Solusi
Konflik Palestina-Israel
Ivan Hadar ; Direktur Eksekutif IDE
(Institute for Democracy Education)
|
KORAN
TEMPO, 01 September 2014
Akhirnya
disepakati gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Hal ini bisa terjadi
setelah Israel mengurangi tuntutannya dalam membatasi gerakan Hamas di Jalur
Gaza. Bukan hanya itu. Israel juga telah menyetujui tuntutan utama delegasi
Palestina, yang menginginkan penghentian blokade terhadap Jalur Gaza. Hal ini
sesuai dengan persyaratan Hamas, seperti yang diungkapkan pemimpin Hamas,
Ismail Haniya, bahwa "besarnya korban dari rakyat kami tidak mengizinkan
kami untuk bernegosiasi terkait dengan tuntutan tersebut" (Franfurter Rundschau, 14 Mei 2014).
Namun,
lebih dari "sekadar" gencatan senjata, untuk mencapai perdamaian
dibutuhkan kemauan kedua belah pihak untuk saling mengakui eksistensi sebagai
negara merdeka. Solusi dua negara merupakan opsi perdamaian paling realistis
yang mengatur Palestina dan Israel hidup berdampingan dengan damai. Untuk
itu, perlu dirundingkan masalah permukiman Israel di tanah Palestina, serta
sejumlah persoalan penting yang menanti diselesaikan ihwal perbatasan
Palestina, kewarganegaraan Palestina yang baru, status pengungsi Palestina
yang berada di luar perbatasan, status warga Arab Israel, dan masa depan
Yerusalem Timur.
Perang
50 hari, meski telah memakan korban dan kerusakan yang jauh lebih parah di
pihak Hamas dan rakyat Palestina dibanding yang harus ditanggung Israel,
telah menimbulkan kecemasan luas dalam masyarakat Israel. Gencatan senjata
dan perdamaian yang langgeng dipastikan akan memperoleh dukungan luas.
Termasuk dari warga Israel, yang sejak awal menentang perang dan menginginkan
kehidupan damai dengan rakyat Palestina.
Mengutip
laporan dari lamanJerusalem Post (2 Juli 2014), misalnya, ratusan anggota
organisasi anti-rasisme Tag Meir dari Tel Aviv telah berupaya untuk hadir
dalam pemakaman Khudair, remaja Palestina yang dibakar hidup-hidup sebagai
balas dendam atas kematian tiga remaja Israel yang menyebabkan perang di
Jalur Gaza. Yang menarik, sebelum terjadinya kekerasan, pemimpin umat
Katolik, Paus Fransiskus, ketika mendatangi kompleks Masjid Al-Aqsa di
Yerusalem, juga menyeru umat Kristen, Yahudi, dan muslim agar bekerja sama
untuk keadilan dan perdamaian, serta tidak mengatasnamakan Tuhan untuk
melakukan kekerasan.
Sejatinya,
konflik Palestina-Israel bukanlah konflik agama, suku, atau ras. Bagi pelapor
khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk situasi hak asasi manusia (HAM)
di Palestina, Makarim Wibisono, konflik berkepanjangan Israel-Palestina
adalah masalah pencaplokan wilayah yang diklaim oleh Israel sehingga memicu
konflik berkepanjangan dengan Palestina.
Akar
persoalan ini, menurut dia, terjadi sejak 1948, tepatnya setelah penduduk
Israel yang tersebar di mana-mana mendapatkan lahan sebagai tanah air mereka.
Dalam perjalanan waktu, jumlah populasi Israel meningkat dan mulai memperluas
wilayahnya ke Palestina.Baginya, yang paling tepat adalah mengambil
pendekatan HAM dalam penyelesaian konflik berdarah dan sudah menewaskan
ribuan orang di Palestina itu. Dengan isu HAM, semua pihak akan tersentuh,
termasuk (keluarga) warga Yahudi yang pernah menjadi korban HAM selama
pemerintahan Nazi-Hitler di Jerman.
Tentu
saja, ada penghalang psikologis. Psikolog terkenal Israel, Dan Bar-On,
menulis, "Warga Israel masih merasa dirinya sebagai korban. Puluhan
tahun lalu, di Eropa, bangsa Yahudi menjadi korban Nazi-Hitler dan
negara-negara lainnya. Salah satu tujuan utama eksodus ke Israel adalah untuk
meninggalkan peran sebagai korban. Namun, di Timur Tengah, mereka juga
diserang oleh negara-negara Arab. Merasa menjadi korban dan sebagai bagian
dari kebaikan, memunculkan pandangan dunia yang simplistik dan percaya harus
melakukan pembalasan dengan semboyan 'siapa yang mencoba membunuhmu, bunuhlah
dia sebelum itu terjadi'."
Sebenarnya,
pada nurani terdalamnya, rakyat Israel dipastikan menginginkan hidup damai.
Namun mereka diberondong opini para politikus dan militer tentang tiadanya
alternatif selain perang. Kalkulasinya, ketika melakukan agresi di Gaza,
setelah kehancuran total, setelah bantuan kemanusiaan pun dilarang masuk dan
dihancurkan, rakyat Palestina akan jenuh dan berhenti melawan. Logika militer
yang patut diragukan.
Tentu
saja, selain upaya melakukan perubahan "cara berpikir" tadi,
diperlukan terus-menerus tekanan internasional terhadap Israel untuk terlibat
dalam perundingan dengan Palestina. Sebab, terkadang, pada saat-saat
"terkucil", Israel akhirnya mengalah. Itulah, misalnya, yang
terjadi pada masa Bill Clinton dan George Bush Sr dalam perundingan damai
Oslo dan Taba.
Indonesia
bisa berperan aktif sebagai mediator dalam mengupayakan perdamaian
Palestina-Israel. Pada era Gus Dur, Indonesia pernah membuka hubungan dagang
dengan Israel dengan maksud sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa Indonesia serta sebagai media bagi Republik Indonesia
untuk terlibat penuh dan ikut serta secara aktif dalam upaya mewujudkan
perdamaian antara Israel dan Palestina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar