Dampak
Ayah Pemarah
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis Kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
|
KOMPAS,
12 Oktober 2014
Ayah dan ibu adalah lingkung sosial pertama saat bayi dilahirkan.
Kehadiran mereka serta pola interaksinya menggoreskan landasan dasar
pemahaman anak tentang interaksi dua jenis kelamin dalam ikatan perkawinan.
Penghayatan emosional anak tentang dinamika interaksi ayah dan ibu akan
berperan dalam perkembangan pola pandangan semesta (world view) khususnya tentang lelaki/perempuan, suami/istri, dan
perkawinan.
”Ibu, apa yang saya khawatirkan, yaitu dampak negatif dari sikap
pemarah ayahnya sejak anak masih kecil hingga saat ini, menjadi kenyataan.
Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi masalah tersebut
yang saya hadapi dengan anak perempuan saya, Y, (31), sebagai anak
sulung....”
Demikian Ibu X (59), dengan suara bergetar menahan tangis. ”Kami
berkenalan saat bersekolah di perguruan tinggi, saat ini suami mengelola
perusahaan yang sukses. Sementara saya juga memiliki perusahaan yang cukup
maju, walaupun tidak sebesar perusahaan suami saya. Pada dasarnya suami saya
secara umum adalah lelaki yang baik hati, dalam artian ia seorang suami yang
bertanggung jawab secara finansial pada keluarga. Penghasilan yang ia
dapatkan pun sebagian besar diserahkan kepada saya. Saya dan anak-anak bebas
menggunakannya, untuk segala keperluan. Anak-anak pun bersekolah, lulus
dengan hasil baik, dan saat ini mereka sudah kembali ke Indonesia dan tinggal
bersama di rumah kami. Selama hampir 35 tahun menikah, ia tidak pernah
berselingkuh, setia, dan jujur kepada keluarga.
Namun, yang menjadi masalah saya adalah bahwa ia seorang yang pemarah,
sangat emosional. Misalnya, salah satu makanan yang tersedia di meja belum
dilengkapi sendok, maka ia bisa marah besar, teriak, dan memaki tanpa
kendali. Saya sering terkaget-kaget dan tidak siap menerima umpatannya. Saat
kami masih muda, saya sering melawan, tetapi reaksinya semakin keras, yang
membuat saya ketakutan dan akhirnya terdiam. Setiap bangun pagi saya menjadi
ketakutan, takut salah dan selalu berusaha untuk sepatuh mungkin kepada
suami, walaupun masih sering gagal dan dimaki tanpa ampun.
Ibu bisa bayangkan bagaimana ketakutan yang diderita anak-anak kalau
melihat ayahnya seperti itu. Pernah suatu saat, karena saya masih di luar
rumah, anak perempuan saya menyediakan mi untuk ayahnya, apa yang terjadi,
karena kuah mi tersebut tidak tersedia, ayahnya marah dan mangkok mi ditumpahkan
di meja. Anak saya begitu terkejut dan menangis keras dan marah sekali kepada
ayahnya. Preseden ini rupanya membuat hati Y sangat terluka batinnya dan hal
ini berdampak tidak sederhana bagi perkembangan world view anak, khususnya
tentang lelaki.
Kecuali itu, suami saya pun sama sekali tidak pernah menghargai kinerja
saya, terutama kalau ia melihat apa yang saya hasilkan dalam kerja tidak
sesuai dengan harapannya, sering saya dimaki tanpa perasaan, di hadapan
teman, pekerja, anak-anak, bahkan di depan asisten rumah tangga sekalipun.
Sakit hati saya, tetapi saat ini saya merasa air mata saya sudah
kering. Saya hampir tidak bisa menangis lagi, tetapi akibatnya adalah saya
sangat membenci dia, tidak sedikit pun tersisa rasa kasih sayang. Saya enggan
melayani kebutuhan intimnya. Kami sudah tidak pernah bermesraan lagi.
Beberapa kali anak-anak membela saya, melalui SMS yang dikirim kepada
ayahnya, dia berusaha membaik beberapa hari, tapi kemudian kembali pada sifat
aslinya.
Masalah yang saya hadapi saat ini ialah, hingga seusia tersebut, anak
sulung saya (Y) belum pernah menjalin hubungan berpacaran serius. Sikapnya
terhadap teman lelakinya sekadar teman biasa. Ternyata kondisi ini pun
membuat dia mendapat cercaan ayahnya. Ia dikatakan sebagai seorang gadis yang
tidak bisa bergaul, tidak bisa mengurus penampilan, sehingga kurang menarik
bagi lelaki.
Psikoanalisis
Dari perspektif psikoanalisis, dapat dijabarkan bahwa perilaku ayah
yang pemarah, melecehkan figur perempuan, dalam hal ini ibunya bahkan dirinya
sendiri. Ibu adalah sosok istri patuh, cantik, suka berdandan, berprestasi
dalam perusahaannya, tetapi tetap mendapat makian, hinaan oleh ayahnya.
Rupanya kondisi tersebut secara perlahan terinternalisasi dalam aspek fungsi
kepribadian anak perempuan sulungnya tersebut, dan mendukung terbentuknya
world view yang negatif tentang figur lelaki dalam benak Y.
Apalagi sikap otoriter dan dominan dari ayah begitu keras dan sangat
intens, membuat ibunya tidak berdaya. Ketidakberdayaan tersebut memungkinkan
proses identifikasi Y untuk tujuan mengambil alih hakikat karakter feminin
dari figur ibu pun mengalami distraksi sehingga tanpa disadari tumbuh pula
penolakan diri secara sadar untuk berperilaku feminin. Untuk itu, Y
mengungkap world view-nya kepada ibunya:
”Lelaki itu maunya apa ya, Mama? Mereka mau istri cantik, harus bisa
dandan, punya tampilan fisik prima, pintar, patuh, semua yang terbaik bagi
dirinya, tapi mereka tetap memiliki kekuasaan untuk bersikap sewenang-wenang
memperlakukan istri. Wah, saya enggak sanggup, saya enggak mau kawin.”
Saran
solusi
1. Bisa dibayangkan betapa terkejutnya sang ibu (X) mendengar ungkapan
tegas anak perempuannya, walaupun ungkapan tersebut sebenarnya sudah
diantisipasi sejak sang ibu sadar akan kemungkinan pengaruh negatif bagi
bentukan world view anak perempuan tentang lelaki, yaitu saat anak melihat,
menyaksikan, bahkan sering mendengar makian dan cercaan ayah terhadap ibu.
Untuk itu, tentu saja ibu membutuhkan konseling psikologi.
2. Bagi Y, seyogianya juga menjalani psikoterapi intensif demi mampu
menempatkan world view negatif yang terbentuk tentang lelaki dalam proporsi
yang tepat, agar tidak berpengaruh pada penentuan pilihan hidupnya di
kemudian hari sehingga pilihannya lebih menjanjikan peluang perolehan kualitas
hidup yang berfungsi optimal, sambil seraya memiliki kondisi psikologis yang
sehat dan berfungsi secara optimal pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar