Demokrasi
dan Batas Kebebasan
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
|
KORAN
SINDO, 02 Oktober 2014
DEMOKRATISASI
yang bergulir deras lebih dari sewindu terakhir telah membuat masyarakat
Indonesia pada umumnya sangat menikmati kebebasan.
Pertanyaannya,
apakah demokrasi identik dengan kebebasan? Betul, di tataran budaya, nilai
utama dari demokrasi adalah kebebasan, yang berdimensi dua: bebas dari
(tekanan, paksaan, ancaman) dan bebas untuk (bicara, berpikir, berekspresi).
Memang,
masih ada dua perspektif demokrasi yang lain, yakni sistemik (menyangkut
struktur dan institusi) dan prosedural (mekanisme dalam menentukan maupun
memilih kebijakan dan elite-elite yang akan memimpin publik).
Namun,
dua perspektif itu niscaya membuat demokrasi semu jika tak disertai dengan
penghayatan yang mendalam oleh masyarakat akan keniscayaan nilai-nilai
demokrasi (selain kebebasan ada lagi kesetaraan, independensi, pluralisme dan
individualistis) itu. Pertanyaannya, apakah kebebasan merupakan sesuatu yang
tanpa batas?
Dibenarkankah,
misalnya, seseorang dengan mengatasnamakan kebebasan lalu berteriak-teriak
semaunya sendiri, padahal di sekelilingnya ada banyak orang yang merasa terganggu?
Bolehkah
orang banyak menutup jalan tol atas nama kebebasan yang bahkan
dirasionalisasi dengan “motif baik” demi menuntut tarif tol tidak dinaikkan?
Dalam beberapa minggu terakhir ini, wacana publik sempat diramaikan oleh dua
isu yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi.
Pertama,
seorang mahasiswi pascasarjana bernama Florence Sihombing yang menulis
sesuatu di jejaring sosial, path, yang dianggap menghina Yogyakarta. Ia lalu
dilaporkan ke polisi dan sempat ditahan, tapitak lama kemudian dilepaskan.
Florence sendiri kemudian minta maaf kepada Sultan HB X dan kepada warga
Yogyakarta.
Kedua,
seorang pemilik akun Twitter dengan nama @kemalsept, yang karena dianggap
telah menghina Kota Bandung dan wali kota Bandung lalu secara resmi
dilaporkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil ke polisi. “@kemalsept Anda secara
resmi saya laporkan ke kepolisian, untuk tweet-tweet penghinaan Pasal 27 UU
11 tahun 2008,” tulis Ridwan dalam akun Twitter resminya, 5 September lalu.
Tak
hanya itu, dalam statusnya, Ridwan juga mengunggah fotoscreen capture lini
masa Twitter yang bersangkutan. Dalam foto itu tampak pemilik akun @kemalsept
menghina Bandung dengan kata-kata kasar. Semuanya ditulis dengan huruf
kapital. “Kritik ada tempat dan etikanya. Kalau menyerang pribadi tentu ada
kehormatan yang harus dijaga. Beda, kan, kritikan dan cacian, apalagi ke
pribadi,” ujar Ridwan. “Ini jadi pembelajaran. Dimaafkan ya dimaafkan,”
katanya.
Namun,
ia berharap agar hal serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Lebih dari
demokrasi di tataran sistemik dan prosedural, demokrasi di tataran budaya
lazimnya membutuhkan waktu relatif panjang untuk mencapai situasi dan
kondisinya yang ideal. Pasalnya, kebebasan memang cenderung disalahpahami dan
disalahgunakan jika tidak didukung dengan dua nilai lainnya, yakni
rasionalitas dan moralitas.
Dengan
rasionalitas, niscaya setiap orang menggunakan hak-hak asasinya secara
bertanggung jawab. Sebaliknya tanpa rasionalitas orang-orang cenderung
bertindak dan berperilaku semau-maunya sendiri. Dengan moralitas, niscaya
setiap orang menjalani hidupnya secara tertib dan tak ingin meremehkan atau
mengabaikan orang-orang lain di sekitarnya.
Sebaliknya
tanpa moralitas, orang-orang cenderung hidup tak teratur dan tak memedulikan
kehadiran orang-orang lain di sekitarnya. Dengan demikian maka demokrasi
niscaya berkembang sehat jika pilarnya adalah masyarakat sipil yang nalarnya
telah akil balig, telah mampu berpikir rasional dan mandiri. Atas dasar
itulah, niscaya orangorang tak cenderung salah mengerti dan menyalahgunakan
kebebasan di tengah demokratisasi yang bergulir deras ini.
Maka di
dalam kehidupan sesehari, komunikasi yang terjalin niscaya juga menjadi sarat
makna alih-alih ngalor-ngidul tanpa arah. Hal itu bukan hanya menjadi
keharusan di dalam komunikasi di dunia nyata (secara lisan), tetapi juga di
dunia maya (secara tulisan). Pertanyaannya, itu gampang atau sulit?
Jawabannya, mungkin agak sulit karena diperlukan dua nilai pendukung itu
tadi: rasionalitas dan moralitas.
Dengan
kedua nilai yang telah dihayati itulah komunikasi yang sebelumnya berwujud
talking (nirmakna) niscaya menjadi speaking (sarat makna). Memang, dengan
semua nilai demokrasi yang disebutkan tadi maka demokrasi di dalam kehidupan
sehari-hari menjadi rawan konflik. Kendati begitu, demokrasi tetap merupakan
alternatif sistem dan way of life yang terbaik demi menghindarkan terjadinya
monopoli dalam menginterpretasi kebenaran.
Demokrasi
juga niscaya menjadikan kita mampu bersikap toleran dan apresiatif terhadap
segala macam perbedaan. Pada akhirnya, bukankah itu juga yang niscaya membuat
kita rendah hati karena merasa orang-orang lain juga memiliki kebenaran?
Bukankah karakter seperti itu sangat baik dan terpuji? Jadi, apakah kebebasan
dalam demokrasi itu tanpa batas? Tentu tidak. Ia bahkan penuh batas di
sana-sini.
Pertama,
karena kita hidup di tengah masyarakat yang memiliki hukum (Costello, 2000).
Itulah yang otomatis membatasi setiap orang. Kedua, karena demokrasi harus
seiring sejalan dengan hak asasi manusia.
Kesadaran
akan hak asasi orang-orang lain itulah yang memunculkan kesadaran bahwa kita
harus membatasi kebebasan diri sendiri demi menghormati orang-orang lain itu.
Ketiga, karena dengan dipandu moralitas dan rasionalitas, kita harus
senantiasa mempertimbangkan hal-hal yang benar dan baik yang sepatutnya
dilakukan.
Keempat,
karena sadar akan kehadiran orangorang lain di tengah masyarakat maka kita
niscaya berpedoman pada etiket dan etika yang dengan sendirinya membatasi
kebebasan.
Dengan
alasan-alasan itulah maka demokrasi selalu ada batasnya, bahkan banyak. Maka,
adalah salah jika sebagian orang mengatakan kebebasan dalam demokrasi itu
liar. Sebaliknya, justru demokrasi yang rasional dan bermoral menjadikan
kebebasan itu bertanggung jawab.
Maka jika hingga kini kita masih kerap membaca kata-kata yang tak
sopan, penuh caci maki dan hinaan, atau bahkan disertai dusta tanpa data,
yang ada di berbagai media jejaring sosial, anggap saja si pemilik akun yang
bersangkutan belum cukup rasional dan kurang bermoral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar