Rokok
dan Warga Miskin
Khudori ;
Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
|
KORAN
TEMPO, 15 September 2014
Pemerintah
akan menaikkan tarif cukai rokok 10,2 persen tahun depan (Koran Tempo, 9 September 2014). Tahun
ini tarif cukai rokok sudah sekitar 50 persen dari harga eceran. Menurut
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai rokok dapat diterapkan
maksimal 57 persen. Produsen yakin tarif cukai yang tinggi akan menjauhkan
konsumen dari rokok. Warga miskin akan menekan angka konsumsi rokok.
Diperkirakan tingkat kemiskinan bakal menurun. Benarkah seperti itu?
Pelbagai
aturan dibuat guna membatasi konsumsi rokok, dari larangan merokok di tempat
publik sampai pencantuman peringatan kesehatan, seperti diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Apakah aturan ini efektif menekan
konsumsi rokok?
Ada
temuan menarik soal konsumsi rokok. Data Susenas oleh Badan Pusat Statistik
selama beberapa tahun terakhir menangkap tingginya pola pengeluaran
rokok-filter maupun kretek-warga miskin. Pendapatan warga miskin tidak hanya
tersedot untuk pengeluaran pangan, seperti membeli beras, tapi juga untuk
rokok. Menurut BPS pada September 2013, kontribusi rokok terhadap garis
kemiskinan menduduki posisi kedua, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Rokok hanya kalah oleh beras.
Empat
komoditas yang memiliki sumbangan besar terhadap garis kemiskinan di pedesaan
adalah beras (32,72 persen), rokok (8,31 persen), telur ayam ras (3,54
persen) dan gula pasir (2,73 persen). Sedangkan di perkotaan, pengeluaran
tercatat untuk beras (24,81 persen), rokok (10,08 persen), telur ayam ras
(3,63 persen), dan gula pasir (2,58 persen). Pada September 2013, garis
kemiskinan di perkotaan berada di angka Rp 308.826. Artinya, penduduk miskin
di perkotaan membelanjakan uang Rp 34 ribu untuk membeli rokok dalam sebulan.
Ini nilai yang lumayan besar, yang sebetulnya bisa dialihkan untuk biaya
pendidikan, kesehatan, atau pengeluaran lain.
Hasil
survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 yang dirilis Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan juga menghasilkan
temuan serupa: konsumsi rokok penduduk kelas menengah bawah dan terbawah
rata-rata mencapai 12 batang per hari (360 batang dalam sebulan). Apabila
harga sebatang rokok Rp 500, berarti uang yang dibelanjakan penduduk kelas
menengah bawah dan terbawah untuk membeli rokok mencapai Rp 180 ribu sebulan
(58 persen dari garis kemiskinan).
Hasil
Riskesdas pada 2013 menemukan fakta getir lain: tingkat konsumsi rokok pada
anak-anak (usia 10-14 tahun) sangat tinggi. Konsumsi rokok kelompok usia
ini mencapai batang per hari atau 240
batang sebulan. Artinya, anak-anak perokok menghabiskan uang Rp 120 ribu
sebulan hanya untuk membakar rokok. Ironisnya, jumlah perokok pemula (usia
10-14 tahun) naik dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir, dari 5,9 persen
pada 2001 jadi 17,5 persen pada 2010. Pada periode yang sama, jumlah perokok
pemula usia 15-19 tahun menurun dari 58,9 persen menjadi 43,3 persen. Data
ini menandai adanya pergeseran umur perokok pemula ke kelompok usia lebih
muda.
Data-data
ini tentu menyesakkan. Semua tahu rokok berdampak buruk pada kesehatan. Dalam
sebatang rokok terkandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun. Dari jumlah itu,
43 jenis bersifat karsinogenik. Bagi warga miskin, merokok adalah pemborosan.
Pengeluaran itu tentu lebih bermanfaat untuk memenuhi konsumsi pangan atau
menambah porsi pengeluaran pendidikan/kesehatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar