Emosi
Suara dari Kata-Kata
Sawitri Supardi Sadarjoen ;
Penulis
Rubrik Konsultasi Psikologi Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi
Universitas YARSI
|
KOMPAS,
14 September 2014
Melalui
tulisan ini saya tidak bermaksud untuk mengabaikan kenyataan bahwa kita pasti
pernah melakukan konfrontasi terhadap keluarga kita dengan cara mengungkap
emosi secara tidak terkendali. Karena mungkin saja dengan cara tersebut kita
merasa bahwa kita menjadi lebih berkuasa untuk mengendalikan kondisi
keluarga, pada saat-saat tertentu. Atau dengan kata lain, bersikap emosional
terhadap keluarga pada saat-saat tertentu memang sulit untuk dielakkan. Jadi,
sebenarnya sangatlah tidak mungkin untuk menyarankan pada siapa pun agar
selalu bisa bersikap tenang ”calm” dan rileks dalam setiap situasi yang kita
hadapi dengan setiap anggota dalam keluarga kita.
Seorang
klien, sebut saja si A, pernah bercerita kepada saya, bahwa ia sering
menasihati adiknya yang kecanduan alkohol, dengan cara baik-baik, terkendali,
dan terkesan penuh kebijakan, seperti misalnya dengan cara sebagai berikut:
”Kakak
tahu, kakak tidak dapat berbuat apa pun untuk membantu mengatasi masalah
kecanduanmu terhadap alkohol, tapi kakak ingin kamu tahu bahwa kakak sangat
mencemaskan kesehatan fisikmu di masa mendatang kalau kebiasaan burukmu itu
tidak kamu hentikan. Terus terang kakak takut sekali kehilangan kamu dalam
waktu yang kurang daripada seharusnya.”
Dalam
situasi ini A sebenarnya berupaya menjadi terapis bagi adiknya dan dirinya
sendiri, karena A benar-benar berusaha mengendalikan emosinya untuk bisa
bicara setenang itu.
Namun,
pada suatu malam A kehilangan kesabarannya, saat melihat adiknya mulai minum
lagi, A berteriak keras, ”Hai, apa yang salah dalam dirimu, Dik? Kenapa kamu
menjerumuskan kehidupanmu dengan cara itu. Kenapa pula kamu memperlakukan
kakak dengan cara itu, Kakak marah sekali dan tidak mampu lagi menahan
kemarahan kakak padamu. Rasanya kakak bisa gila kalau memikirkan perbuatanmu
seperti itu.”
A
bercerita, ia kemudian membantingkan tubuhnya ke sofa dan menangis tersedu.
Bagaimana reaksi adiknya melihat kakaknya yang menunjukkan reaksi emosi yang
berlawanan dengan kebiasaannya tersebut? Adiknya memandangnya dengan takjub,
dan kemudian meninggalkan kakaknya sendiri. Tapi ternyata, sejak peristiwa
itu adiknya tampak berusaha melepaskan diri dari ketagihan alkoholnya.
Dari
peristiwa ini, saya menganalisis, bahwa sikap kakak yang tenang dan terkesan
”sok” terapis, membuat adiknya muak dan justru semakin membuat adiknya
melakukan apa yang tidak disenangi kakaknya, minum dan minum lagi alkohol.
Mengekspresikan emosi
Kita
memiliki berbagai perbedaan suara dan perbedaan tempat serta situasi di mana
kita bisa berbicara. Tantangannya adalah mengetahui rentang suara yang kita
miliki, sehingga kita tidak terjepit dalam ruang rentang suara yang sempit
dan terbatas, yang justru membuat diri kita mengalami keterbatasan pelayanan
pada lingkungan di mana kita berada.
Pada
umumnya kita selalu berbicara dengan cara yang berbeda dengan orang yang
berbeda pula. Kita juga tahu bahwa orang yang berbeda akan memiliki rentang
penerimaan suara yang berbeda pula dalam situasi yang berbeda. Jadi setiap
relasi dan koneksi antarmanusia juga memiliki kadar toleransi yang berbeda
dalam menerima dan mengungkap ekspresi emosinya, termasuk dalam mengungkap
ketidakwajaran, keputusan, kekaguman atau kemarahan. Kiranya perlu kita
pahami bahwa kita semua memiliki kebutuhan koneksi atau relasi dengan
orang-orang yang membuat kita bicara lebih keras dibandingkan dengan saat
berbicara dengan orang lain.
Hubungan
kekeluargaan, seperti halnya hubungan antarsuami dan istri, atau antarkakak
dan adik, misalnya, sering memiliki peluang untuk berbagai cara ekspresi emosi.
Bisa saja relasi yang terjalin akan lebih ”calm”, bila terdapat jarak emosi
tertentu di antara anggota keluarga yang sedang berelasi. Tampaknya semakin
intens hubungan yang terjalin, maka semakin produktiflah peluang untuk
menurunkan kadar suara, baik dalam bertanya, kemudian mendengar dahulu serta
selanjutnya dengan tenang mengutarakan perbedaan yang ada di antara anggota
keluarga yang berinteraksi. Dengan cara tersebut, maka kita sebenarnya
mengundang orang lain untuk merasa lebih dihargai daripada membuat mereka
bersikap defensif.
Dalam
situasi tertentu sebenarnya kemauan kita untuk memperlihatkan ungkapan
emosional dan kepekaan kita ternyata juga bisa menjadi pesan yang lebih
mengandung unsur cinta kasih kita kepada anggota keluarga tertentu. Dengan
demikian dapat dipahami dan kemudian disimpulkan bahwa cara ”keras” inilah
yang paling tepat dipilih oleh A (kasus tersebut di atas ) dalam mengutarakan
ketidaksetujuannya pada perilaku adiknya yang kecanduan alkohol, karena
terkadang memilih ”kursi panas” melalui ungkapan yang berisi peledakan emosi
sesaat lebih efektif daripada bila kita mengungkapkan emosi dengan cara yang
selalu lembut dan penuh kasih seperti apa yang selama ini A tunjukkan pada
adiknya yang kecanduan alkohol.
Untuk
itu, sadarilah seberapa luas rentang peluang yang kita miliki dalam
mengekspresikan emosi, demi kemampuan kita untuk memilih ekspresi emosi yang
tepat dan efektif sesuai dengan tujuan awal kita saat menjalin koneksi dan
berelasi dengan anggota keluarga kita yang berbeda satu sama lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar