Rumah
Berdebu
Samuel Mulia ;
Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di
Kompas
|
KOMPAS,
14 September 2014
BERJUTA
kali saya mengatakan saya ingin berbahagia, dan berjuta kali saya mengucapkan
saya adalah manusia yang berbahagia. Namun dua minggu lalu, baru saya sadari
bahwa perkataan itu keluar mengalir tanpa dasar yang kuat. Karena itulah
ucapan itu menguap dengan mudahnya, dan kemudian diikuti dengan timbulnya babak
tidak bahagia.
Bahagia itu wajib!
Kejadian
itu terus berlangsung sampai sebelum seorang teman menghampiri saya dan
memberi bogem mentah dengan ucapannya yang sama sekali tidak ditujukan untuk
menasihati saya, tetapi merupakan bagian dari percakapan kami. ”Kalau aku nih, bahagia itu adalah sebuah
kewajiban, bukan pilihan.”
Menurutnya,
wajib itu mengandung keharusan yang bukan dipaksakan, tetapi dikerjakan
dengan penuh kesadaran, bukan dengan penuh kebahagiaan. Karena kebahagiaan
itu baru akan dicapai. Jadi mustahil menggunakan sebuah dasar yang belum
tercapai.
Mendengar
itu saya langsung berpikir, mungkin mengapa cita-cita saya ingin bahagia itu
mudah menguap, karena saya mendasarinya dengan hal yang masih sebagai tujuan.
Belum sepenuhnya ada di genggaman.
”Wajib adalah alat
untuk mencapai kebahagiaan, bukan kebahagiaan alat untuk memenuhi kewajiban.
Ngerti kan maksud aku,” katanya bertanya. Tentu saya tak mengerti. Saya itu paling
bingung kalau disuruh mengartikan kalimat yang dibolak-balik. ”Wajib itu tidak memberi kita peluang
untuk memilih,” demikian ia melanjutkan ceritanya.
”Kalau bahagia itu
adalah sebuah pilihan, maka pilihan itu akan memberi banyak opsi, kebanyakan
opsi memberi banyak kebingungan, dan banyaknya kebingungan pada akhirnya bisa
jadi memberi kesempatan untuk tidak memilih, atau memilih dengan keliru. La
wong bingung kok,” jelasnya.
Kemudian
saya berusaha keras siang itu untuk mengerti. Dengan perut yang penuh sesak
dengan menu makan siang yang terdiri dari urap, bakwan jagung, rujak cingur
dan sayur asam, plus pengaruh IQ yang jongkok, maka saya berusaha untuk tidak
bingung dan berusaha mengerti dengan berpikir seperti ini. Semoga saya tidak
keliru.
Bahagia
itu sebuah keadaan yang saya percayai ingin dimiliki oleh setiap orang. Sejujurnya,
saya memang belum pernah mendengar ada manusia di dunia ini yang kalau
ditanya apakah Anda mau bahagia, akan memberi jawaban, ”Enggak mau. Sengsara itu cool, bro.”
Nah,
saya berpikir kalau saya ingin bahagia, yaa...saya wajib mengerjakan dan mengejar
tujuan itu, bukan? Katakan kalau bahagia itu sebuah pilihan, maka saya
bertanya pada diri sendiri, apakah saya akan memilih untuk tidak bahagia?
BBS
Saya
pribadi, saya ingin sekali bahagia. Jadi buat saya, yang awalnya sebuah
pilihan, berakhir dengan kewajiban yang saya harus lakukan, agar yang saya
pilih itu bisa saya dapati. Yaa...apa gunanya, kalau saya sudah memilih untuk
bahagia, saya tidak mencapai yang saya inginkan itu, bukan?
Teman
saya di atas hanya bercerita saja, dan ceritanya itu sama sekali membuat saya
terkesima dan bingung, sehingga saya lupa menanyakan bagaimana caranya supaya
kewajiban itu dapat dilaksanakan.
Maka
saya mencari tahu dengan cara saya sendiri. Anda sudah membaca cerita saya
dua minggu lalu tentang penyakit yang datang bertubi-tubi menimpa saya,
bukan? Maka saya mulai bersyukur atas penyakit saya.
Saya
katakan pada diri saya sendiri semacam afirmasi, bahwa sakit itu tidak enak
dan menyebalkan, tetapi itu sebuah pengalaman dan saya ingin menikmati
pengalaman itu. Kalau saya mendapat sopir taksi yang tak tahu jalan, saya
mencoba mengatakan pada diri saya sendiri, yaaa...mungkin hari ini adalah
hari pertamanya menjadi sopir.
Tetapi
afirmasi-afirmasi di atas tidak berhasil membuat saya berbahagia. Beberapa
minggu kemudian, teman saya itu menelepon mengajak untuk bertemu. Dalam
pertemuan sore itu, saya juga tak ingat untuk menanyakan bagaimana caranya
agar bisa menjalankan kewajiban, dan tiba pada tujuan menjadi bahagia.
Setelah
mengobrol sekian jam, ia berkata begini. ”Elo
tu kan suka sakit-sakitan ya, suka bantingin barang-barang kalau lagi emosi.
Coba deh, elo belajar memaafkan. Memaafkan diri elo dan mereka yang menyakiti
elo. Karena bahagia itu sebuah kewajiban, yang hanya bisa berhasil kalau
dijalankan dengan hati yang bersih.”
”Memaafkan itu sebuah
aktivitas yang harus dipelihara, karena elo akan bertemu orang baru yang bisa
jadi akan menyakiti elo lagi. Jadi kayak bersihin rumah. Mesti rutin
dilakukan. Karena bahagia itu tak akan pernah datang dari rumah yang penuh
debu.”
”Kalau yang berdebu
itu menjadi dasar, kamu enggak akan pernah sampai ke tujuan. Eh salah. Bisa
nyampe juga sih. Tapi gak bakal bertahan lama, dan elo akan membanting barang
lagi dan sakit hati lagi. Jadi hidup elo akan terengah-engah. BBS gitu,.
Bahagia, banting, sakit, bahagia, banting, sakit.”
”Jadi ingat, yang
dipelihara itu bukan debu, yang dipelihara itu kewajiban. Oke,?” Untuk kedua kalinya
saya kena bogem mentah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar