Demokrasi
di Hongkong
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
|
SUARA
MERDEKA, 30 September 2014
STABILITAS politik domestik Republik Rakyat Tiongkok (RRT) belakangan
ini terusik, menyusul demonstrasi secara masif masyarakat Hong Kong menuntut
pelaksanaan demokrasi penuh dalam pemilihan pemimpin eksekutif di wilayah
bekas koloni Inggris itu. Tuntutan itu mulai digelorakan sejak 10 tahun lalu.
Kala itu aktivis prodemokrasi kerap turun ke jalan dengan massa cukup besar,
terutama dari kalangan mahasiswa sejumlah unversitas.
Sejak pengembalian Hong Kong oleh pemerintah Inggris kepada penguasa
RRT per 1 Juli 1997, bekas koloni itu berstatus wilayah khusus. Status itu
berdasarkan Basic Law (Konstitusi
Mini) yang dibentuk sesudah penandatanganan Perjanjian Inggris-RRT pada 19
Desember 1984. Hong Kong dikuasai Inggris setelah militer Tiongkok kalah
dalam Perang Candu 1841.
Berdasar Basic Law, Hong Kong
diperintah special administration
region (SAR) yang penentuan pimpinan eksekutifnya dipengaruhi kuat oleh
penguasa Partai Komunis Tiongkok. Selama 17 tahun terakhir, pemimpin
eksekutif SAR selalu loyalis Beijing, termasuk Leung Chun Chunying, pemimpin
sekarang. Kenyataan itu tidak disukai kalangan prodemokrasi di Hong Kong dan
sejak satu dasawarsa lalu memprotesnya.
Saat ini, penolakan mereka terlihat lebih kuat. Rangkaian aksi demo
yang sudah sering muncul sejak akhir Juli lalu selalu melibatkan ribuan
orang. Bahkan demo tanggal 23 Juli lalu yang digalang kelompok-kelompok
prodemokrasi yang tergabung dalam Gerakan
Occupy Central with Love and Peace, diikuti tak kurang dari 510 ribu
aktivis.
Setelah 31 Agustus 2014 pemerintah komunis RRTresmi menolak tuntutan
pencalonan (pemimpin eksekutif SAR) secara terbuka dan lebih demokratis,
massa prodemokrasi di kepulauan berluas 1.000 km2 dan kini berpenduduk 7,2
juta jiwa itu makin intensif berunjuk rasa.
Unjuk rasa berskala luas (melibatkan mahasiswa, siswa SLTA, dan
masyarakat) dan berdurasi panjang yang direncanakan berlangsung lebih dari
sepekan, sudah dimulai 22 September lalu. Bahkan aksi protes lebih besar
diagendakan 1 Oktober besok (SM,
23/9/14). Demonstran tak hanya akan memadati lapangan-lapangan umum
semisal Victoria Park tapi juga
pusat-pusat bisnis dan keuangan. Keadaan ini membuat kalangan pelaku ekonomi
di Hongkong mengantisipasi kemungkinan terburuk.
Bernard Chan (Presiden Asia Financial Holding) telah mempersiapkan segala
sesuatu guna menyelamatkan kegiatan bisnis andai situasi terburuk terjadi.
Selain itu, demonstran menyeru pemogokan sipil secara luas (melibatkan
akademisi, pebisnis, dan karyawan pabrik) demi dipenuhinya tuntutan praktik
demokrasi penuh dalam pemilihan pemimpin eksekutif, yakni para kandidat
pemimpin dari masyarakat, dan dipilih langsung oleh masyarakat yang punya hak
pilih.
Apakah aksi demonstrasi besar Rabu besok bisa memaksa pemerintah
komunis di Beijing memenuhi tuntutan pelaksanaan demokrasi penuh seperti
diinginkan pengunjuk rasa? Atau sebaliknya aksi tersebut gagal total?
Melihat sinyal dari Beijing, agaknya demonstrasi besar kalangan
prodemokrasi di Hong Kong untuk memaksa penguasa Tiongkok memenuhi tuntutan
mereka tidak akan berhasil. Sejauh ini sikap penguasa Tiongkok konsisten
untuk tidak memenuhi tuntutan pelaksanaan demokrasi penuh. ’
Setelah 31 Agustus lalu resmi menolak tuntutan tersebut, Presiden
Tiongkok Xi Jinping, sebagaimana dilansir Harian Ta Kung Pao (22/9/14),
menyatakan, ’’Kami tak akan memberi kelongggaran sedikit pun kepada tuntutan
demokrasi. Kebijakan Beijing terhadap Hong Kong terutama terkait pemilihan
pemimpin eksekutif tidak berubah, dan tak akan pernah berubah yakni rakyat
Hongkong hanya boleh memilih para calon pemimpin yang ditunjuk oleh kaum
loyalis Beijing.’’
Tuduhan
Subversif
Di luar itu, aparat keamanan di Hong Kong yang dikendalikan langsung
dari Beijing sudah bertindak tegas terhadap sejumlah tokoh pendukung
demonstran prodemokrasi. Beberapa tokoh pendukung demokrasi, antara lain
Jimmy Lay (pemilik Harian Hongkong Apple), Lee Cheuk-yan (angggota parlemen
Hong Kong), dan Tang Lingling (pengacara hak asasi manusia) diinterogasi.
Bahkan Tang Lingling ditahan atas tuduhan tindakan subversif.
Konsistensi penguasa Beijing bertindak keras terhadap kalangan
prodemokrasi tentu dilatarbelakangi kekhawatiran meluasnya tuntutan serupa di
beberapa wilayah sensitif lain, seperti Macau, eks koloni Portugal yang
masyarakatnya juga menginginkan praktik demokrasi. Apa yang bakal terjadi
bila demonstran ngotot tidak mau menghentikan aksinya?
Apakah aparat keamanan di Hong Kong akan bertindak keras terhadap
demonstran seperti saat aparat keamanan Tiongkok membungkam ribuan pengunjuk
rasa di Lapangan Tiananmen pada 4 Juni 1989, yang menelan banyak korban jiwa?
Melihat eskalasinya, tak menutup kemungkinan hal itu terjadi. Amerika
Serikat dan Uni Eropa telah mengantisipasi kemungkinan Hong Kong menjadi
’’Tiananmen Kedua’’. Apabila demonstran prodemokrasi terus bertahan untuk berunjuk
rasa dan penguasa Beijing bersikeras tak memberi konsesi apa pun, niscaya
tragedi Tiananmen seperempat abad lampau terjadi di Hong Kong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar