Diplomasi
Kurban
Ahyudin ; Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT)
|
KORAN
SINDO, 09 Oktober 2014
Ajaran Allah, bahkan yang sunah sekalipun, niscaya punya dampak luar
biasa. Salah satu yang sunah itu: ibadah kurban. Kalau impact kurban tidak
luar biasa, bukan salah ajaran. Dalami diri, mungkin sekali kurban
biasa-biasa saja impact -nya karena kita belum berpikir dan bekerja total
untuk itu. Yakinlah, kurban itu luar biasa.
Seperti apa? Awal 1990-an silam, terbayangkah orang Indonesia yang
bukan sedang berhaji, memotong kurban di luar negeri? Lalu waktu bergulir.
Sejarah baru kurban, berkembang: rakyat Indonesia bisa berkurban untuk
Indonesia dan dunia. Bukan hanya di sekitar tempat tinggalnya. Kurban beredar
ke sejumlah kawasan yang sedang dilanda krisis kemanusiaan. Bukan kambing
atau sapi Indonesia diekspor. Di sejumlah wilayah sasaran, ada mitra lokal
yang belanja hewan kurban.
Ekonomi pun berputar di wilayah sasaran. Ada kemudahan bertransaksi:
internet banking , transfer, sampai pembayaran dengan kartu kredit bahkan
jemput donasi (dana pekurban dalam hal ini disebut donasi) di wilayah
tertentu. Kurban bukan hanya dibedah dari dimensi spiritual/ritual, apalagi
sekadar ekonomi semata. Ini tentang dimensi kemanusiaan global. Apa hakikat
diplomasi atau hubungan internasional? Bagi pegiat kema-nusiaan, diplomasi
itu demi kemanusiaan.
Politik, keamanan nasional, ekonomi luar negeri, dan berbagai alibi
hubungan internasional tak lain demi menyamankan makhluk manusia. Diplomasi
itu jembatan kemanusiaan, bahkan kerja nyata kemanusiaan berskala global.
Bukan diplomasi kalau tujuannya menekan dan memicu ketidaknyamanan global.
Kurban global dalam manajemen kemanusiaan merupakan diplomasi nyata
kemanusiaan.
Menebar keriangan di kantong-kantong pengungsian, bahkan di perbatasan
negeri lain yang rawan kekerasan dengan daging kurban, mengandung dimensi
diplomatik, lebih dari sekadar karitatif. Pertama, kehadiran pegiat
kemanusiaan Indonesia, mewakili entitas Indonesia. Bangsa besar ini,
sekalipun hadir sedikit orang, di kancah kemanusiaan, teresonansi sebagai
sebuah wujud kepedulian. Ia menggemakan perhatian dan pembelaan atas krisis
di sebuah negeri, atas nasib yang menimpa umat manusia di mana pun.
Lebih dari sekadar hadirnya diplomat formal yang tentu punya akses di
forumforum kenegaraan, pegiat kemanusiaan ini mempersembahkan kurban dari
rakyat Indonesia. Berkilo-kilogram, bahkan berton-ton daging korban, diterima
tangan-tangan kurus korban perang di perbatasan Suriah, di tengah sekumpulan
janda Palestina korban serangan Israel di Gaza, atau pengungsi nan malang
Somalia dan di banyak tempat lainnya di dunia. Sampainya kurban ini menjadi
percikan pembakar semangat kepedu-lian. Lebih dari sekadar cerita tentang
sekerat daging dan seulas senyuman.
Ada narasi hebat tentang umat manusia yang terlunta-lunta, terabai
bahkan terancam hidupnya. Dan putra-putra terbaik Indonesia, mengendarai
kurban itu untuk menyapa dan memicu senyum bahagia; pun doa tulus dipicu rasa
syukur dari mereka yang dilanda nestapa. Kedua, perjalanan kurban Indonesia
ke ranah global sejatinya juga kisah tentang stimulan kebijakan luar negeri
banyak bangsa; bangsa yang negerinya menjadi kawasan implementasi
korban—selayaknya berpikir keras untuk segera mengakhiri kemelut.
Malu sudah menjadi urusan negeri lain; setidaknya, bisa lebih serius
menunjukkan jiwa kemanusiaannya. Kalau pun tidak, celah sedikit yang dilalui
pegiat kemanusiaan menjadi ”lobang kecil” harapan yang menaikkan krisis laten
itu menjadi isu kemanusiaan global. Siapa pun orangnya, di negeri mana pun ia
hidup, sepanjang dipersepsikan memiliki kuasa dan dipandang mampu berkontribusi
untuk memulihkan krisis kemanusiaan, juga tersentuh dan layak malu jika tak
berkarya kemanusiaan. Ibarat kobaran api kebaikan, pegiat kemanusiaan—
termasuk pembawa kurban global—adalah pemantik kecilnya sampai kebaikan
meluas ke mana-mana.
Kerja kemanusiaan kurban global ini bukan semata-mata menyampaikan
daging kurban, melainkan pada impact strategisnya: menstimulasi sikap dunia
menjadi kian humanis dalam segenap wujudnya. Representasi masyarakat sipil
lewat kurban global, distimulasi peran formal efektif negara asal juga.
Indonesia dengan stimulasi kerja penuh dedikasi berani dan tulus pegiat
kemanusiaan (salah satunya dengan program kurban global), menjadi makin punya
alasan kuat menunjukkan peran lebih nyata. Suara nyaring itu disuarakan anak
negeri, didukung beneficiares (penerima manfaat) dari banyak titik kritis
kemanusiaan di banyak negara.
Kekuatan diplomasi people to people, meneguhkan dan melapangkan jalan
diplomasi goverment to government—bahkan dalam banyak kasus, kekuatannya
melebihi diplomasi bussines to bussiness yang jauh lebih banyak mendapat
dukungan dibanding terhadap kerjakerja kemanusiaan. Dalam banyak momentum
kemanusiaan antarbangsa, pegiat kemanusiaan kebanyakan didukung kekuatan
bersama masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan relasi bisnis antarbangsa. Melalui artikel singkat ini,
ingin saya sampaikan, di sejumlah negara, kekuatan masyarakat sipil—salah
satunya dalam wujud formal organisasi nonpemerintah (NGO) atau lembaga
swadaya masyarakat, memperoleh dukungan signifikan pemerintah, badan dunia
(di mana para petingginya juga senegeri asal dengan sejumlah NGO
internasional) dan korporat. Sementara NGO Indonesia, elemen masyarakat sipil
Indonesia mandiri dalam ikhtiar kerasnya mengedukasi publik mengamanahkan
dukungannya.
Saatnya pemerintah dan korporat nasional adu kompak dengan kepedulian
kemanusiaan bangsa-bangsa lain. Kurban kita adalah media diplomasi
kemanusiaan: berkurban sembari menata perdamaian dunia. Global Qurban- ACT
misalnya, sebagai salah satu pemain kurban global bentukan putra Indonesia,
berupaya keras bekerja nyata mengelola isu kemanusiaan global dengan tekad
bisa mengirim kurban ke 20 negara, termasuk di 29 provinsi di tanah Air.
Semoga langkah ini menepis anggapan bahwa kurban sekadar ritual yang tak
seberapa kontributif bagi perubahan sosial makro. Tanpa menepis tradisi
berkurban di lingkungan sekitar, kurban global pun menjadi pilihan
melipatgandakan maslahat kurban kita. Wallahu
aWallahu alam bish-shawwab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar