untuk mendongkrak
ekonominya.
Selain
pengurangan beban subsidi energi dan penghematan belanja pemerintah yang
tidak produktif, salah satu solusi untuk mengatasi minimnya pembiayaan
pemerintah adalah dengan mendongkrak investasi swasta.
Namun,
investasi swasta juga membutuhkan pembiayaan, yang salah satunya dari
perbankan. Di tengah ketatnya likuiditas keuangan saat ini, sudah sewajarnya
jika perbankan juga melakukan inovasi untuk menghimpun pembiayaan dari
masyarakat. Bank tidak bisa hanya mengandalkan cara-cara tradisional dengan
menggunakan instrumen deposito ataupun tabungan untuk menghimpun dana
masyarakat.
Diperlukan
langkah cerdas untuk menarik masyarakat yang selama ini belum bersentuhan
dengan perbankan, agar percaya dan mau memasukkan sebagian dananya di bank.
Bank sebagai agent of development harus bisa melaksanakan fungsinya
memobilisasi dana untuk pembangunan ekonomi di suatu negara. Kegiatan bank
berupa penghimpun dan penyalur dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan
perekonomian di sektor riil.
Dengan
dana itu maka memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan
distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa. Persoalannya, sampai
saat ini penetrasi bank masih di bawah 50% populasi masyarakat Indonesia.
Penetrasi perbankan kalah jauh dengan penetrasi telepon seluler atau handphone
yang mencapai lebih dari 120% populasi.
Penetrasi
yang mencapai lebih dari 100% menunjukkan bahwa banyak orang Indonesia
memiliki lebih dari satu telepon seluler (ponsel) atau gadget lain.
Diperkirakan, selisih antara jumlah pelanggan ponsel dan jumlah nasabah bank
setara dengan jumlah orang yang tidak memiliki rekening bank (unbanked).
Jumlah unbanked-people ini ke depan akan terus bertambah karena penetrasi
ponsel ke daerah-daerah terpencil akan terus tumbuh dan meluas.
Sementara
itu, bank tidak mungkin membangun kantor cabang di daerah yang tidak layak
secara ekonomis, sebab jumlah calon nasabah minim sedangkan biaya operasional
tinggi. Dengan kondisi itu, penduduk di daerah akan semakin sulit tersentuh
perbankan, karena kecil kemungkinan bagi mereka menabung setiap hari,
misalnya Rp10.000 di kantor cabang bank tertentu yang letaknya jauh.
Selain
letak geografis, alasan psikologis lain seperti malu dan enggan berhubungan
dengan urusan administrasi perbankan, juga bisa menjadi sebab. Lalu, bagaimana
caranya agar penetrasi ponsel yang mencapai lebih dari 120% bisa dimanfaatkan
untuk menghimpun dana masyarakat? Bagaimana agar potensi unbanked-people ini
bisa menyukseskan fungsi agent of development perbankan?
Untuk
menjembatani jumlah unbanked-people yang terus bertambah, perbankan dan
operator telepon seluler harus membuka kesempatan bagi masyarakat diremote
& rural area tersebut untuk bisa menabung melalui handphone.
Dengan
begitu maka tidak akan ada lagi hambatan jarak dan psikologis untuk menabung.
Perilaku masyarakat yang sudah cukup lama terbiasa mengisi ulang pulsa
telepon bisa diubah dari “mengisi deposit prabayar” menjadi “mengisi deposit
e-bank“. Sinergi perbankan dengan operator telekomunikasi ini menjadi langkah
pertama membawa unbanked-people memasuki dunia perbankan.
Dengan
sinergi ini, penyelenggara jaringan telekomunikasi menyiapkan server berisi
platform virtual-banking dan platform micro-payment. Nantinya penyedia
seluler dan mitra perbankan bisa mengonversi nomor telepon seluler, yang juga
merupakan nomor rekening. Adapun bank mitra yang mengelola rekening tabungan
dan semua kegiatan perbankan. Outlet mitra penyelenggara telekomunikasi juga
bisa berfungsi sebagai loket teller (cashin /cash-out) dari bank mitra
tersebut.
Dalam
pengembangannya, deposit e-bank yang secara rata-rata lebih dari Rp20.000
dapat juga digunakan untuk membayar belanja-belanja kecil (micro-payment) dan
sebagian lagi disetor ke rekening tabungan melalui sistem virtual banking.
Misalnya setiap Minggu Rp5.000-10.000 atau lebih. Hanya, agar program itu
berhasil diperlukan penyediaan infrastruktur jaringan telekomunikasi di
seluruh wilayah NKRI.
Dengan
fasilitas jaringan yang memadai dan dengan cakupan luas, semua pelanggan
telepon seluler yang unbanked di remote & rural area dapat difasilitasi
untuk memiliki rekening tabungan. Bahkan dengan e-bank, mereka bisa melakukan
micro-payment atau pun remitten secara mudah. Dengan rekening tabungan itu
pula, mereka dapat terlibat dalam kegiatan perbankan dan membiayai
pembangunan.
Secara individu mungkin nilai nominalnya relatif kecil, namun melihat
potensinya yang besar maka secara akumulatif nasional jumlah totalnya pasti
akan sangat besar. Hanya dengan cara inilah program Financial-Inclusion dapat
dicapai dalam waktu yang singkat. Semoga pemerintah RI 2014-2019 bisa
memprioritaskan ini di tahun pertama pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar